Maraknya pernyataan bahkan fatwa dari sebagian ustadz, penceramah, atau sebagian ulama, kerap membikin gonjang-ganjing. Mari simak yang beberapa bulan belakangan ini: Nabi Muhammad disebut pernah sesat, serta berat badan perempuan salehah, serta poligami itu sunnah Nabi.
Media massa, terlebih media daring arus utama dan media sosial, meningkatkan gaung polemik tersebut. Munculnya pernyataan yang aneh dan ganjil bagi lumrahnya masyarakat muslim jelas bukan hal baru.
Pada masa-masa sebelumnya, golongan yang agaknya bertujuan mengembalikan ajaran-ajaran Nabi secara murni dari Al Quran dan hadis, seperti mengharamkan tahlilan dan maulidan, anjuran ketat bercelana cingkrang dan memanjangkan jenggot, sampai menolak sistem demokrasi karena dirasa tiada dalilnya, turut meresahkan kalangan yang sudah nyaman dengan pemahaman adem dan mendamaikan. Ya, tujuannya: kembali ke Al Quran dan hadis.
Terlepas dari apa definisi tepat untuk menggambarkan fenomena di atas, beberapa akademisi menyajikan suatu kerangka konsep gerakan Islam yang dengan “berani” mengutip langsung Al Quran dan hadis ini. Salah satu yang paling sering dikutip adalah Henri Lauziere. Ia adalah cendekiawan yang berusaha menganalisis gerakan Salafi dan Salafisme yang dinilainya merebak sejak mula abad ke-19.
Lauziere menyebutkan salah satu poin penting gerakan Salafi, yang dinilainya berakar pada kerja ilmiah dan pergerakan Ibnu Taimiyah kurun abad ke-15 Masehi, adalah seruan untuk menolak keterikatan dengan mazhab dan aliran teologi tertentu, dengan cara kembali ke sumber primer dan masa awal Islam – tentu saja Al Quran dan hadis.
Mengapa pernyataan atau “fatwa” kalangan yang ingin kembali ke Al Quran dan hadis ini kerap berseberangan dan aneh dihadapkan dengan fatwa atau tradisi yang ada dalam keterangan fikih yang sudah lumrah di masyarakat?
Mari kita cermati contoh pernyataan kalangan yang dinilai sebagai tokoh Salafi kiwari, Syekh Nashiruddin al Albani. Ia pernah menyatakan keharaman mengenakan emas bagi perempuan dan larangan berdzikir dengan menghitung tasbih yang tentu aneh bagi kalangan muslim kebanyakan, terlebih kaum Sunni. Cendekiawan ini bermula dari penilaiannya yang kontroversial akan hadis-hadis, lalu menyusun pernyataan-pernyataan seputar hukum, lantas dihujat habis-habisan kalangan Sunni.
Menyoal asal muasal pernyataan polemik pemahaman “manhaj salaf” ini, menelusuri analisis Lauziere, akademisi muslim bernama Jonathan Brown mengupas pemahaman kaum Salafi yang unik tersebut dalam sebuah artikel “Is Islam is Easy for Understand or Not? Salafis, The Democratization Of Interpretation And The Need For The Ulema”.
Jonathan Brown mengawali artikelnya dengan narasi kalangan ulama berikut pengikutnya, yang menyalahkan para ustadz, ulama dadakan, serta para akademisi Islam yang tidak memiliki latar belakang pendidikan keislaman secara memadai. Fenomena yang agaknya tampak familiar di Indonesia. Mereka dinilai serampangan dan semaunya mengambil suatu kesimpulan dari Al Quran dan hadis, tanpa mengutip maupun menempuh metodologi para ulama yang mapan.
Istilah bahasa Jawanya: Wong kebacut, islame ora melu poro kiai. Golongan yang keterlaluan tidak ikut jejak langkah para kiai. Kalangan yang semacam itu dengan terang-terangan mengaku tidak bermazhab, memahami Al Quran dan hadis secara langsung dengan cara mereka sendiri.
Masalahnya sejak dikenal sistem mazhab, otoritas hukum Islam tampak eksklusif. Dalam koridor kepesantrenan, persoalan syariat dan teologi mesti mengikuti otoritas dan keilmuan para ulama. Di sisi lain, ada sebagian kecil golongan yang merasakan eksklusivitas peran ulama ini, menolak sikap bermazhab yang kaku dan banyak mengubah wajah Islam menjadi berkasta-kasta.
“Bukankah setiap muslim itu setara? Inna akramakum ‘indallahi atqaakum.”
Kalangan kecil ini merasa Al Quran dan hadis itu pada dasarnya bisa diakses dan dipahami oleh orang awam sekalipun. Di mana Islam yang menyetarakan seluruh muslim jika masih ada lapis-lapis otoritas dalam belajar agama dan menyimpulkan hukum. Masyarakat umum dinilai tidak bisa mengakses sumber agama Islam, karena otoritas fatwa dan hukum islam “dikuasai” otoritas ulama tertentu. Demikian bibit gerakan Salafi ini bermula.
Arus baru kaum cendekiawan muslim, yang kendati memang memiliki gelar atau pangkat tertentu dalam studi Islam, namun dididik secara berbeda dengan cara ulama di masa lalu dan tidak mendapat pendidikan Islam secara memadai, juga dinilai oleh Brown mengaburkan otoritas keulamaan ini. Sebuah problem era kontemporer.
Intelektual muslim awam ini, dinilai kurang pantas bergelut dalam bidang hukum Islam yang dimiliki oleh para ahli mazhab. Tapi secara berani melakukan kajian Islam sampai taraf melakukan interpretasi dengan implikasi yang mencengangkan. Sebagian pemikir model ini, menurut Brown, kerap menggaungkan pembaharuan dan tafsir Islam yang lebih bebas, di samping ada para intelektual muslim yang memilih bersikap semakin konservatif.
Kemudian Salafi muncul, dianggap dimulai oleh Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnu Qayyim al Jauziyah. Oleh Brown, Ibnu Taimiyah ini disebut sebagai proto-salafi – peletak dasar-dasar nilai Salafisme dan gerakan Salafi.
Tujuan Ibnu Taimiyah sebenarnya cukup progresif untuk melepas sekat eksklusif otoritas keulamaan yang ada. Salafi zaman kiwari toh berciri khas seperti di atas: memilih tidak terikat mazhab, menggaungkan “kembali ke Al Quran dan sunnah”. Dalam praksisnya, cenderung sangat literal, saklek lagi kaku dalam beragama – toh demikian Al Quran dan hadis menyebutkan.
Tampak sangat progresif memang. Realitanya, para penyeru anti mazhab ini juga mengatakan bahwa jika seorang awam tidak mengerti suatu hal, maka ia harus bertanya kepada orang yang lebih tahu: ahlul ‘ilmi. Mengikuti ahli ilmu, ulama, adalah keharusan. Pertanyaannya, ulama yang mana?
Dengan melawan otoritas keulamaan Sunni yang mapan, kalangan Salafi bisa menyuarakan bahwa Al Quran dan hadis bisa dipahami tanpa mesti berguru atau merujuk pendapat ulama. Lalu, tampak membentuk otoritas tersendiri di antara mereka. Rupanya ahli ilmu, ulama dari kerangka semacam ini, yang diikuti.
Sistem empat mazhab sebagai bagian dari Islam Sunni, yang dinilai bermula dari abad ke-13 Masehi sejak kitab-kitab hadis kanonik mulai mapan, mencipta hierarki yang rigid antara kalangan ulama dan masyarakat awam. Ulama dipandang menjadi semacam “menara gading”, apalah arti orang awam selain taqlid belaka. Bukannya mereka bebas dari kritik.
Menurut kalangan Sunni, dengan memanfaatkan otoritas mereka, strata ketat ini bertujuan mengendalikan pernyataan hukum dan penafsiran yang meresahkan. Mengapa hanya empat? Mengutip pernyataan al Zarkasyi dalam Al Bahrul Muhith fi Ushul Fiqh, mazhab empat ini sudah banyak dipelajari dan dicatat muridnya. Tidak seperti mazhab sahabat atau ulama pendahulu lainnya, namun lenyap seiring waktu karena tak disusun, dan tak dicatat.
Karena itulah sikap ulama seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim al Jauziyah, kemudian selanjutnya seperti al Sindi dan as Shan’ani, menjadi rujukan kaum Salafi untuk “mengurangi ketergantungan mereka pada mazhab tertentu, dan lebih berani untuk kembali langsung ke Al Quran dan hadis”.
Seluruh muslim adalah setara, dan yang membedakan hanya iman dan kesalehan. Memahami Al Quran dan hadis pun mestinya begitu. Kalangan Jamaah Tabligh yang dikembangkan di India, oleh Syekh Al Kandahlawi, juga meletakkan nilai-nilai serupa – barangkali Anda juga pernah mendengarnya di masjid terdekat.
Sebagian ulama, membayangkan bahwa para sahabat saja bisa langsung mengamalkan agama tanpa penafsiran dan pendekatan macam-macam. Mengapa orang sekarang tidak bisa, dan tidak boleh?
Pada kurun abad 18 dan 19, diskursus soal otoritas ulama ini semakin marak seiring mulai berkembangnya ajaran Wahabi di dataran Arab. Terlalu tidak masuk akal menyatakan bahwa hanya ulama yang bermazhab saja yang memahami Islam, ujar al Sindi. Bahkan sebab keharusan bertaklid, karena ulama tidak memberi kesempatan kalangan umum untuk mempelajari agama – khususnya ijtihad.
Kembali ke problem pemahaman Al Quran dan hadis secara mandiri, inilah mula bagaimana banyak pernyataan dan “fatwa” aneh-aneh merebak. Perkembangan tentang taklid, bermazhab, atau kebebasan berfatwa, dipandang Brown tidak lepas dari kontur politik setempat.
Kurang konsisten tampaknya. Toh sama saja, yang awam, sekalipun dipandang boleh memahami agama sendiri, namun tetap mesti mengikuti yang lebih ahli. Brown menyimpulkan, pernyataan kembali ke Al Quran dan hadis dari kalangan Salafi, adalah suatu bentuk retorika yang memang bermasalah.
Patut dimaklumi jika ada beberapa pendakwah di masyarakat, yang belum mendapat tempat di masyarakat umum. Sedikit-sedikit haram atau tidak boleh, menyandarkan pendapat pada hadis-hadis yang mereka pahami. Aneh tidaknya suatu fatwa memang relatif, tapi karena “melawan” tradisi yang sudah mapan itu meresahkan, ada kohesi sosial yang mungkin terkorbankan.
Jadi bagaimana pernyataan yang mungkin sedikit aneh dari para ustadz, sembari mengutip ayat Al Quran dan hadis itu bisa muncul? Barangkali artikel ini sedikit menunjukkan bagaimana kecenderungan beliau-beliau itu ada, dan toh terjadi. Dan tentu ada kritik tersendiri tentunya, seputar otoritas para ulama. Wallahu a’lam.