Meluruskan Pemahaman Amar Ma’ruf Nahi Munkar yang Sering Disalahpahami (Bag-2)

Meluruskan Pemahaman Amar Ma’ruf Nahi Munkar yang Sering Disalahpahami (Bag-2)

Meluruskan Pemahaman Amar Ma’ruf Nahi Munkar yang Sering Disalahpahami (Bag-2)

Slogan “amar ma’ruf dan nahi munkar” dalam sejarahnya selalu dipraktekkan dengan tindak-tindak kekerasan, baik kekerasan kata-kata maupun kekerasan senjata. Klaim bahwa kelompok sendirilah yang melakukan ma’ruf sementara yang selain mereka sebagai munkar mendapat basis kesejarahannya pada kelompok Khawarij. Adalah keliru jika ekstremisme yang muncul saat ini ditimpakan kesalahannya hanya pada sosok guru dan murid: Ibnu Taymiyyah dan Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah.

Dua pemikir Islam dari mazhab Hanbali ini memiliki pandangan yang cukup unik soal penerapan “amar ma’ruf nahi munkar”.

Ibnu Taymiyyah yang terkenal sebagai tokoh literalis ekstrimis bagi sebagian kalangan berpandangan bahwa dalam melakukan “amar ma’ruf nahi munkar”, kemaslahatan harus menjadi pertimbangan utama. Jika mengubah kemunkaran akan berimplikasi kepada kemaslahatan secara meyakinkan, maka mengubah kemunkaran hukumnya wajib dan jika ragu dengan implikasi yang akan diperoleh, lebih baik, kata Ibnu Taymiyyah, tidak perlu dilakukan. Ibnu Taymiyyah dalam Majmu al-Fatawa nya mengatakan demikian:

ولهذا لا يجوز إنكار المنكر بما هو أنكر منه؛ ولهذا حرم الخروج على ولاة الأمر بالسيف لأجل الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر، إن كان ما يحصل بذلك من فعل المحرمات وترك واجب، أعظم مما يحصل بفعلهم المنكر والذنوب،

“Oleh karena itu, tidak boleh kita mengubah kemunkaran dengan menggunakan sesuatu yang lebih munkar lagi. Dan atas dasar ini pula, memberontak kepada pemerintah dengan mengangkat senjata, dengan tujuan ingin menegakkan amar ma’ruf nahi munkar hukumnya ialah haram. Nahi munkar terhadap pemerintah tidak boleh dilakukan jika implikasinya ialah justru dilakukannya hal-hal terlarang dalam agama dan ditinggalkannya hal-hal yang wajib yang malah mudaratnya lebih besar dari kemungkaran itu sendiri.”

ولو نهوا عن ذلك وقع بسبب ذلك شر أعظم مما هم عليه من ذلك، ولم يمكن منعهم منه، ولم يحصل بالنهي مصلحة راجحة. فالمنهي عنه إذا زاد شره بالنهي وكان النهي مصلحة راجحة كان حسناً، وأما إذا زاد شره وعظم وليس في مقابلته خير يفوته لم يشرع، إلا أن يكون في مقابلته مصلحة زائدة. فإن أدى ذلك إلى شر أعظم منه لم يشرع، مثل أن يكون الآمر لا صبر له، فيؤذي فيجزع جزعاً شديداً يصير به مذنباً، وينتقص به إيمانه ودينه. فهذا لم يحصل به خير لا له ولا لأولئك؛ بخلاف ما إذا صبر واتقى الله وجاهد، ولم يتعد حدود الله بل استعمل التقوى والصبر

“Pemerintah yang jika dilarang melakukan kefasikannya, justru akan berdampak mafsadat yang lebih besar, maka kemaslahatanlah yang harus dipertimbangkan. Kadang hal-hal yang dilarang justru akan bertambah keburukannya dengan diterapkan nahi munkar tanpa menimbang kemaslahatan. Tentu baiknya, nahi munkar pada konteks ini tidak perlu dilakukan. Jika keburukannya malah bertambah dan tidak bisa dicegah dengan kebaikan, amar ma’ruf nahi munkar tetap tidak diperbolehkan kecuali jika kita melihat adanya kemaslahatan lebih besar (dari mudaratnya). Jadi jika justru berdampak kepada keburukan yang lebih besar, amar ma’ruf nahi munkar tidak diperbolehkan. Misalnya seperti seorang pelaksana amar ma’ruf tidak memiliki kesabaran, lalu ia menyakiti dan membuatnya menjadi berdosa, yang dengannya iman dan agamanya berkurang, tentu ini tidak ada kebaikan baik bagi pelaksana maupun bagi yang ditegurnya. Berbeda jika ia bersabar dan tidak melampaui batas.”

Ibnu Taymiyyah dalam Majmu al-Fatawa juga memberikan persyaratan bagi orang yang mengeksekusi amar ma’ruf nahi munkar:

أن لا يتعدى على أهل المعاصي بزيادة على المشروع في بغضهم أو ذمهم، أو نهيهم أو هجرهم، أو عقوبتهم؛ بل يقال لمن اعتدى عليهم عليك نفسك

“Tidak boleh benci, marah, melarang dan menghardik secara berlebih kepada ahli maksiat. Bahkan bagi mereka yang mencoba mengubah kemunkaran diharap tetap bisa menahan diri dan amarah.”

Syarat lainnya, kata Ibnu Taymiyyah ialah:

أن يقوم بالأمر والنهي على الوجه المشروع، من العلم والرفق، والصبر، وحسن القصد، وسلوك السبيل القصد

“harus melakukannya sesuai dengan cara yang dibenarkan yang meliputi pemahaman tentang baik buruk, memiliki kasih sayang, kesabaran, niat yang lurus dan berperilaku moderat (suluk as-sabil al-qasd).”

Dan tidak boleh berlebihan serta tidak boleh melakukannya dengan penuh amarah, kedengkian dan kebencian. Yang dilakukan oleh sekelompok umat Islam dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar tentu sangat bertentangan dengan saran yang dikemukakan Ibnu Taymiyyah. Mereka melakukan sweeping di mana-mana namun implikasinya malah madarat yang lebih besar. Ini kata Ibnu Taymiyyah, tidak boleh.

Persyaratan lain yang dikemukakannya ialah:

“إقبال المرء على مصلحة نفسه علماً وعملاً، وإعراضه عما لا يعنيه، كما قال صاحب الشريعة: من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه»، ولاسيما كثرة الفضول فيما ليس بالمرء إليه حاجة من أمر دين غيره ودنياه، لا سيما إن كان التكلم لحسد أو رئاسة

“lebih mengutamakan kepentingan diri, baik secara ilmu maupun secara amalan, dan mengindari diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat, sebagaimana Nabi SAW bersabda: ‘di antara baiknya kualitas Islam seseorang ialah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat,’ terutama terlalu banyak membicarakan yang tidak perlu seperti mencampuri  urusan agama dan dunia orang lain, terlebih jika melakukan itu semua karena hasad atau ingin menjadi pemimpin.”

Jadi dalam hal ini, Ibnu Taymiyyah menyarankan agar kita sibuk dengan diri kita sendiri, sibuk dalam hal peningkatan pengetahuan dan sibuk dalam hal peningkatan kualitas amalan kita, bukan melakukan nahi munkar dengan berpokus mencari kemaksiatan-kemaksiatan yang dilakukan oleh orang-orang.

Standar utama Ibnu Taymiyyah dalam perlu atau tidaknya melakukan amar ma’ruf nahi munkar ialah kemasalahatan. Artinya jika diterapkan amar ma’ruf nahi munkar dan implikasinya malah kemudaratan, Ibnu Taymiyyah memandang tidak perlu.