Gambar di atas namanya ‘kayon’. Banyak sumber mengasalkan kata ini dari kata ‘kayu’ yang dalam bahasa Jawa berarti pohon atau ‘wit-witan’ (tumbuhan). Ada juga yang memadankan ‘kayu’ dengan kata ‘hayyu’ atau ‘hayyun’ dari Bahasa Arab (yang jika dilafalkan oleh lidah Jawa menjadi ‘kayu’ atau ‘kayun’) yang berarti ‘hidup’.
Kata ‘kayu’, jika ditambah akhiran ‘-an’ akan menjadi ‘kayon’ (bukan ‘kayuan’). Ini menurut kaidah fonetis Jawa, persis seperti kata ‘turu’ (tidur) yang jika mendapat akhiran ‘-an’ akan menjadi ‘turon’ bukan ‘turuan’.
Arti dua cabang asal kata ini sepertinya justru saling melengkapi. Seperti simbol pohon kalpataru yang terpampang dan memenuhi gambarnya, hal ini memang mau menunjuk arti ‘pohon kehidupan’ (pohon kalpataru). Namun dalam bahasa jawa, selain berarti pohon, kata ‘wit’ juga bisa berarti kependekan kata ‘wiwit’ atau ‘wiwitan’ yang berarti ‘permulaan’. Jadi ini juga soal ‘permulaan kehidupan’, atau juga terkait permulaan kehidupan yang dimetaforkan seperti pohon, yakni ada awal-akarnya kemudian berkembang bertumbuh, bercabang, berdaun, beranting, berbunga dll.
Makna dan simbolisasi yang baruan saya paparkan sungguh terkonfirmasi oleh salah satu deskripsi setiap dalang wayang kulit purwa di tengah pakeliran saat menancapkan kayonnya, kemudian mendendangkan sulukan (pathet sanga wantah) yang mengilustrasikan kayon awal mulai pohon kehidupan itu.
Kayune purwa sejati. (Ke)hidup(an) permulaan sejati. Yang dahannya semesta, beranting cahaya pelangi, kembangnya bintang-bintang, berkelopak langit, berbuah matahari dan bulan, tersirami embun dan hujan, juga berpuncak angkasa, dst.
Jadi sebenarnya kayon ini ingin mengajarkan tentang awal mula sejati kehidupan atau alam semesta ini (yang sebenarnya sekaligus akhirnya). Lalu apa permulaan sejati atau awal mula dari kehidupan ini?
Jawabannya kita temukan di paragraf ‘Wirid Hidayat Jati’-nya Ranggawarsita. Saya kutipkan:
“Kang dingin Ingsun anitahake Kayu…‘ (ingat kata ‘kayu’).
“Yang pertama Saya (Allah) mencipta/memerintahkan Hayyu (zat hidup/ kecenderungan pertama Dzat-Nya)…’
“Nuli cahya aran Nur Mukammad“
“Baru selanjutnya cahaya yang bernama Nur Muhammad’.
Saya kutip kata perkata biar orang tidak mengira saya ngelindur. Di paragraf ini sebenarnya Ranggawarsita ingin menceritakan awal-mula kehidupan bukan dari sisi penciptaan dunia menurut syariat lahir, melainkan dari konsep penciptaan semesta dari haqiqat-esotoris seperti diamini banyak tokoh sufi seperti Ibn Arabi, Jilli, Jami, Burhanpuri, bahwa semesta ini merupakan merupakan tajalli atau pendararan kecenderungan pertama Dzat-Nya (Syu’un dzatiyah) yang bernama ‘Hayyu’ atau ‘kayu’ yang kemudian mencipta cahaya atau nur muhammad.
Kecenderungan Dzat-Nya yang pertama ini (Kayu) oleh Ranggawarsita disebut juga ‘sajaratul yakin’ (harafiahnya pohon yakin/pohon hidup) yang olehnya dimaknai “bertumbuh di alam adam-ma’dum” atau di alam “gaib-nya gaib” alias di alam puncak tertinggi (pertama) kegaiban tuhan, yang oleh Ranggawarsita disebut sebagai tempat kegaiban pertama alam ahadiyat (dados wahananing ngalam akadiyat).
Dari kegaiban pertama ini lalu munculllah nur muhammad di alam kegaiban kedua (alam wahdat), terus hingga alam ketiga (alam sirr/rasha), keempat (alam arwah), kelima (alam misal), keenam (alam jisim kebendaan dunia ini) hingga ketujuh (dunia insan kamil manusia), yang sering disebut ‘martabat tujuh’ (kasapta martabat).
Jadi Ranggawarsita tak sendiri. Teori penciptaan ini diamini juga oleh sufi lain seperti Hamzah Fansuri, al-Jilli, Burhanpuri, dll. Dan sekali lagi teori ini tidak bertentangan (hanya sisi esotoris dalam memandang) dengan teori kejadian al Qur’an dari sisi lahir-eksoterik dari ‘ketiadaan’ menjadi ‘ada’.
Dari sisi esotorik inilah kehidupan (kayu) bermula dari penyingkapan kegaiban berlapis-lapis atau peluberan (faidh, tanazzul) kecenderungan dzat-Nya bernama “hayyu” tadi melahirkan kehidupan dunia ini (dunia ini madźhar-Nya). Atau dalam bahasa lain, (kehidupan) dunia ini atau alam semesta ini hanya ‘tajalli’ atau manifestasi atau pen-“nyata”-an dari Wujud dari Yang Maha Hidup (Hayyu).
Tak aneh misalnya gunungan wayang itu yang awalnya dinamai kayon Blumbangan dikenali masyarakat diciptakan oleh Sunan Kalijaga. Lalu disempurnakan menjadi Kayon Gapuran di zaman Mataram kartasura (jangan mencarinya di zaman Majapahit, yang cuma menyisakan parwa-parwanya (cerita wayang) tapi tak diketemukan wayang kulitnya).
Jadi jangan heran jika kayon itu muncul dalam perubahan suasana di setiap babak lakon cerita: di awal, tengah, dan akhir pagelaran wayang. Ia juga menandai munculnya sulukan (harafiah Arab-nya berarti “perjalanan” hidup kembali kepada-Nya) alias tembang peralihan di setiap lakon (laku, mlaku, lakon perjalanan kehidupan) wayang.
Akhirnya kayon adalah lambang perjalanan kehidupan yang berasal dari-Nya dan sedang menuju-Nya. Lambang untuk mengenali awal-mula kehidupan manusia (kayun purba sejati). Ia bahkan bukan semata mengajari tauhid lahir bahwa Tuhan kita adalah Allah. Namun bahwa satu-satunya yang benar-benar ‘ada’ (yakni tauhid wujud), adalah Dia. Keber-ada-an bumi dan alam semesta ini hanyalah ‘bayangan’ (wayangan), alias tidak haqiqi, majazi, dari keber-Ada-an mutlaq-Nya. Termasuk hidup kita inj hanya bersifat metaforik (majazi), karena yang benar-benar hidup adalah Yang Maha Hidup. Dalam bahasa lahir-syariat, hidup kita inj hanya pinjaman.
Makanya saya tidak terlalu kaget ketika ada seorang ustadz yang mengharamkan ajaran tauhid wayang ini, yang dari mulutnya keluar semua yg tak ada dalilnya ia bid’ahkan. Namun saya sedih, karena kita (para pewaris walisanga ini) benar-benar kehilangan ajaran mulia ini dari tikungan-tikungan sejarah kolonialismenya sehingga tak lagi mengenali ajaran penting ini. Ringkasnya para muslim kita hari juga sudah mulai “kelangan enggok”. Mungkin ini nasib sejarah, saya memaklumi.
Saya tiba-tiba ingat zikirnya simbah-simbah tetangga dulu: “ya kayu ya kayumu” (Ya Hayyu, Ya Qayyum(u).