Sudah jamak diketahui bahwa semua kelompok yang melakukan aksi kekerasan dan ekstremisme atas nama Islam, baik di masa lalu maupun di masa sekarang, biasanya menggunakan slogan “amar makruf nahi munkar”.
Untuk menyerang kelompok lain yang tidak sejalur pemikirannya, mempersekusi buku-buku, mengebom tempat hiburan, tempat-tempat peribadatan, jihad di Suriah dan seterusnya, semuanya memakai slogan “amar ma’ruf nahi munkar,” atau lebih tepatnya “nahi munkar” saja tanpa “amar ma’ruf”. Abdullah Azzam dalam beberapa tulisannya tentang jihad global juga menggunakan slogan ini sebagai basis legitimasi bagi pandangan-pandangan ekstrimnya.
Slogan “amar ma’ruf nahi munkar” tak ayal lagi memang sangat genuine islami dan dapat kita temukan beberapa ayat yang berbicara soal ini. Misalnya, surat Ali Imran ayat 110 (Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah) dan juga Ali Imran ayat 114: (Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh) dan beberpa ayat lainnya.
Namun persoalannya ayat-ayat ini dipelintir dan ditundukkan untuk memenuhi hasrat pihak tertentu dalam menyingkirkan “yang lain” yang tidak seide atau yang bukan kelompoknya.
Kita akan melihat bagaimana aliran-aliran Islam memahami konsep “amar ma’ruf nahi munkar.”
Aliran Khawarij memberikan pemaknaan terhadap konsep ini secara ekstrim, bahkan keluar dari konteks dan maksud awalnya. Mereka menggunakan slogan ini untuk menyerang semua yang tidak seide dengan mereka. Yang “ma’ruf” bagi Khawarij ialah pandangan mereka sendiri sedangkan yang “munkar” ialah pendapat orang-orang yang tidak sepemikiran dengan mereka. Khawarij menjadikan slogan ini sebagai fardu ain bagi tiap muslim. Abdullah Azzam dan beberapa para ideolog jihadis lainnya menghadirkan kembali fardhu ‘ain bagi gerakan nahi munkar yang diturunkan ke aksi jihad.
Khawarij juga menjadikan kekerasan, baik kekerasan dalam kata-kata maupun kekerasan menggunakan senjata, sebagai medium untuk menerapkan slogan “amar ma’ruf nahi munkar” ini. Mereka terapkan slogan ini untuk menyerang individu dan institusi, institusi pemerintahan, misalnya. Sebab, revolusi terhadap pemerintah merupakan salah satu pijakan dasar dari aliran ini. Namanya juga Khawarij yang secara makna artinya pemberontak terhadap pemerintah.
Sementara itu, aliran Muktazilah yang dikenal dengan rasionalismenya menjadikan slogan “amar ma’ruf nahi munkar” sebagai basis kelima setelah tauhid, keadilan, posisi di antara dua kedudukan, serta janji dan ancaman. Meski menggunakan slogan yang sama, Muktazilah berbeda dengan Khawarij baik dalam pemahamannya maupun dalam prakteknya.
Kendati menjadikan slogan ini sebagai sila kelima dalam pancasilanya, al-Qadhi Abdul Jabbar, ulama Muktazilah, dalam Syarh al-Usul al-Khamsah tetap melihat bahwa “amar ma’ruf nahi munkar” secara hukum statusnya hanyalah fardhu kifayah, yang jika dilaksanakan oleh sebagian, gugurlah kewajiban bagi sebagian lainnya. Muktazikah juga memberikan beberapa syarat dalam mengaplikasikan slogan ini; di antaranya, jika ingin dilakukan “amar ma’ruf nahi munkar”, harus diketahui terlebih dahulu bahwa kemunkaran itu ada dan benar-benar nyata, yang dimaksud tahu di sini bukan sekedar tahu atau bukan sekedar sangkaan belaka, tapi tahu secara benar-benar bahwa kemunkaran memang nyata ada.
Syarat lainnya ialah jangan sampai dengan melakukan “amar ma’ruf nahi munkar” akan timbul madarat yang lebih besar. Syarat selanjutnya ialah si pelaksana harus tahu secara pasti juga bahwa kata-katanya ini akan memiliki pengaruh perubahan, adapun jika tidak bisa dipastikan apakah “nahi munkar”-nya ini akan berimplikasi kepada hasil yang diharapkan atau tidak, menurut Muktazilah “amar ma’ruf nahi munkar” dalam kondisi seperti ini tidak wajib dilaksanakan. Syarat lainnya juga, si pelaksana “amar ma’ruf nahi munkar” harus paham implikasinya, maksudnya, dengan menerapkan slogan ini, jangan sampai menimbulkan mudarat bagi diri, harta dan keluarganya.
Selain ketentuan di atas, Muktazilah dalam melaksanakan “amar ma’ruf nahi munkar” juga membedakan antara dua jenis slogan ini: pertama, “amar ma’ruf nahi munkar” yang hanya bisa dilakukan oleh pemerintah dan kedua, “amar ma’ruf nahi munkar” yang bisa dilakukan oleh semua orang. Yang pertama, misalnya seperti melaksanakan hukum pidana, menjaga marwah agama, menutup banteng pertahanan, melatih para tentara, menunjuk hakim dan gubernur dan seterusnya. Adapun yang kedua, misalnya seperti “amar ma’ruf nahi munkar” bagi praktek minum arak dan zina, namun “jika ada pemimpin yang ditaati, menyerahkan eksekusinya kepadanya lebih diutamakan.”
Namun yang menarik juga, Muktazilah membolehkan pemberontakan kepada pemerintah yang melakukan kefasikan dan tentu dengan syarat yang ketat, yakni si pelaksana harus bisa memastikan apakah “amar ma’ruf nahi munkar” yang dilakukannya bisa berhasil atau tidak dalam mengubah keadaan.
Sedangkan Asy’ariyyah yang merupakan golongan Ahlu Sunnah wal Jama’ah memandang bahwa “amar ma’ruf nahi munkar” status hukumnya ialah fardu kifayah. Sebab, “amar ma’ruf nahi munkar” disyaratkan mengetahui terlebih dahulu apa itu yang ma’ruf dan apa itu yang munkar. Ar-Razi dalam Mafatih al-Ghaib menjelaskan demikian:
فإن الجاهل ربما عاد إلى الباطل وأمر بالمنكر ونهى عن المعروف، وربما عرف الحكم في مذهبه وجهله في مذهب صاحبه فنهاه عن غير منكر، وقد يغلظ في موضع اللين ويلين في موضع الغلظة
“Orang yang tidak tahu hukum bisa jadi akan mengajak kepada kebatilan, memerintahkan untuk melakukan kemunkaran dan mencegah kebaikan. Bisa jadi seseorang hanya tahu hukum dalam mazhabnya namun tidak tahu hukum mazhab orang lain sehingga ia melarang orang lain melakukan sesuatu yang bukan munkar. Orang yang tidak paham agama bisa meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya: marah di kondisi yang mengharuskan lemah lembut, bersikap lemah lembut di kondisi yang mengharuskan marah..”
Atas pertimbangan ini, orang yang ditugasi melakukan “amar ma’ruf nahi munkar” ialah para ulama, bukan selain mereka. Sebab, ulamalah yang tahu apa itu yang “ma’ruf” dan apa itu yang “munkar”. Mereka tahu dan paham betul semua status hukum, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang halal dan mana yang haram, mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Karena itu menurut Asy’ariyyah semua hal ini hanya bisa diketahui oleh para ulama, dan tentunya yang memiliki kewajiban melakukan “amar ma’ruf nahi munkar” ialah mereka para ulama, bukan individu-individu, apalagi ormas-ormas tertentu.
Inilah pandangan Khawarij, Muktazilah dan Asy’ariyyah. Jelas gerakan-gerakan kekerasan yang mengatasnamakan Islam melalui slogan “amar ma’ruf nahi munkar” ini banyak mengacu kepada paham Khawarij. Mungkin di antara kita ada yang bertanya, bukannya gerakan ekstrim ini rujukannya ialah Ibnu Taymiyyah dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah? Saya kira ini pandangan yang keliru. Kita akan perjelas pandangan ulama yang pandangan-pandangannya sering dijadikan basis legitimasi bagi gerakan ekstremisme saat ini di tulisan berikutnya.
*Selanjutnya baca Meluruskan Pemahaman Amar Ma’ruf Nahi Munkar yang Sering Disalahpahami (Bag-2)