Kisah tentang kelompok minoritas sudah sering saya jumpai, khususnya di media sosial. Kali ini, saya berkesempatan mendengar langsung kisah tentang pengalaman kelompok minoritas dari kalangan Generasi Z (selanjutnya disebut GenZi).
Sebuah pengalaman luar biasa saya dapatkan di akhir pekan lalu, mungkin teman-teman yang lain juga banyak yang pernah mendapatkannya. Selama tiga hari, saya berkesempatan untuk mengikuti kegiatan “Kelas Literasi Damai”. Kegiatan itu sendiri ditujukan untuk kalangan GenZi yang diharapkan bisa menjadi agen perdamaian di tengah keragaman yang ada di Indonesia.
GenZi sebagai generasi yang lahir dan tumbuh di era pesatnya perkembangan teknologi memiliki banyak potensi yang dapat menjadi bekal bagi mereka untuk menjadi agen perdamaian. Rasa ingin tahu yang tinggi, melek teknologi, semangat bersosialisasi yang kuat, adalah sebagian potensi yang mereka miliki. Satu lagi, mereka juga terbuka dengan berbagai hal baru yang mereka jumpai. Yang terakhir ini menjadi modal penting ketika mereka berjumpa dengan orang atau kelompok yang berbeda latar belakang dengan mereka.
“Saya berasal dari Sulawesi Tenggara. Kebetulan sedang ada kegiatan di Jakarta, jadi sekalian saya mendaftarkan diri di kegiatan ini,” ucap salah satu peserta.
“Luar biasa!” Saya bergumam dalam hati. Mereka yang hadir di kegiatan adalah peserta terpilih dari seluruh GenZi yang berdomisili di Jabodetabek. Pemilihan peserta didasarkan pada kontribusi mereka di komunitas maupun organisasi yang diikuti. Ada ketua BEM, anggota aktif di komunitas pegiat kesetaraan gender, anggota relawan gerakan kemanusiaan, hingga anggota kemunitas pendamping kelompok minoritas. Berbeda dengan saya yang kebetulan hanya menggantikan teman yang tidak bisa hadir karena hendak melakukan kunjungan ke Papua.
Pengalaman GenZi Sebagai Kelompok Minoritas
Sebelum kegiatan ini, saya telah beberapa kali mengikuti forum semacam ini. Materi-materi seputar toleransi terhadap kelompok lain khususnya minoritas, bahaya paham ekstremisme, hingga penguatan nilai keagamaan yang sesuai dengan nilai kebangsaan sudah pernah saya telan. Meski tentu hanya sebatas di permukaan, belum begitu dalam. Hanya saja, dalam beberapa forum itu, saya bertemu peserta dengan latar belakang yang sama: Kelompok Islam mayoritas (NU dan Muhammadiyah).
Cerita tentang diskriminasi dan penindasan kepada kelompok minoritas juga sudah sering saya dengar, tapi sebatas dari bacaan atau berita yang tersebar. Namun, kali ini saya berkesempatan langsung mendengar dari orang yang menjadi bagian dari kelompok yang tertindas itu.
“Alhamdulillah, saya pribadi tidak pernah mengalami. Tapi, teman-teman saya sering,” tutur Ahmad (nama samaran), salah satu peserta yang berasal dari kelompok Ahmadiyah.
Masih segar di memori, peristiwa tahun lalu, tepatnya pada September 2021. Sebuah rumah ibadah kelompok Ahmadiyah di daerah Sintang, Kalimantan Barat, dirusak oleh sekelompok orang yang menolak adanya praktek ibadah kelompok Ahmadiyah.
Kelompok Ahmadiyah memang menjadi salah satu kelompok minoritas di Indonesia yang kerap menjadi sasaran diskriminasi atau penindasan. Selain Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri No. 3 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, atau Pengurus Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JIA), Fatwa MUI tahun 2005 yang menyatakan bahwa Ahmadiyah merupakan aliran sesat juga sering digunakan untuk melegitimasi tindakan diskriminasi dan penindasan itu.
“Saya sangat menyayangkan adanya Fatwa sesat Ahmadiyah dari MUI itu,” lanjut Ahmad.
Ia juga berharap siapapun yang mendengar atau membaca informasi tentang Ahmadiyah yang bukan bersumber dari pengikut Ahmadiyah sendiri, agar tidak menelan mentah-mentah informasi itu dan berusaha mengonfirmasi ke sumber utama (pengikut Ahmadiyah).
Berbeda dengan Ahmad, Rahma (nama samaran) tidak begitu beruntung. Ia beberapa kali mengalami hal yang tidak menyenangkan karena statusnya sebagai kelompok minoritas.
“Sebelum (teman) tahu saya penganut Ahmadiyah, masih banyak yang mau main sama saya. Tapi, setelah mereka tahu, mereka jadi menjauhi saya. Bahkan ada yang menjauh karena disuruh orang tuanya,” ungkap Rahma. Ia pun tak kuasa menahan air mata ketika menceritakan kisahnya. Peserta yang lain juga ikut larut dalam kesedihan.
Perjuangan GenZi Mendapatkan Hak Sebagai Warga Negara
Bagus (nama samaran) adalah seorang pemeluk Katolik. Ia bercerita bahwa sewaktu menjadi siswa di salah satu SMA Negeri di Kota Bekasi, dirinya mendapati sesuatu yang kurang diharapkan di sekolahnya: Tidak ada pelajaran agama Katolik. Sejak TK, ia bersekolah di lembaga pendidikan milik Katolik yang tentunya mengajarkan pelajaran agama Katolik. Wajar bila dirinya mengharapkan pelajaran itu tetap ia dapatkan di jenjang SMA.
“Bahkan, ketika saya mengatakan keresahan saya itu, ada guru yang baru tahu bahwa di Indonesia ada agama yang namanya Katolik,” ungkapnya. Banyak peserta lain yang tercengang mendengar kisah itu, termasuk saya. Sungguh sangat disayangkan jika hal seperti itu benar terjadi.
Karena sekolahnya merupakan sekolah Negeri, Bagus memberanikan diri untuk mengumpulkan dan mengajak teman Katolik di sekolah itu. Mereka meminta kepada sekolah untuk diberikan pelajaran agama Katolik layaknya pelajaran agama lainnya.
“Syukur sekolah mau mendengar kami. Mereka datengin guru agama Katolik untuk mengajar,” tuturnya.
Perjuangan yang dia lakukan bersama teman-temannya tidak mudah. Apalagi saat itu tidak banyak siswa yang beragama Katolik di sekolahnya. Sedangkan, syarat bisa dibuat kelas baru adalah minimal 20 siswa. Selain itu, selama hampir tiga tahun pertama, guru agama Katolik tersebut mengajar tanpa digaji. Bagus dan teman-temannya terus mengawal masalah itu, hingga akhirnya saat ini semua berjalan seperti yang diharapkan.
Mendengar beberapa kisah di atas membuat perasaan saya campur aduk. Di satu sisi, saya bersyukur bisa lahir dan tumbuh di lingkungan kelompok mayoritas, sehingga saya tidak perlu bersusah payah untuk mendapatkan hak-hak saya sebagai manusia maupun warga negara. Namun, di sisi lain, saya bersedih tatkala mengetahui bahwa di luar sana ada kelompok, yang untuk mendapatkan hak-hak dasar mereka sebagai manusia maupun warga negara saja butuh perjuangan ekstra.
Mungkin sebagian pembaca akan merasa bosan dengan isu keragaman atau toleransi. Namun, fakta di lapangan yang masih menunjukkan adanya diskriminasi terhadap kelompok tertentu, khususnya minoritas, membuat isu tersebut harus terus digaungkan serta diupayakan implementasinya. Baik kelompok mayoritas maupun minoritas, mereka semua adalah manusia. Oleh karena itu, memanusiakan manusia sudah seharusnya tidak hanya dilakukan kepada kelompok mayoritas, melainkan juga kelompok minoritas.