Belum lama ini Prof. Musda Mulia menerbitkan buku yang berjudul Kemuliaan Perempuan dalam Islam. Buku ini banyak menjelaskan tentang posisi dan kedudukan perempuan dalam Islam. Buku tersebut diharapkan dapat menjadi panduan singkat dan praktis bagi siapa saja yang ingin memahami perempuan dalam Islam. Namun menariknya, sebelum membahas lebih lanjut tentang posisi perempuan, Musda Mulai menjelaskan secara jernih tentang pemahaman Islam yang benar. Hal itu ditulis pada bab I yag diberi judul Mari Memahami Islam dengan Benar. Dalam babini ditulis bahwa Islam diyakini pemeluknya sebagai agama yang sempurna, di dalam ajaranya sudah tercakup semua tuntutan ideal dan luhur bagi manusia di muka bumi agar selamat dan bahagia menuju kehidupan akhirat yang kekal dan abadi. Ajaran Islam terbagi dalam dua kategori; ajaran dasar dan non-dasar.
Ajaran dasar Islam termaktub dalam kitab suci Al-Qur’an dan hadis shahih. Teks-teks suci inilah yang bersifat abadi, mutlak dan tidak dapat diubah. Sedangkan ajaran non-dasar mengambil bentuk hasil ijtihad para ulama dari sejak rasulullah saw masih hidup sampai sekarang. Sesuai dengan bentuknya, jenis ajaran kedua ini bersifat relative, tidak mutlak dan tidak absolut, dan bisa diubah. Ajaran non-dasar itu ditemukan dalam kitab-kitab fiqh, kitab tafsir, dan kitab-kitab keagamaan lain sejak zaman klasik Islam.
Selain itu, ajaran Islam terbagi dua aspek. Aspek vertical (hablum-minallah) dan aspek horizontal (hablum-minannas). Aspek vertical berisi seperangkat kwajiban manusia kepada Tuhan, sementara aspek horizontal terdiri dari seperangkat ajaran yang mengatur hubungan antara sesame manusia.
Mestinya kedua aspek itu dijalankan dengan seimbang. Artinya, manusia taat kepada Allah swt dan sekaligus berbuat baik dan peduli kepada sesama manusia. Khususnya mereka yang tertindas dan mengalami ketidakadilan, serta aktif menjaga kelestarian lingkungan hidup. Jadi, ketaatan itu berdampak dalam hubungan sosial.
Namun dalam realitas sosiologis di masyarakat, umat Islam umumnya lebih konsen pada aspek vertical. Sebaliknya, aspek horizontal sering diabaikan atau dianggap tidak penting. Contohnya, tidak sedikit umat Islam rajin pergi umroh dan haji setiap tahun, tapi tidak peduli pada penderitaan masyarakat disekitarnya. Masih banyak tetangga kelaparan, butuh bantuan kesehatan serta dana pendidikan. Tidak sedikit pejabat rajin sholat, tapi terlibat korupsi yang membuat rakyat terlantar. Sebagian umat Islam sangat rajin berpuasa, tapi tetap menebar fitnah dan profokasi yang menimbulkan kerusuhan dan konflik. Bahkan tidak sedikit manusia mengaku beriman, tapi menelantarkan orang tuanya yang sudah uzur dan sakit.
Demikian seterusnya terjadi paradox dalam kehidupan keagamaan. Dan ini bukan hanya terjadi di lingkungan umat Islam, melainkan juga di lingkungan agama lain. Tidak heran, jika kondisi umat beragama di Indonesia masih sangat jauh dari gambaran adil, sejahtera, damai, ramah, dan humanis.
Keadaan tersebut berbeda dari potret umat Islam generasi awal, khususnya di masa Rasul dan Khulafa Rasyidin. Ketika itu umat Islam melaksanakan dua aspek ajaran, hablum minallah dan hablum minannas secara berimbang. Disamping menyembah Tuhan, juga sangat peduli pada isu-isu kemanusiaan. Akibatnya, wajah Islam sangat simpatik, adil, penuh damai, ramah, toleransi, menggunakan nilai-nilai kemanusiaan sejati.
Bahkan, jauh dari sekedar retorika, Rasul dengan sukses menyemai ajaran persamaan dan penghormatan kepada manusia dalam masyarakat Madinah yang sangat heterogen sebagaimana tertuang dalam piagam Madinah.
Piagam Madinah menegaskan lima hal pokok sebagai dasar kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pertama, prinsippersaudaraan. Semua manusia berasal dari satu unsure dan karenanya mereka bersaudara, tidak boleh saling menyakiti satu sama lain. Kedua, prinsip saling menolong dan melindungi, penduduk Madinah yang beragam suku dan agama harus saling membantu dalam menghadapi lawan. Ketiga, prinsip melindungi yang lemah dan teraniaya. Keempat, prinsip saling menasehati. Terakhir, prinsip kebebasan berekspresi dan beragama. Semua orang bebas mengemukakan opini dan menjalankan ajaran agama sesuai keyakinan masing-masing dengan penuh tanggung jawab.