Dilema Minoritas di Indonesia

Dilema Minoritas di Indonesia

Dilema Minoritas di Indonesia
Setiap pemeluk agama harus dijamin kebebasan beragamanya.

Charles Coppel dalam bukunya, Indonesian Chinese in Crisis, mengatakan;

Orang Tionghoa Indonesia itu ibarat makan buah simalakama. Bila mereka memikirkan bidang politik. Jika mereka terlibat dalam politik kalangan oposisi, mereka dicap subversive. Apabila mereka mendukung penguasa waktu itu, mereka dicap oportunis. Dan jika mereka menjauhi diri dari politik, mereka juga oportunis sebab mereka itu dikatakan hanya berminat cari untung semata.

Kutipan tersebut menjadi indikasi utama, bagaimana orang Tionghoa sebagai minoritas menjadi pihak yang ‘serba salah’ dalam setiap tindakannya. Di Indonesia, dilema yang terjadi bukan seputar itu saja, melainkan juga umat agama minoritas yang sering kali dihadapkan pada pilihan yang sulit di tengah kehidupannya.

Sebelum masuk lebih dalam, perlu rasanya untuk mengevaluasi terma mayoritas-minoritas. Istilah tersebut, selama ini, terus menjajah alam bawah sadar kita. Dampaknya, itu menghasilkan pandangan tentang siapa kita dan siapa mereka. Hal itu  karena minoritas seringkali dipahami semata sebagai ‘statistik’ atau mereka yang secara kuantitas berjumlah sedikit, dan sebaliknya mayoritas sebagai mereka yang dominan.

Beberapa kritik mengatakan bahwa mayoritas-minoritas sering merujuk pada politik angka yang rentan dipolitisasi dalam konteks berbangsa dan bernegara. Sebagian lain berpendapat bahwa mayoritas-minoritas justru menjadi istilah yang semakin menegaskan segregasi sosial yang negatif dalam dinamika masyarakat.

Namun, saya meminjam konsep minoritas menurut kerangka berpikir Ahmad Najib Burhani. Ia mengatakan bahwa terma minoritas digunakan untuk memperjelas permasalahan, memberi dukungan moral, dan membantu mereka yang mengalami ketidakberuntungan dalam masyarakat atau yang mendapat penentangan dari sebagian masyarakat. Sederhananya, minoritas digunakan untuk mengidentifikasi mereka yang tersubordinasi dan terabaikan. Mereka adalah orang-orang lemah, bukan hanya karena kuantitas, namun juga karena sering dipinggirkan bahkan didiskriminasi oleh yang dominan. Dalam al-Qur’an, mereka diistilahkan dengan kata mustadh’afin.

Selain Tionghoa yang disebutkan di atas, kaum minoritas di sini juga merujuk pada kelompok aliran keagamaan. Tulisan ini mengutip dua kelompok yang seringkali terangkat oleh media, Ahmadiyah dan penghayat kepercayaan. Umat Ahmadiyah, misalnya, dipaksa untuk keluar dari keyakinan mereka dengan jaminan hak-hak keberagamaannya dilindungi. Seperti halnya umat beragama yang lain, soal keyakinan adalah hal yang mutlak. Orang akan cenderung bertahan pada keyakinannya meskipun ditawari dengan garansi-garansi manis.

Kasus Ahmadiyah ini dilegitimasi oleh Surat Keputusan Bersama dari pemerintah pada 9 Juni 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga masyarakat. SKB itu menegaskan bahwa Ahmadiyah boleh tetap ada, tapi tidak memiliki hak kebebasan beragama seperti umat beragama lainnya. Bayangkan saja kita dihadapkan dengan pilihan seperti ini. Mengubah keyakinan atau hak-haknya akan dibatasi.

Kelompok lainnya adalah umat penghayat kepercayaan. Di era orde baru, aliran ini sempat diidentifikasi sebagai aliran sesat, pro komunis, dan kelompok bermasalah. Mereka dikaji dan didata untuk kemudian ‘dibina’ atau ‘dikembalikan’ ke jalan yang benar atas nama pembangunan dan rasionalisasi. Penghayat kepercayaan tersebut dipersepsi sebagai kaum yang ‘tertinggal’, ‘terbelakang’, dan ‘animisme’.

Sebenarnya, hak beragama dan berkeyakinan bagi penghayat sudah absen sejak era Orde Baru. Para penghayat tidak diberi pilihan seperti umat Ahmadiyah. Sebaliknya, mereka langsung diberi ultimatum, jika mereka tidak memeluk salah satu agama resmi di Indonesia, mereka akan distigma sebagai umat yang sesat dan tidak kooperatif terhadap visi misi negara. Sebuah dilema yang mirip dengan yang dihadapi Ahmadiyah.

Di era reformasi, meskipun ‘paksaan’ itu sudah tidak ada, namun dilematisnya masih tetap terasa. Penghayat kepercayaan tidak bisa mencantumkan nama kepercayaannya di kolom KTP. Mereka harus menulis agama resmi di Indonesia untuk mendapatkan akses hak-hak mereka sebagai warga negara. Meskipun pada tahun 2006, Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 97/ 2016 terkait UU Adminduk telah menyatakan bahwa Penghayat Kepercayaan dapat mencantumkan namanya di KTP Elektronik, mereka tetap termarginalisasi secara sosial.

Hal itu disebabkan stigmatisasi terhadap mereka yang masih melekat. Stigmatisasi ini, terutama, terus langgeng akibat ‘ulah’ para kaum fundamental. Dengan berbekal pemahaman agama yang konservatif, mereka mengkafirkan dan menyesatkan para penghayat agama lokal. Tidak hanya kepada penghayat, labelisasi ini juga mereka lekatkan kepada aliran Ahmadiyah di Indonesia. Label ini rupanya memiliki pengaruh pada cara pandang warga masyarakat terhadap jemaat Ahmadiyah.

Pada pertengahan tahun 2018, terjadi perusakan pemukiman jemaat Ahmadiyah di Lombok Timur. Warga masyarakat di sana mengatakan bahwa jika jemaat Ahmadiyah ingin diterima di masyarakat, maka mereka harus kembali ke ajaran Islam yang benar. Hal ini sungguh miris. Bagaimana bisa isu teologis kemudian berlanjut pada krisis kemanusiaan. Namun sekali lagi, ihwal keyakinan tidak dapat diintervensi semudah itu.

Dua kelompok di atas menjadi contoh dari sekian kelompok minoritas di Indonesia. Penyebutan minoritas dalam hal ini, sekali lagi, bukan sebagai upaya mengotak-kotakkan masyarakat. Melainkan sebagai bentuk keberpihakan kita kepada mereka yang lemah, mereka yang terpinggirkan, mereka yang terdiskriminasi.

Sebagai umat Islam yang moderat, kita selayaknya tidak serta merta memaksa mereka untuk mengikuti kita. Mengajak boleh namun tentu tanpa paksaan. Jangan sekali-kali kita menciderai prinsip dakwah Islam, la ikraha fiddin. Jangan sampai, arogansi umat Islam yang secara kuantitas lebih besar, kemudian merampas kesejahteraan saudara-saudara kita yang lain. Sebagai warga negara, mereka memiliki hak-hak hidup yang sama. Sebagai manusia, mereka juga diberi keleluasaan berpikir yang sama.

Isu ini seharusnya menjadi kesadaran bersama. Stigma-stigma itu tidak hanya berdampak pada pribadi mereka, namun juga pada hak-hak sosial yang seharusnya mereka dapatkan. Seperti kenyamanan beribadah dan kebebasan berekspresi. Cukuplah bagi kita untuk melihat mereka beribadah dengan damai. Selalu ingat nasihat yang sering keluar dari lisan Habib  Ja’far, “jika ia bukan saudaramu dalam agama, maka ia adalah saudarmu dalam kemanusiaan.