Riwayat tentang dialog dua Sahabat senior yang menyoal “takdir” berikut ini boleh jadi telah familiar bagi kita, bil khusus akhir-akhir ini di tengah pagebluk Coronavirus disease 2019 (Covid-19). Tapi tak apa, dalam rangka tabarukan saya akan tetap kutip.
“Atafirru min qodrillah?? (Apakah Anda hendak lari dari takdir Tuhan)”, selidik seorang Sahabat Nabi kepada Umar bin Khathab di satu kesempatan.
Bayangkan!! Seorang Umar putra Pak Khathab, yang bahkan kawanan setan saja akan putar balik begitu mendengar derap langkahnya, diprotes begitu saja oleh seseorang akibat batal meneruskan kunjungan ke negeri Syam (Syria, Palestina, dan sekitarnya).
Tapi, ada apa gerangan?
Ceritanya, satu waktu Umar bin Khathab hendak melakukan lawatan ke negeri Syam. Sementara, Syam ditengarai sedang dilanda wabah serius. Lalu tampil-lah Abu Ubaidah, seperti siluet di atas, yang memprotes pembatalan rencana Umar bin Khathab mengunjungi Syam.
Namun, bukan Umar namanya jika tidak memiliki alternatif-alternatif. Khalifah kedua umat Muslim ini menegaskan bahwa, “afirru min qodrillah ila qodrillah (saya memang lari dari takdir Tuhan. Tetapi kepada takdir Tuhan yang lain)”
Dan, ya, begitulah Sahabat Nabi seteras Sayyidina Umar memaknai takdir Tuhan.
Persoalan memahami takdir Tuhan ini terkadang bisa kelewat rumit. Sejarah peradaban Islam membentangkan dua mazhab yang kontras memaknai peran Tuhan dalam laku hidup manusia.
Di satu pihak, ada kelompok yang meyakini bahwa manusia ini laiknya wayang dan Tuhan adalah dalangnya. Segala perilaku manusia, menurut paham ini, konon telah menjadi ketetapan Allah: tidak saja lahir di mana, berjodoh dengan siapa, dan mati karena apa, tetapi juga mau makan di mana, itu semua sepenuhnya merupakan hak prerogatif Tuhan untuk menentukan apakah restoran atau Warteg. Kelompok ini dikenal dengan Jabariyah.
Sebaliknya, kelompok bernama Qodariyah memiliki interpretasi “tidak ada takdir” (free will) dalam memaknai takdir Tuhan. Bagi mereka, manusia berdiri di atas kaki mereka sendiri, sedangkan Tuhan tidak akan ikut campur dalam urusan manusia. Ringkasnya, kelompok ini secara ideologi merupakan oposan dari paham Jabariyah.
Betapapun, pandangan kedua kelompok tersebut sangatlah politis, dan karenanya tidak bisa kita ikuti secara mutlak.
Misalnya, satu waktu segera setelah Mu’awiyyah bin Abi Sufyan mengganti Khalifah Ali bin Abi Thalib, ia menulis surat kepada sahabat Nabi bernama al-Mughirah bin Syu’bah. Dalam surat itu, Mua’wiyyah berkepentingan untuk menanyakan “doa apa saja yang dibaca Nabi Saw tiap selesai Shalat?”.
Lalu, diperolehlah jawaban bahwa doa Nabi adalah:
Tiada Tuhan selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Ya Allah, tidak ada yang mampu menghalangi apa yang Engkau beri, dan tidak ada yang mampu memberi apa yang Engkau halangi, dan tidak berguna upaya yang bersungguh-sungguh. Semua bersumber dari-Mu (HR. Bukhari)
Sejurus kemudian, doa itu dipopulerkan untuk menyampaikan pesan bahwa segala sesuatu telah ditentukan oleh Allah.
Namun, kebijakan memopulerkan doa tersebut dinilai jumhur ulama sebagai “bertujuan politis”, karena dengan doa itu para penguasa Dinasti Umayyah seolah-olah hendak melegitimasi kesewenangan kekuasaan mereka sebagai kehendak Allah. Demikian menurut Abdul Halim Mahmud dalam al-Tafkir al-Falsafi fi al-Islam, seperti dikutip oleh Prof. Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an.
Tentu saja, klaim melibatkan Tuhan dalam urusan politik partisan itu mendapat penentangan yang luar biasa. Bahkan, ada yang sedemikian lantang menolaknya sampai-sampai mengumandangkan ideologi free will—seperti di atas—dengan mendasarkan interpretasinya pada Q.S. al-Kahfi ayat 29:
“Siapa yang hendak beriman silakan beriman, siapa yang hendak kufur silakan juga kufur”
Lewat ayat itu, para penentang Mu’awiyah menggugat pemerintahan Umayyah. Dan, sekali lagi, tafsiran ini tidak bisa diikuti secara mutlak karena terang benderang mengandung limbah politik.
***
Sedikit dari kilas balik sejarah peradaban Islam di atas kiranya mendesak untuk kita renungi kembali di tengah semakin mewabahnya kepongahan umat Muslim menyikapi Pandemi Corona.
Maksudnya begini: bahwa kemudian fenomena virus Corona yang melanda seantero dunia adalah ketetapan Allah, itu sepenuhnya benar sekali. Sebagai umat beriman, kita mafhumnya memang meyakini demikian.
Akan tetapi, bersikap fatalis dengan “menantang” virus Corona yang jelas-jelas telah merenggut nyawa banyak orang adalah sebuah kekonyolan sikap.
Memangnya ada yang bersikap begitu??
Banyak!!
Jum’at pekan lalu (03/04), umpamanya, seorang selebriti yang kabarnya sedang bergairah menyelebrasikan ajaran agama tiba-tiba saja memamerkan aktivitasnya berburu masjid. Lebih konyol lagi, ia mengaku tinggal di daerah yang berstatus zona merah.
Padahal, kita semua tahu kalau tidak sedikit ulama yang menghimbau umat Muslim di daerah terdampak agar mengganti kewajiban sembahyang Jum’at itu dengan Shalat Zuhur seperti biasa.
Hadeghhhh!!! Coba dong ya buat artis yang baru hijrah2 kek gini jangan sotoy! pic.twitter.com/2GBPypg6dv
— upi (@upirocks) April 6, 2020
Sebelumnya, sewaktu virus corona masih anyar di Indonesia, tidak sedikit orang justru membentur-benturkan dengan takdir Tuhan. Himbauan demi himbauan yang mendengungkan supaya kita semua menghindari kerumunan massa untuk sementara waktu seolah auto kedap dari telinga mereka. Memang sialan betul. Diajak maju kok susah!!!
Rupanya, ada yang luput dari pemahaman sebagian Muslim kita perihal takdir Tuhan. Dipikirnya, kalau bermodal takut pada Allah an sich d/a berpangku total pada takdir-Nya sudah cukup untuk mempertebal sistem imun tubuh untuk menangkal pesebaran virus Corona. Padahal sungguh tidak demikian cara mainnya.
Takdir, seperti diterangkan Prof Quraish Shihab, sedikitnya mencakup dua hal: pertama, hukum kemasyarakatan; dan kedua, hukum alam.
Matahari, bulan, dan seluruh sistem tata surya, misalnya, takdir mereka telah ditetapkan oleh Allah. Ini tercermin pada Q.S. Fushilat ayat 11:
“Datanglah (hai langit dan bumi) menurut perintah-Ku, suka atau tidak suka! Keduanya berkata: kami dating dengan penuh ketaatan.”
Ketiadaan pilihan dan keniscayaan takdir yang mengikat jagat raya itu sifatnya tidak bisa ditawar. Ia mutlak bin absolut. Titik. Betapa tidak, bayangkan saja kalau matahari atau bulan ngaret semenit saja, atau salah satu bintang-bintang di langit absen laiknya anggota dewan kita saat rapat paripurna, maka pastilah berantakan keseimbangan semesta kita.
Lalu persoalannya, apakah yang demikian itu juga berlaku bagi manusia? Sepertinya tidak.
Riwayat tentang Umar bin Khathab di awal tulisan ini kelewat benderang untuk mengatakan bahwa memang manusia itu berada di bawah hukum-hukum Allah, sehingga segala yang kita lakukan pun tidak lepas dari hukum-hukum yang telah memiliki kadar dan ukuran tertentu.
Hanya saja, karena hukum-hukum itu cukup banyak, dan manusia diberi anugerah untuk memilih—tidak seperti matahari dan bulan—maka kita dapat memilih mana di antara takdir yang ditetapkan Tuhan terhadap alam yang kita pilih.
Ringkasnya begini. Api itu ditetapkan Tuhan sebagai panas dan membakar, sedangkan angin itu memungkinkan hawa sejuk atau dingin. Nah, dari keduanya, kita pun bebas memilih antara angin yang menyejukan atau api yang membakar. Sebab, hanya Avatar yang dapat menguasai empat elemen.
Demikian halnya dalam konteks mitigasi Pandemi Corona: Anda mau ngotot berkerumun dengan orang banyak, sehingga lebih berpotensi terjangkit virus Corona; atau berdiam di rumah, keduanya itu sama-sama takdir.
Bukankah manusia itu dianugerahi kemampuan memilah dan memilih?
Atau, dalam bahasa yang sangat keren, Prof. Quraish Shihab menulis begini:
“Nabi dan Sahabat-sahabat utama beliau, sepenuhnya yakin tentang takdir Allah yang menyentuh semua makhluk, termasuk manusia. Akan tetapi, tidak sedikitpun keyakinan tersebut menghalangi mereka menyingsingkan lengan baju, berjuang, dan kalau kalah mereka sedikitpun tidak menimpakan kesalahan pada Allah.”
Wallahu a’lam
BACA JUGA Mereka yang Merayakan Penolakan Jenazah Korban Terduga Virus Corona ATAU Artikel-artikel Menarik tentang Virus Corona Lainnya