Masjid Ditutup Saat Corona, Sementara Pasar Kok Tidak? (Bag-1)

Masjid Ditutup Saat Corona, Sementara Pasar Kok Tidak? (Bag-1)

Ini penjelasan buat kamu yang masih bingung kenapa masjid ditutup, sementara pasar tidak

Masjid Ditutup Saat Corona, Sementara Pasar Kok Tidak? (Bag-1)

Akhir-akhir ini, banyak bertebaran di media sosial pihak-pihak yang membandingkan pencegahan sementara waktu aktifitas shalat Jum’at dan ibadah shalat maktubah di masjid dengan penutupan pasar. Jika di masjid, shalat bisa ditiadakan sementara, mengapa tidak dengan pasar?

Logika ini sekilas nampaknya benar jika dilihat dari sisi konteksnya, di mana corona virus disease (covid-19) sudah ditetapkan sebagai wabah pendemi sehingga penanganannya merupakan bagian dari penanganan bencana nasional non alam. Penetapan itu, oleh pemerintah daerah di respon dengan melakukan penutupan sementara pusat-pusat kegiatan masyarakat, termasuk di antaranya adalah masjid dan pasar sebagai aplikasi perintah menjaga jarak kontak sosial (social distancing) dan skema besarnya adalah lockdown.

Para ulama di berbagai daerah yang bekerjasama dengan aparat setempat, juga telah merespon dengan menyampaikan berbagai landasan fikih menurut kadar keterukurannya sesuai dengan wilayah qadha’nya. Namun, membandingkan kebijakan yang diberlakukan terhadap masjid dengan pasar adalah dua hal yang berbeda dari sisi illat hukum secara fikih.

Pertama, adalah dengan mencermati illat hukumnya sehingga mengharuskan tindakan yang berbeda. Kedua, adalah dilihat dari sisi faktor kebutuhan dan dampak luasnya. Jika, antara kedua hal tersebut terdapat titik perbedaan dalam illat, maka menganalogikan keduanya, adalah termasuk kategori qiyas ma’al al-fariq. Syeikh Muhammad ibn Muhammad al-Mukhtar al-Syinqithi, menjelaskan:

القياس دليل شرعي، وهذا الدليل الشرعي لا يجوز لأحد أن يستخدمه إلا إذا علم ضوابط الشريعة فيه، فالسلف والعلماء والأئمة أكثر من عشرة قرون قد قعَّدوا هذا الدليل الشرعي، وبيّنوا ضوابطه، فلا يجوز لأي شخص أن يستخدم هذا النوع من الأدلة إلا وهو يعرف أركانه وشروط

“Qiyas merupakan dalil syar’i. Sebagai dalil, maka penggunaannya oleh seseorang, tidak boleh melampau pengetahuan akan batas-batas ketetapan syara’ yang berlaku atasnya. Para ulama salaf dan para imam ahli fiqih selama lebih dari 10 kurun telah menetapkan kaidah syar’iyah ini dan mereka berhasil merumuskan beberapa batasan bagi kebolehan penggunaan qiyas. Tidak boleh bagi siapapun memberlakukan dalil dari suatu macam hukum, melainkan harus mengetahui syarat dan rukunnya.” (al-Syinqithy, Syarah Zad al-Mustaqni’, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt., Juz 15, halaman 262).

Lebih lanjut, al-Syinqithi di dalam kitab tersebut menjelaskan mengenai maksud dari rukun yang dimaksud, yaitu:

أي: الأركان المعتبرة للعمل به وإثباته، فلا يأتي أحد فيقيس شيئاً على شيء دون علم ومعرفة؛ لأنه قد يحلِّل ما حرم الله، وقد يحرم ما أحل الله، والرأي قد يكون مزلّة للإنسان إذا لم يحسنه؛ لأن الرأي سلاح ذو حدين، فإما أن يكون سبباً في بناء الشرع وتميُّز أحكامه ومعرفتها والوصول إلى الحق في المسائل المشكلة، وإما أن يكون العكس والعياذ بالله

“Maksud dari rukun di sini adalah rukun yang mu’tabar untuk bisanya diamalkan dan ditetapkan hukumnya. Karenanya, seseorang tidak boleh melakukan pembandingan sesuatu dengan sesuatu tanpa ilmu dan ma’rifah hukum. Karena jika hal itu dilakukan, kekhawatiran akan timbul menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, dan mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah. Suatu pendapat kadang dapat membuat seseorang menjadi tercebur dalam melakukan kesalahan sebab tidak membagusi pengetahuannya akan illat hukum ini, karena bagaimanapun juga suatu pendapat / pandangan merupakan garis demarkasi antara dua batasan. Adakalanya dapat menjadi sebab menguatkan bangunan hukum syara’, hikmah-hikmahnya dan perinciannya, serta dapat menjadi perantara wushul menuju kebenaran sejati dalam suatu masalah yang rumit, akan tetapi pendapat / pandangan kadang juga bisa berlaku sebaliknya (menyeret pada kesalahan dan meruntuhkan bangunan hukum syariat). Kita memohon perlindungan kepada Allah dari berlaku demikian.” (al-Syinqithi, Syarah Zad al-Mustaqni’, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt., Juz 15, halaman 262).

Dalam penjelasannya, al-Syinqithi menyitir sebuah surat yang ditulis oleh sahabat Umar bin Khathab yang mana beliau menyampaikan praktik pembandingan yang benar, yaitu:

اعرف الأشباه والنظائر، ثم قس الأمور بأمثالها

“Kenali dulu keserupaan-keserupaan illatnya, dan berbagai pandangan tentangnya, lalu analogikan perkara itu menurut kesetaaraan illat” (al-Syinqithi, Syarah Zad al-Mustaqni’, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt., Juz 15, halaman 262).

Di dalam surat itu, sahabat Umar ibn Khathab memberikan panduan mengenai metode melakukan qiyas, antara lain diawali dengan upaya mengenali terlebih dulu. Maksud dari mengenali ini adalah:

فبدأ بالمعرفة، فتحتاج إلى أن تعرف ما هو الأصل؟ وما هي العلة التي تربط بين الأصل والفرع؟ وتعرف الحكم المستنبط والذي تتوصل إليه، والذي من أجله أثبتَّ القياس

“Sahabat umar memulai dengan memerintahkan agar mengenali terlebih dulu terhadap kasus hukum. Karenanya kamu membutuhkan beberapa langkah, antara lain apa hukum asal dari perkara yang hendak diputuskan? Apa yang menjadi illat masalah hukum tersebut yang mengikatkan antara hukum asal dengan hukum cabang? Pengenalan terhadap kaidah asal dan cabang dari hukum yang hendak digali ini dapat mengantarkan kepada tsubutnya hukum. Dan dari sini, hendaknya qiyas itu dilakukan.” (al-Syinqithi, Syarah Zad al-Mustaqni’, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt., Juz 15, halaman 262).

Itulah sebabnya, dalam kaidah ushuliyah berlaku sebuah ketetapan, bahwa:

الحكم يدور مع علته وجودًا وعدمًا

Hukum berlaku bersama dengan illatnya, baik adanya dan tiadanya.

Artinya, jika terdapat perbedaan dalam hukum asal, apalagi perbedaan illat dari dua perkara yang hendak dianalogikan, maka pembandingan semacam adalah termasuk galat (kesalahan).

Dalam praktik pembandingan masjid sebagai tempat ibadah melakukan ibadah jum’at dan shalat berjamaah, kemudian membandingkannya dengan pasar, adalah dua hal yang berbeda dari hukum asalnya dan illatnya.

Masjid dikaitkan dengan aktifitas ibadah shalat maktubah yang hukum asalnya adalah sunnah muakkadah, dan pada pada kasus shalat jum’ah yang hukum asalnya adalah wajib, kemudian dibandingkan dengan pasar yang hukum asal praktiknya adalah termasuk ibadah mu’amalah yang bersifat mubah, adalah pembandingan yang fariq. Para ulama menegaskan, pembandingan seperti ini adalah bathil, artinya menghendaki pengabaiannya.

Yang penting untuk dicatat adalah, galat itu terjadi pada cara menganalogikan, dan bukan tujuan dari penganalogian. Jika yang dituju adalah berlakunya social distancing, maka kesalahan itu terletak pada bangunan dasar yang dipakai sehingga terbit harus berlaku social distancing. Karenanya, penganalogian semacam ini, melazimkan pembatalan, sehingga perlu ditempuh dengan cara lain, melalui telaah terhadap masing-masing kaidah furu’-nya (hukum cabangnya).

Al-Syinqithi menjelaskan:

هذا قياس مع الفارق، فتثبت أن هناك فرقاً بين الأصل وبين الفرع، وتُضعّف إلحاق الفرع بالأصل من هذا الوجه فالقياس مع الفارق قادح من قوادح القياس الأربعة عشر، وإذا سلّم الخصم أن هذا الفارق مؤثر فحينئذٍ يبطل قياسه، أو يلزم بدليل آخر بدلاً عنه

“Qiyas yang berangkat dari ushul dan furu’ yang berbeda semacam ini adalah galat, karena tsubut bahwasanya dalam metode itu terlah terjadi perbedaan antara kaidah hukum asalnya dan hukum cabangnya sehingga dapat melemahkan wajah kombinasi hukum cabang berdasar dalil asalnya. Analogi dengan disertai galat perbedaan seperti ini merupakan satu dari 14 alasan tertolaknya qiyas. Berangkat dari sini, maka langkah selamat dari adanya pertentangan dalil, adalah dengan keberadaan galat pembandingan tersebut maka berlaku resiko, yaitu membatalkan cara penganalogiannya dan beralih melakukan penggalian dalil yang lain sebagai ganti dari hasil qiyas ma’a al-fariq itu.” (al-Syinqithi, Syarah Zad al-Mustaqni’, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt., Juz 15, halaman 262).

Alhasil, membandingkan kedua hal antara masjid dan pasar sebagai dasar melakukan social distancing adalah tidak tepat. Social distancing pada masjid memiliki tata aturan tersendiri sesuai bangunan hukum asal dan furu’nya. Demikian pula pada pasar, yang berangkatnya dari kaidah muamalah dasar. Bagaimana semestinya hal itu dilakukan? Simak terus ulasannya di Islami.co.