Social Distancing yang Disalahpahami

Social Distancing yang Disalahpahami

Menjaga jarak ketika bertemu seseorang di luar atau memilih di rumah aja, itulah social distancing. Bukan berarti menolak jenazah pasien covid-19.

Social Distancing yang Disalahpahami
Jenazah pasien covid 19 hendak disemayamkan. Foto: tagar.id

Meningkatnya jumlah positif virus corona (covid-19) telah menyebabkan perubahan yang fundamental terhadap Indonesia. Covid-19 telah mengubah perekonomian, sosial, politik, hingga tata cara beribadah masing-masing pemeluk agama di Indonesia. Tentu saja, keadaan seperti ini tidak hanya dialami oleh Indonesia melainkan juga seluruh dunia yang terkonfirmasi terjangkit covid-19.

Beberapa kebijakan pun dikeluarkan oleh pemerintah untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Ada beberapa pilihan sebuah kepala negara di seluruh dunia dalam menanggapi virus corona, sebut saja lockdown, karantina wilayah, dan pembatasan sosial atau social distancing. Dari beberapa pilihan tersebut, Indonesia memutuskan tidak memilih lockdown dan lebih memilih social distancing serta physical distancing.

Pilihan tersebut bukan tanpa alasan. Pasalnya, menurut Presiden Joko Widodo, setiap negara memiliki kemampuan berbeda-beda, memiliki kultur politik, sosial, agama yang berbeda-beda. Oleh karena itu, apabila gegabah dalam menyikapi persoalan covid-19, dampaknya akan semakin besar. Indonesia mungkin diuntungkan oleh keterlambatan masuknya virus ini karena bisa belajar dari negara lain yang terkonfirmasi terlebih dahulu terkena virus covid-19, sehingga dari proses pembelajaran tersebut bisa diambil hikmahnya untuk mengambil kebijakan yang tepat.

Kebijakan social distancing dan physical distancing yang dipilih oleh Indonesia tidak hanya memiliki dampak positif sebagai antisipasi penyebaran virus covid-19, namun juga memiliki implikasi yang buruk. Buruknya kebijakan ini dibarengi dengan parno-nya masyarakat Indonesia dalam menginterpretasikan virus tersebut. Sebagai dampaknya, mereka benar-benar menjaga jarak dari semua orang, mencurigai orang yang datang dari wilayah zona merah, bahkan sampai ada yang mengusir para pemudik yang pulang ke kampung halamannya. Jika memang sudah terlanjur mudik, mereka harus diisolasi atau dikarantina selama 14 hari tidak boleh keluar rumah, sebagai upaya memutus rantai virus covid-19.

Kasus-kasus seperti penolakan jenazah di beberapa daerah adalah contoh konkrit bagaimana social distancing yang disalahpahami oleh masyarakat Indonesia. Padahal menurut beberapa ahli mengatakan bahwa apabila orang itu sudah meninggal, maka inang dari si virus juga akan mati, sehingga penularan tidak akan terjadi. Hal ini diperkuat dengan tidak ada bukti atau kasus yang diakibatkan oleh pertemuan antara orang meninggal dengan orang yang masih hidup.

Mbak Nana (panggilan akrab Najwa Shihab) dalam akun youtubenya mengatakan bahwa betapa parno-nya masyarakat Indonesia hingga berdampak pada penolakan jenazah. Hal ini sekaligus menjadi bukti bagaimana pemahaman social distancing yang belum diserap secara utuh oleh masyarakat. Menjaga jarak ketika bertemu seseorang di luar atau memilih di rumah aja, itulah social distancing. Bukan berarti menolak jenazah pasien covid-19. Masak kita tidak menerima seseorang pasien covid-19 meskipun hanya tinggal jasadnya?

Memang negara memutuskan untuk menjaga jarak, tapi bukan berarti ditafsirkan dengan penolakan terhadap semua pasien, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Mereka harus tetap kita hargai, mereka harus kita beri semangat untuk melawan virus tersebut.

Bagi para dokter dan perawat pasien juga jangan sampai kita tolak keberadaannya dalam lingkungan kita. Mereka adalah pahlawan kita saat ini. Dengan peralatan seadanya, mereka tetap berjuang untuk menyembuhkan para pasien. Sudah berapa dokter yang meninggal akibat terpapar virus tersebut dari pasien. Oleh karenanya, perjuangannya perlu kita apresiasi.

Protokol yang diberikan sudah jelas. Apabila berinteraksi dengan pasien yang positif covid 19 harus menggunakan masker dan jaga jarak. Selalu menjaga kebersihan dengan cuci tangan, dan mengkarantina diri sendiri apabila bepergian jauh, semua aturan ini sudah jelas. Tidak ada protokol atau aturan yang menegaskan kalau menolak pasien atau jenazah positif covid.

Maka tindakan-tindakan penolakan para dokter atau perawat dari rumah kosnya, penolakan jenazah, adalah contoh dari adanya pemahaman yang salah terhadap social distancing yang diwajibkan oleh pemerintah. Menurut hemat saya, pemerintah harus menyederhanakan istilah-istilah asing nan keminggris itu sih supaya masyarakat awam tidak gagal paham.