Dosen Bukan Begawan, Sebuah Pengalaman Pribadi

Dosen Bukan Begawan, Sebuah Pengalaman Pribadi

Ini kisahku sebagai seorang dosen, apakah sama denganmu?

Dosen Bukan Begawan, Sebuah Pengalaman Pribadi

Seorang filsuf bernama Socrates diakui sebagai pemikir besar pada zamannya. Meskipun tidak melahirkan karya tulis, pemikirannya memberikan pengaruh hingga saat ini. Socrates mendedikasikan hidupnya untuk mengabdi pada kebenaran pemikiran. Setiap hari disibukkan berdialektika perihal kebenaran pengetahuan. Tidak ada jeda baginya memberikan pencerahan kepada publik ‘polis’. Paradoksnya, Socrates dipuja publik hingga sekarang tapi dinistakan keluarganya karena tak sanggup memberikan kebahagiaan material.

Begitu juga dengan Karl Marx. Marx seorang pemikir yang melahirkan buku legendaris seperti Das Kapital dan Manifesto Komunis. Buku-bukunya disebut fenomenal karena memberikan dampak pada pemikiran hingga berkembang menjadi praksis gerakan. Gerakan revolusioner kaum buruh di Eropa Timur paruh abad 18 sangat dipengaruhi oleh pemikiran Marx.

Apa yang dilakukan Marx dengan melahirkan berbagai buku maupun opini-opini menunjukkan betapa dasyatnya pengaruh pemikiran terhadap perkembangan keilmuan. Kerja serius Marx mendapatkan apresiasi luar biasa pada publik sampai sekarang. Totalitas hidup Marx untuk kepentingan menulis, bahkan ada cerita di akhir hayatnya ia meninggal dalam keadaan sedang menulis. Problemnya, Marx berhasil sebagai seorang pemikir, tapi dia gagal sebagai kepala keluarga yang bertanggungjawab mencukupi kebutuhan anak dan istrinya.

Kerja menulis ternyata tidak sepadan dengan kompensasi ekonomi. Marx dan keluarganya tetap saja menjadi miskin secara ekonomi. Beruntunglah ada sahabatnya yang kaya bernama Federick Engels yang memfasilitasi hampir semua kebutuhan Marx. Oleh Engels, Marx seperti sengaja disuruh untuk terus menerus berpikir dan berkarya, dan diberikan fasilitas atas kerja serius itu.

Socrates dan Karl Marx merupakan dua martil dunia pemikiran kita, yang menisbahkan hidupnya untuk sibuk dalam ruang pemikiran semata. Dari dua cerita ini saya ungkapkan agar kita dapat mengambil pelajaran betapa kerja keilmuan, dari penelitian hingga publikasi karya ilmiahnya bukanlah kerja mudah. Selain membutuhkan ruang waktu yang cukup, diperlukan fasilitasi memadai agar dapat bekerja secara secara total. Dedikasi pada dunia ilmu pengetahuan tanpa didukung fasilitas memadai hanya kontraproduktif antara cita-cita publik dengan kehidupan pribadinya.

Realitas yang menimpa Socrates dan Karl Marx saat ini sedang dialami oleh dosen, meskipun tidak sedramatik kedua filsuf tersebut. Saat ini para dosen dituntut tidak hanya mengajar, meneliti dan mengabdi, tapi juga menulis karya ilmiah pada jurnal internasional terindeks scopus. Hal ini ditandai dengan keluarnya Peraturan Menristekdikti Nomor 20 Tahun 2017 tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor yang mewajibkan dosen membuat karya tulis yang dimuat pada jurnal ilmiah internasional terindeks scopus. Jika itu tidak dilakukan, maka tunjangan prosesi dan kehormatannya akan dihentikan.

Tulisan Bagong Suyanto (Jawa Pos,07 /02/2017) menunjukkan betapa permen ini berpotensi memberatkan para guru besar memenuhi tuntutan menulis jurnal ilmiah skala internasional. Selain kendala beban kerja, kurangnya kemampuan berbahasa asing guru besar terutama dalam academic writing, ditambah dengan waktu tunggu pemuatan artikel di jurnal ilmiah yang relatif cukup lama.

Jangan membandingkan gaji dosen dengan gaji PNS lainnya, apalagi pegawai BUMN memang tidak sepadan. Jikal mereka begitu mudah mendapatkan fasilitas kenaikan tunjangan, tanpa harus ada tuntutan lainnya, maka profesi dosen merupakan prosesi elitis yang tidak mudah mendapatkan kenaikan tunjangan. Tuntutannya tidak saja administratif, tapi juga kinerja akademik seperti jumlah jam mengajar disertai dengan jumlah artikel terpublikasikan.

Negara sepertinya sedang menuntut agar dosen berfungsi sebagai seorang filsuf yang pekerjaannya menulis dan mempublikasikan tulisannya. Negara menempatkan dosen selayaknya seperti seorang ‘begawan’ yang tidak boleh ada kesibukan lain, selain terkait dengan aktivitas keilmuan an sich. Pengabdian seorang dosen pada masyarakat secara langsung tidak dianggap sebagai bagian dari kerja profesi.

Ada banyak dosen yang juga disibukkan sebagai pegiat sosial, sebagai tokoh masyarakat dan aktivis organisasi sosial. Mereka tetap menulis, meskipun tidak pada jurnal internasional, tapi berkontribusi pada masyarakat sekitar.

Bukankah memang demikian seharusnya kerja seorang intelektual. Tidak hanya menguatkan kapasitas intelektual pribadi, tapi berperan dalam setiap proses-proses transformasi sosial. Jurnal internasional terindeks scopus penting dan perlu diperhitungkan, karena ia meningkatkan kompetisi perguruan tinggi di tingkat internasional. Namun demikian, yang tidak boleh diabaikan adalah bagaimana kontribusi keilmuan itu terhadap bangsa dan negara? Jangan sampai kompetisi karya ilmiah hanya sekedar menyenangkan kolega keilmuan tapi tidak kontributif pada masyarakat di luar kampus. Semoga.