Menelusuri Islam Sukartanan, Dari Islam Kesunanan hingga Masyarakat Islam Tradisional

Menelusuri Islam Sukartanan, Dari Islam Kesunanan hingga Masyarakat Islam Tradisional

Menelusuri Islam Sukartanan, Dari Islam Kesunanan hingga Masyarakat Islam Tradisional

Apakah anda pernah mendengar Islam Surakartan? Selama ini, Islam Surakartanan dianggap suatu hal yang melanggar silsilah suci keislaman karena terlibat aktif (berpadu) dengan budaya lokal Jawa. Bahkan peneliti Barat sering menyebut bahwa Islam Jawa tidak singkretik sehingga disebut sebagai Islam yang tidak murni.

Kesalahan di atas bersumber dari tiga hal. Pertama, klaim yang dilakukan oleh kelompok kanan. Kelompok ini berusaha memurnikan agama Islam di Surakarta dari hal-hal yang berbau tradisi. Mereka menganggap bahwa Islam harus terhindar dari tradisi-tradisi lokal seperti Islam ala Nabi Muhammad SAW, atau Islam yang berkembang di Arab. Mereka melihat Islam di Surakarta sampai detik ini masih bukan Islam yang “sebenarnya”.

Kedua, kelompok kejawen yang menganggap bahwa ajaran agama yang benar adalah ajaran kebatinan Jawa. Kelompok ini mengklaim bahwa kehidupan ini harus bersandar pada laku hidup orang Jawa. Ajaran-ajaran kebudayaan Islam seperti yang dipelopori Wali Songo harus ditolak karena jauh dari norma kejawenan. Bahkan mereka menganggap bahwa keraton Surakarta adalah warisan para leluhur Jawa pra-Islam. Sampai saat ini, kelompok ini menyebut bahwa kejawen adalah agama terbaik dan apabila orang keraton memakai tradisi Islam sebagai laku, mereka ini disebut sebagai orang “keluar’ atau yang “mematikan tradisi Jawa” dan tidak menghormati para leluhur.

Ketiga, peneliti Barat tidak melihat konteks. Peneliti Barat ini, melihat Islam di Jawa hanyalah Islam “abangan”.

Misalnya, sebuah penelitian antropolog Amerika Clifford Geertz yang mengelompokkan masyarakat Jawa ke dalam tiga golongan: priyayi, santri dan abangan.

Hasil penelitian ini tidak melihat konteks sosial keislaman Jawa sehingga hasilnya jauh dari fakta di lapangan. Kita tahu, episode setelah perang Jawa memang Belanda melakukan propaganda untuk memisahkan Islam dengan budaya Jawa dan ternyata sedikit banyak berhasil.

Islam Surakartanan

Bila melihat susur galur Islam di Surakarta, maka tak khayal kita akan mendapati panorama Islam yang sangat kental dengan budaya Jawa. Inilah yang disebut banyak orang sebagai Islam Surakartanan karena antara Islam dengan budaya Jawa berpadu dan berkembang di bawah pengaruh Kasunanan Surakarta. Kita akan menemukan praktik spiritual seperti tarekat, slametan, dan penggunaan simbol budaya Jawa dalam ibadah keislaman masyarakat Surakarta.

Peran Kasunanan Surakarta dalam menyebarkan Islam tetap mempertahankan nilai-nilai budaya Jawa, seperti penggunaan aksara Jawa dalam sastra dan teks-teks keagamaan. Tradisi pun seperti gamelan, sekaten, wayang kulit dengan kisah Islam, dan berbagai ritual menggabungkan unsur Islam dan tradisi lokal.

Hal yang sangat menarik adalah ketika Kasunanan Surakarta (Sunan PB X) mendirikan masjid, organisasi keislaman dan pesantren yang diberi nama Mamba’ul Ulum. Hal ini dilakukan untuk mencegah kolonialisasi di tingkat pendidikan, budaya dan politik. Mamba’ul Ulum dijadikan sebagai “pagar” oleh Sunan PB X untuk mengimbangi dominasi sekolah-sekolah kolonial yang pada saat itu sangat menjamur. Hal yang perlu diingat, Sunan PB X mengikuti tarekat Syadzilyah.

Dalam babad Pakepung, diceritakan secara detail bagaimana ketaatan PB IV sebagai raja Mataram Islam, sangat taat dan benar-benar ingin mengajarkan Islam secara baik. Dia membuat keputusan yang dekat dengan Islam, misalnya memperbanyak abdi dalem pengulon, yang bertujuan mengajarkan Islam bagi masyarakat Jawa. Dia juga membuat dan memperluas tanah perdikan, untuk memperluas basis penyebaran keagamaan (Islam) di sekitar tanah perdikan. Hal inilah menjadi kunci bahwa Kasunanan Surakarta sangat berperan bagi peradaban serta perkembangan Islam di Jawa. Bahkan dalam serat Wulangreh disebutkan bahwa Kasunanan Surakarta memakai sumber hukumnya adalah Al-Qur’an, Hadis, Ijma, dan Qiyas.

Kerjasama Akar Rumput

Namun, perjuangan Kesunanan Surakarta tidak akan berarti apabila akar rumput (masyarakat Jawa) tidak ikut serta dalam perjuangan pengislaman Jawa (meminjam bahasa M.C. Ricklefs). Islam memang selalu dijadikan sebagai senjata politik, tapi Islam bukanlah kekuatan ideologis negara. Menurut Hermanu, dalam sejarah kerajaan tradisional dari Demak hingga Mataram, Islam adalah kekuatan akar rumput kendati mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat.

Menurutnya, ini bisa dilihat dari sejarah ulama-ulama Surakarta dalam melakukan jejaring kepada ulama-ulama Nusantara, seperti Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, dan wali-wali lainnya. Di mana, mereka sharing pengetahuan dan setelah mendalami pengetahuan, mereka mempraktikkan secara mandiri dan kemudian diikuti masyarakatnya. Kesimpulan ini mengacu pada konteks realita keterjadian fenomena keagamaan di masyarakat yang memunculkan ekspresi dan pembentukan budaya Islami. Ini adalah sejarah yang sulit dilihat oleh peneliti Barat.

Menurut Alm Hermanu, keterkaitan antara sejarah keislaman dan kesunanan di Solo, terbentuk melalui pesan oral dan ekspansi “otoritas” pada masanya. Para ulama di Jawa mendorong berdirinya Kerajaan Islam dengan sistem birokrasi kesultanan, yang mirip dengan birokrasi kesultanan di Timur Tengah. Ini terlihat dan berlaku sejak masa-masa Raden Fatah.

Di Jawa, menurut peneliti sejarah itu, eksistensi birokrasi kesultanan/kerajaan diikuti pula dengan berdirinya lembaga Pengulu Tapsiranom, yang mengurusi ulama dan masjid di wilayah kekuasaan Sultan. Bahkan Sultan sering memberi tanah perdikan kepada Ulama-Ulama untuk membangun masjid dan lembaga pendidikan Islam di desa-desa seperti disinggung di atas. Kemudian, masjid-masjid dan lembaga pendidikan berkembang. Darinya, akhirnya mempercepat proses konversi kepemelukan agama Islam. Semula, di masjid, kemudian berdirilah pesantren.

Menurut penelusuran Prof. Hermanu, ketika eksploitasi Belanda makin menguat, ulama melakukan konggregasi dalam dakwah, yaitu penguatan Islam untuk keimanan, solidaritas dan politik. Penguatan ini ditakuti oleh pemerintah kolonial. Saat itu, pada abad ke-20, konggregasi-konggregasi digencarkan untuk membangun kesadaran solidaritas politik. Karena, menurutnya penduduk Jawa (penduduk sekitar pesantren) saat itu, dianggap bukan warga negara Hindia Belanda. Bahkan, semula ulama enggan meletakkan masjid sebagai konggregasi politik. Tetapi karena sebagian ulama lain berani memerankan diri sebagai culture broker di pedesaan, peran itu menjadi pelindung rakyat.

Pada abad ke-19, akar rumput (santri dan Kiai) melancarkan gerakan periferal dan semi periferal. Kemudian pada abad ke-20, mereka sama-sama bersinergi dengan kaum nasionalis untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Ketika Sumpah Pemuda jadi pijakan sidang BPUPK hasilkan Pancasila, akar rumput ini juga menyetujuinya. Maka dengan demikian, sejak dulu hingga sekarang peran Islam akar rumput sangat signifikan pengaruhnya. Maka itu, Islam Surakartanan dapat dibilang berperan aktif dalam pencegahan pemahaman esktrem yang keluar dari rambu-rambu keislaman moderat dan kebangsaan. Islam Surakartanan terbukti menjadi pagar besi dalam gempuran modernitas dan laju zaman.