Sejak kecil, Ya’qub bin Ibrahim sudah menjadi anak yatim. Ia hanya hidup bersama sang ibu (anggap saja Fulanah). Menjadi single parent, tentu bukanlah hal mudah. Himpitan ekonomi yang luar biasa, terpaksa membuatnya mempekerjakan Ya’qub di sebuah jasa potong kain.
Di saat yang bersamaan, jiwa pembelajar Ya’qub sedang menggebeu-gebu. Ia sering bolos kerja dan “melarikan diri” ke majelis pengajian yang diasuh oleh Abu Hanifah, imam mazhab yang terkenal itu.
Satu dua kali, tindakannya aman. Namun, lama kelamaan, Fulanah mengetahui perilaku Ya’qub. Setiap mengetahui anaknya tidak kerja, Fulanah langsung menjemputnya dari majelis Abu Hanifah dan mengantarnya kembali ke tempatnya bekerja.
Karena begitu seringnya harus menjemput Ya’qub, batas kesabaran Fulanah habis juga. Ia marah. Luapan kemarahannya ia tumpahkan kepada sang imam, Abu Hanifah, sebagai orang yang mengasuh majelis tempat “pelarian” anaknya itu.
“Ini gara-gara Anda. Anak saya sering bolos kerja dan hadir di majelis ini. Asal tahu saja, dia yatim dan aku adalah perempuan miskin. Hasil kerjaku sebagai pemintal benang hanya cukup untuk memberinya makan. Selebihnya, aku menyuruhnya bekerja,” kata Fulanah.
Abu Hanifah tampak santai mendapat omelan dari emak-emak macam itu. Dengan tenang, ia menjawab, “Biarkan anak ini belajar di sini. Anda pulang saja. Sejatinya, anak ini sedang belajar untuk bisa makan faludzaj dan minyak kenari.” (FYI, faludzaj adalah kue berbahan dasar tepung, air, dan madu)
Apa yang dikatakan oleh sang imam, sugguh tak masuk akal bagi Fulanah. Pasalnya, faludzaj adalah makanan mahal dan langka untuk ukuran saat itu. Juga, saat sang imam mengatakan itu, Ya’qub juga tidak sedang makan faludzaj.
Fulanah pun nyelonong pergi dan berkata, “Dasar pria tua yang gila dan pikun!”.
Sejak kejadian itu, Ya’qub rutin menghadiri pengajian yang diampu Abu Hanifah. Hari berganti hari, tahun berganti tahun, Ya’qub pun tumbuh dewasa dan menjadi seorang ulama. Kepakaran yang ia miliki membuatnya mendapat kehormatan, diangkat menjadi hakim di negaranya, yakni di zaman Harun ar-Rasyid.
Posisinya yang seorang hakim membuatnya sering bertemu dengan sang khalifah, Harun ar-Rasyid. Bahkan, tak jarang ia diajak makan bareng.
Suatu hari, saat makan bersama, menu kerajaan yang hendak dimakan oleh Harun ar-Rasyid dan Ya’qub adalah makanann yang dulu pernah “diramalkan” oleh sang guru, Abu Hanifah: faludzaj. Sang khalifah berkata, “Ayo kita makan ini. Jarang-jarang sekali menu ini ada di sini”.
“Yang seperti ini namanya makanan apa, wahai sang khalifah?,” kata Ya’qub menanyakan makanan yang ada di depannya.
Harun ar-Rasyid menjelaskan bahwa menu itu adalah faludzaj dengan minyak kenari. Mendengar jawaban itu, Ya’qub pun tersenyum. Tidak disangka, senyuman Ya’ub ternyata membuat Harun ar-Rasyid penasaran, “Apa yang membuat engkau tersenyum?,”
“Ow, tidak ada apa-apa,” kata Ya’qub singkat.
Harun ar-Rasyid masih belum bisa menerima jawaban itu. Ia masih menduga ada hal yang disembunyikan Ya’qub. Oleh karenanya, Harun ar-Rasyid pun meminta—hahkan memaksa—Ya’qub untuk berterus terang dengan apa yang sebenarnya terjadi. Ya’qub pun menjelaskan kisah masa kecilnya yang pernah “diramal” Abu Hanifah akan makan kue ini.
Harun ar-Rasyid berdecak kagum. Ia pun mengatakan bahwa ilmu yang dimiliki seseorang akan benar-benar mengangkat derajatnya. “Sungguh, Abu Hanifah melihat dengan mata hati terhadap apa yang tidak bisa dlihat dengan mata kepala,” tutup Harun ar-Rasyid.
Kisah ini terdapat dalam kitab ‘Uyûn al-Hikâyat karya Ibnu Jauzi. Lewat kisah ini, kita bisa belajar betapa pentingnya sebuah ilmu. Ilmu adalah jendela dunia. Orang yang banyak ilmu akan banyak wawasan dan cara memandang sesuatu. Ilmu pulalah yang akan mengangkat derajat seseorang. Tidak saja di dunia, bahkan juga di akhirat. Semoga Allah jadikan kita dan keturuanna kita sebagai ahli ilmu. Amin.
Sumber:
Ibn al-Jauzî, Jamâluddîn Abi al-Farj bin. ’Uyûn al-Hikâyat. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2019.