Dua puluh lima calon tunggal di 21 kabupaten dan 4 kota. Masa jabatan pemenang hanya sekitar 3,5 tahun. Sementara jumlah kasus positif Covid-19 memecahkan rekor baru setiap harinya. Itulah wajah suram yang saya lihat dari Pilkada 2020 di tengah pandemi.
Pilkada tetap digelar saat pandemi makin tak terkendali di negeri ini. “Pesta demokrasi” ini turut diramaikan pula oleh anak dan menantu presiden, anak wakil presiden, serta kerabat para menteri. Semuanya berkilah tidak sedang melanggengkan politik dinasti lantas sibuk mematut diri demi merebut kursi kepala daerah. Semua ini merupakan dagelan politik yang jauh lebih kelam dari dark jokes-nya Coki Pardede sekalipun.
Namun satu hal kerap terlewat dari pembicaraan. Pilkada 2020 sejatinya merupakan transisi terakhir sebelum Indonesia menatap Pemilu serentak sepenuhnya. Setelah 2020, Indonesia sudah tidak mengenal istilah Pilkada serentak lagi. Sebab nantinya Pilpres, Pileg, dan Pilkada akan diselenggarakan secara bersamaan dalam format Pemilu serentak. Format ini akan mulai berlaku di Pemilu 2024.
Artinya Pilkada tahun ini (jika terlaksana pada 9 Desember 2020) akan menghasilkan para kepala daerah dengan masa jabatan tidak genap selama 5 tahun. Sebab masa jabatan semua kepala daerah terpilih akan dipotong jelang hajatan Pemilu serentak 2024. Alhasil, para kepala daerah hanya akan memimpin dalam kurun waktu sekitar 3-3,5 tahun.
Di lain pihak, apabila Pilkada diundur, (sebut saja hingga Juni 2021), maka kepala daerah terpilih kelak hanya menjabat selama 2,5-3 tahun sampai 2024. Masa jabatan ini akan lebih pendek lagi jika pelaksanaan Pilkada diundur makin lama.
Dalam hemat saya, melaksanakan maupun menunda Pilkada dalam masa pandemi sama-sama bukan pilihan tepat. Selain cuma menghasilkan kepala daerah yang menjabat dalam waktu sangat singkat, Pilkada punya kecenderungan memboroskan anggaran. Padahal sekarang bangsa ini perlu mencurahkan segenap energi dan segala sumber daya yang bisa dimanfaatkan untuk menangani situasi pandemi.
Maka pemerintah perlu berpikir out of the box. Mereka mesti mulai menggodok segala opsi untuk mencari pemimpin daerah tanpa perlu menggelar Pilkada 2020 yang berpotensi memperparah situasi pandemi di Indonesia dan mengorbankan keselamatan masyarakat.
Opsi pertama, Pilkada dilangsungkan secara tidak langsung. Artinya tahapan Pilkada 2020 dirombak menjadi seringkas mungkin, sehemat mungkin, dan secepat mungkin. Tanpa kampanye terbuka, rapat umum, ataupun proses pencoblosan yang berpotensi mengumpulkan kerumunan dalam jumlah besar. Lantas proses pemungutan suara cukup diwakilkan melalui DPRD.
Bahkan khusus bagi 25 daerah yang melaksanakan Pilkada hanya dengan calon tunggal mestinya bisa berjalan lebih mudah. Sebab kita sudah memiliki role model. Pemerintah bisa mencontoh mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur yang sejak 2012 telah dijalankan di DIY.
Tentu saja dalam Pilkada tidak langsung ini, aspek transparansi dan pertanggungjawaban DPRD kepada masyarakat tetap perlu dikedepankan.
Opsi kedua, pemerintah menghapus seluruh agenda Pilkada 2020 dan tidak pula menunda Pilkada sampai 2021. Lantas pemerintah dapat mengangkat Plt untuk mengisi kekosongan kursi kepala daerah hingga pelaksanaan Pemilu serentak 2024. Cara ini ditempuh agar seluruh energi bangsa ini tidak lagi terbagi untuk menghadapi Pilkada yang tertunda. Sehingga kita semua dapat fokus kembali untuk mengatasi krisis kemanusiaan di depan mata.
Opsi ketiga hampir mirip dengan opsi kedua. Pemerintah menghapus total seluruh agenda Pilkada 2020 tanpa pilihan menunda Pilkada. Bedanya, dalam opsi ini pemerintah memperpanjang masa jabatan petahana di semua daerah hingga 2024. Cara ini dapat diambil dalam kondisi krisis seperti sekarang untuk menghindari gejolak yang tidak perlu selama proses transisi kepemimpinan.
Ketiga opsi ini memang merupakan pilihan out of the box yang belum ada regulasinya sama sekali dalam bentuk UU. Namun untuk menghadapi situasi krisis, pemerintah tak boleh bersikap pengecut mengambil langkah. Apalagi khalayak juga telah menunjukkan saran dan suaranya supaya pemerintah mengambil gebrakan berani untuk meniadakan Pilkada 2020.
Regulasi pun bisa diubah dan direvisi menyesuaikan kondisi. Contohnya saja, pemerintah telah mengeluarkan Perppu nomor 1 tahun 2020 untuk mengatur kebijakan keuangan negara secara khusus di masa pandemi. Perppu ini kelak didukung juga oleh DPR dan disahkan menjadi UU nomor 2 tahun 2020. Regulasi tersebut memberikan banyak sekali kelonggaran dan pengecualian supaya pemerintah dapat mengelola keuangan negara dalam periode krisis tanpa perlu mengkhawatirkan sanksi pidana.
Maka semestinya pemerintah dan DPR bisa melakukan hal yang sama untuk mengatur pemerintahan daerah dan penghapusan Pilkada secara khusus di masa pandemi. Payung hukum berupa Perppu atau UU dapat dibuat sebagai aturan legal agar Pilkada di tahun ini tidak perlu dilaksanakan sebagaimana biasanya. Sebab sangat berpotensi mengancam keselamatan publik. Di sisi lain, regulasi darurat ini juga menjaga supaya tidak terjadi kekosongan kekuasaan di tingkat daerah meski tidak ada Pilkada.
Dalam kaidah fikih klasik, mencegah mafsadat lebih utama daripada mengambil manfaat. Hari ini dapat dibilang mencegah masyarakat terpapar virus korona lebih utama dibanding menggelar Pilkada. Ikhtiar luar biasa harus diupayakan pemerintah, pertama-tama demi menjaga hak hidup masyarakat, sebelum pemerintah berkoar menjamin tegaknya hak konstitusi masyarakat.
Jika semua opsi tersebut diabaikan dan pemerintah tetap melanjutkan Pilkada 2020 seakan tidak ada pandemi, maka golput akan menjadi satu-satunya pilihan rasional bagi kita semua untuk tetap membela kehidupan dan memperjuangkan kemanusiaan.
Tulisan ini pernah dimuat di gusdurian.net. Dimuat ulang atas seizin penulis dan gusdurian.net.