Kebun-Ku: Hijaukan Bumi di Masa Pandemi

Kebun-Ku: Hijaukan Bumi di Masa Pandemi

Kebun-Ku: Hijaukan Bumi di Masa Pandemi

Sore itu, sekelompok muda-mudi terlihat sibuk di sebuah kebun yang membentang di atas sebidang tanah  bilangan Sorowajan, Yogyakarta. Banyak dari wajah-wajah mereka sumringah di balik maskernya. Satu atau dua orang terlihat tangannya belepotan tanah. Sisanya sibuk mengikat hasil panen dan meracik bumbu masakan untuk makan malam.

Kebun itu berada di pinggiran Bantul, persis berbatasan dengan Jogja kota yang padat penduduk. Tepatnya di halaman belakang Sekretariat Nasional Jaringan Gusdurian. Sebelum disulap menjadi kebun, lahan itu hanya ditumbuhi semak liar dan tak pernah terjamah.

Itulah kelima kalinya Kebun-Ku panen. Ya, kebun itu memang bernama Kebun-Ku. Waktu itu masih awal Juli 2020. Pandemi baru empat bulan melanda Indonesia, tapi aturan lockdown sudah agak longgar, terutama untuk aktivitas siang hari.

“Hasil panen hari ini dapat 58 ikat kangkung, 18 ikat sawi, dan 5 ikat kacang panjang,” jelas Suyatno setelah menghitung sayur-sayuran yang hendak diangkut ke mobil.

Sayur-sayuran itu, lanjutnya, akan disumbangkan semuanya kepada warga Kampung Kowen, di Timbulharjo, Sewon, Bantul. Ketika saya tanya kenapa harus disumbangkan ke sana, Suyatno menjelaskan dengan ringkas. “Di sana ada perkumpulan yang sering membagi-bagikan sayur kepada warga yang kebanyakan bekerja sebagai buruh harian,” terangnya.

Suyatno adalah satu dari segelintir muda-mudi yang ikut menginisiasi Kebun-Ku pada pertengahan Mei 2020. Selain Suyatno, ada juga Dodok, Adi, Fatin, Michelle, Otiz, dan Yakob yang menyempatkan berkumpul pertama kali untuk merancang kebun kolektif tersebut. Kebun itu akhirnya disepakati diberi nama “Kebun-Ku”, supaya siapa saja yang berkunjung ke sana merasa memiliki dan ikut merawat seperti kebunnnya sendiri.

“Nanti setelah Pak Slamet buka lahan, kita langsung ratakan tanah pakai kompos dari Pak Faiz. Untuk bibit kita sudah ada terong, tomat, sawi, dan singkong. Untuk benih kita juga punya bayam dan kangkung,” kata Dodok Putra Bangsa, salah satu inisiator Kebun-Ku, di sela-sela pertemuan pertama.

Ilustrasi aktivitas di Kebun-Ku (Dok. Istimewa)

Sepanjang perjalanannya, Kebun-Ku memang melibatkan banyak sekali pihak. Mulai dari Pak Slamet, buruh tani yang disewa untuk membuka lahan dari ganasnya belukar yang rimbun; hingga Pak Faiz, pengasuh Sekolah Gajahwong yang sering mengirim berkarung-karung pupuk kompos kualitas prima dari hasil peternakan kambingnya.

Selain itu, untuk kepentingan perawatan, anak-anak muda dari komunitas Gusdurian, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jogja, LBH Jogja, Warga Berdaya, Solidaritas Pangan Jogja, dan mahasiswa dari berbagai kampus yang sedang berkunjung ikut terlibat langsung dalam “aktivitas hijau” tersebut.

Keterlibatan banyak elemen itu bukannya tanpa sebab. Alasan solidaritas adalah tulang punggung dari semua sebab. Ketika pandemi memukul serius sektor ekonomi kelas pekerja informal, sekelompok masyarakat di Jogja mendirikan beberapa dapur umum untuk membantu kelompok terdampak pandemi dengan memberi makanan setiap hari.

Di samping itu, wacana untuk menghijaukan lahan tak produktif sebenarnya sudah berlangsung lama. Saat pandemi inilah baru memungkinkan untuk dieksekusi.

“Dari situlah kemudian tercetus ide. Ini kan ada lahan menganggur, kenapa tidak kita gunakan untuk menanam sayuran dan kebutuhan dapur lainnya, nanti hasil panennya bisa diberikan ke dapur umum,” kata Dodok di kesempatan lain saat kami bertemu.

Dalam praktiknya, biasanya hasil panen tak hanya disetor kepada dapur umum saja. Ketika hasil panen sedang berlimpah dan telah untuk memenuhi kebutuhan dapur umum, para pemuda itu juga membagikannya kepada tetangga di sekitar kebun, warga terdampak pandemi, kelompok masyarakat yang termarjinalkan, atau dimasak sendiri untuk para relawan yang saban hari tak pernah absen mengurusinya.

Kebun-Ku tak hanya menghasilkan produk pangan mentah yang sehat karena sama sekali tak menggunakan pestisida atau pupuk kimia. Lebih dari itu, para relawan yang terlibat juga rutin mengadakan diskusi daring setiap Jumat sore dengan tajuk “Senja di Kebun”. Penyebaran gagasan yang bertujuan mengampanyekan pentingnya menanam dan berdaulat dalam pangan itu menghadirkan berbagai narasumber yang sudah lama bergelut di isu lingkungan dan pangan. Selain itu, moderator yang memandu diskusi juga selalu bergantian setiap minggunya.

Dari “Senja di Kebun” itulah saya bertemu seorang sukarelawan lain yang hobi menanam juga. Namanya Masita Sukri. Saat bertemu, dia sedang menjadi moderator di salah satu sesi “Senja di Kebun”. Sita, panggilan akrabnya, ternyata sudah beberapa kali menyambangi Kebun-Ku. Terkadang dia ikut menanam, kadang juga ikut memanen.

“Saya mulai berkebun, menyemai benih sejak pertengahan Maret juga. Tapi sudah bersih-bersih lahan di samping dan belakang asrama sejak akhir April lalu,” kata Sita setelah selesai memandu diskusi daring di Kebun-Ku.

Sita adalah mahasiswi master di Universitas Negeri Yogyakarta. Ia juga bagian dari Komunitas Gusdurian Jogja. Kebiasannya merawat tanaman sebenarnya sudah berlangsung lama sebelum pandemi. Namun ketika pandemi melanda, ia dan teman-temannya di Asrama Panrannuangku (Asrama mahasiswa Sulawesi Selatan) mulai berpikir untuk menanam tanaman produktif yang bisa diolah menjadi makanan.

“Saya dan empat teman saya akhirnya menanam cabai, tomat, kangkung, bayam, dan terong. Awalnya beberapa tanaman gagal tumbuh. Tapi akhirnya bisa panen semua, bahkan sering kali melimpah dan kami bagikan ke ibu-ibu di sekitar asrama,” kata Sita.

Sita dan kawan-kawannya mulai berpikir untuk menanam sayuran karena akses untuk membeli bahan makanan selama pandemi cukup sulit.

“Di asrama, biasanya kami memasak sendiri. Kadang beli bahannya di pasar, kadang beli di tukang sayur yang lewat,” terangnya. “Tapi saat pandemi datang, tukang sayur tidak pernah lewat karena di depan kompleks sudah diportal. Sedangkan kalau beli di pasar harus dicuci dulu baru dimasukkan ke kulkas supaya bersih dari virus. Agak ribet,” lanjutnya.

Perihal pupuk, Sita mendapat stok kompos dari salah seorang kawannya yang punya kenalan seorang mahasiswa jurusan pertanian. Di samping itu ia banyak mendapat inspirasi dari beberapa influncer di media sosial. “Biasanya lihat-lihat instagramnya Rara Sekar dan Ben, Soraya Cassandra, Rhea Laras, atau Yayasan Bringin supaya dapat inspirasi soal berkebun dan menanam.”

Sita bercerita pada saya, ketika suatu waktu saya kembali menyinggung perihal aktivitas berkebunnya, bahwa ia merasa senang dan puas atas apa yang dulu dilakukannya. Sejak awal Oktober 2020, Sita pulang ke kampung halamannya dan mulai menjalani kehidupan barunya sebagai dosen.

“Saya senang saat menanam. Senang karena setiap hari bisa mengikuti perkembangan tanaman yang saya semai. Menanti daunnya tumbuh satu per satu. Lagi pula, saya bisa menjamin kalau apa yang saya makan sehat, tidak terpapar kimia,” pungkas Sita dalam obrolan kami suatu sore.

Sita dan para relawan Kebun-Ku hanyalah sekelompok kecil anak-anak muda yang menjalani hari-harinya selama pandemi dengan menanam. Mereka tidak hanya turut bersolidaritas untuk membantu sesama, melainkan juga ikut membuat bumi yang mereka tinggali menjadi lebih nyaman.

Mereka adalah bagian dari gerakan yang perlu dilestarikan untuk merawat bumi. Barangkali apa yang mereka mulai terlihat seperti aktivitas kecil. Tapi kehendak untuk peduli pada lingkungan lewat menanam adalah langkah besar yang tidak dimiliki oleh semua orang.

 

*) Artikel ini adalah hasil kerjasama islami.co dengan Greenpeace dan Ummah for Earth