Bagi para pembaca yang hendak belajar Ushul Fiqih, perlu kiranya untuk memahami uraian ringan al-Ghazali tentang tema-tema besar Ushul Fiqih, sebagaimana tertulis dalam karyanya al-Mushtashfa. Al-Ghazali menggunakan metafora yang sungguh unik, yaitu bagai orang yang sedang menanam.
Setidaknya ada empat tema besar Ushul Fiqih yang al-Ghazali metaforakan. Empat tema ini memberi kemudahan bagi para pembelajar Ushul Fiqih.
Pertama, hukum, yaitu produk jadi dari Ushul Fiqih. Al-Ghazali menyerupakannya dengan tsamrah (buah).
Kedua, pohon (Mutsmir) yang merupakan metafora dari Al-Quran, hadis dan ijma’, sumber atau asal muasal hukum.
Ketiga, Ushul Fiqih, yang merupakan langkah-langkah seorang mujtahid memperoleh hukum. Al-Ghazali menggambarkannya seperti cara memperoleh buah (Istitsmar).
Keempat, seorang penanam, yaitu orang yang dibayangkan sebagai sosok yang mampu menanam, merawat, serta mengotak-ngatik pohon agar berbuah. Al-Ghazali menyebutnya sebagai mustatsmir sebagai metafor dari seorang mujtahid yang mampu “mengotak-atik” dalil-dalil syariat menjadi hukum yang maslahat bagi umat.
Selain itu, al-Ghazali juga menyebut keempat tema besar ini dengan istilah al-Quthb yang berarti poros, pusat, episentrum. Keempat tema besar tersebut ibarat pusat tata surya, sedangkan permasalahan-permasalahan Ushul Fiqih seperti planet-planet yang mengelilinginya. Akhirnya, kita pun mampu membayangkan bahwa Ushul Fiqih terdiri dari empat pusat utama yakni hukum, nash-nash syariat (al-Quran, hadis, ijma’), nalar Ushul Fiqih dan terakhir mujtahid. Dengan penyederhanaan ini, belajar Ushul Fiqih pun agak lebih ringan.
Decak kagum tidak dapat saya sembunyikan setelah membaca uraian al-Ghazali tersebut. Ia mampu menyederhanakan pemetaan pembahasan Ushul Fiqih yang begitu luas dan kaya, dengan cerdas dan sistematis. Al-Ghazali menggunakan metafora seorang tukang kebun menghasilkan buah terbaik dan berkualitas dari pohon yang diotak-atik sedemikian rupa demi kemaslahatan banyak orang.
Bagi saya, Al-Ghazali sedang memberikan pesan secara tersirat keapda para pelajar serta pemikir wacana keislaman, agar sebisa mungkin menghasilkan buah terbaik dari pohon terbaik dengan cara yang baik pula. Tanpa pengetahuan serta pengalaman mendalam mengenai cara menghasilkan buah terbaik, alias dalil-dalil syariat yang ada, maka seseorang tidak mungkin dapat memanen buah dengan kualitas tinggi yang membawa kemaslahatan bagi umat. (AN)
Wallahu a’lam.