Dalam artikel Asal Usul Masjid al-Aqsha dan Peralihan Kiblat Bani Israil dari Kubah ke Bekas Kuil Dewi Venus sebelumnya, belum diperjelas apa yang dimaksud kata al-qubbah atau kubah dalam bahasa Arab yang pernah menjadi kiblat bagi sembahyangnya orang-orang Yahudi di padang pasir sebelum akhirnya membangun Masjid Aqsha di atas Karang yang pernah dijadikan kuil bagi kaum Sabean.
Tentang kubah yang disebut Ibnu Khaldun bahwa Bani Israil diperintahkan oleh Allah untuk membangunnya itu, ada sebagian ahli yang mengatakan bahwa yang benar adalah bukan kubah yang terbuat dari kayu, melainkan sebuah kemah besar yang terbuat dari kulit yang difungsikan sebagai kemah pertemuan atau ‘aula’ Bani Israel di gurun, dan disebut Tabernakel dalam bahasa Ibrani. Keterangan ini disampaikan oleh Franz Rosenthal dalam catatan kaki dalam karya terjemahannya yang berbahasa Inggris dari Mukaddimah Ibnu Khaldun yang berbahasa Arab.
Setelah menjelaskan secara rinci mengenai dipindahkannya kubah atau tubernakel tersebut ke atas Karang Suci lalu dibangunlah kuil oleh Nabi Dawud yang dilanjutkan oleh Nabi Sulaiman dan pada 800 tahun kemudian dihancurkan oleh Nebukadnezar lalu dibangun kembali oleh Herodus dan dihancurkan lagi oleh Titus dan lebih dirusak lagi oleh Helena, Ibnu Khaldun kemudian mengemukakan demikian:
وبقي الأمر كذلك إلى أن جاء الإسلام وحضر عمر لفتح بيت المقدس وسأل عن الصخرة فأرى مكانها وقد علاها الزبل والتراب فكشف عنها وبنى عليها مسجدا على طريق البداوة وعظم من شأنه ما أذن الله من تعظيمه وما سبق من أم الكتاب في فضله حسبما ثبت
“Keadaan tetap bertahan seperti itu sampai datangnya Islam dan Umar datang untuk membebaskan Bait al-Maqdis dan menanyakan tempat Karang Suci itu, lalu ditunjukkan tempatnya dan ia dapatkan di atasnya tumpukan sampah dan tanah. Lalu ia bersihkan tempat itu dan ia dirikan masjid di atasnya menurut tradisi orang Badui. Umar mengagungkan tempat itu sejauh yang diizinkan Allah dan sesuai kelebihannya sebagaimana disebutkan dan ditetapkan dalam Induk Kitab Suci, yakni al-Quran.”
ثم احتفل الوليد بن عبد الملك من تشييد مسجده على سنن مساجد الإسلام بما شاء الله من الاحتفال كما فعل في المسجد الحرام وفي مسجد النبي صلى الله عليه وسلم بالمدينة
“kemudian Khalifah al-Walid bin Abdil Malik mencurahkan perhatian untuk membangun masjidnya menurut model bangunan masjid-masjid islam, sebagaimana dikehendaki Allah, seperti yang juga ia lakukan untuk Masjid haram di Mekkah dan Masjid Nabi SAW di Madinah.”
Berangkat dari sini, di masa Islam, terutama di masa Umar bin al-Khattab, mulailah tempat ini diagungkan. Ibnu Khaldun dalam Tarik al-Allamah Ibnu Khaldun menceritakan kronologi peranan Umar bin al-Khattab terhadap Bait al-Maqdis dan Masjid al-Aqsha yang ada di sana sebagai berikut:
Umar bin al-Khattab datang ke Syam dan mengikat perjanjian perdamaian dengan penduduk Ramalla dengan syarat mereka membayar jizyah. Kemudian ia perintahkan Amr bin al-Ash dan Syarahbil untuk mengepung Bait al-Maqdis, dan mereka lakukan. Setelah pengepungan itu membuat mereka (penduduk Bait al-Maqdis) sangat menderita, mereka meminta perdamaian dengan syarat bahwa keamanan mereka ditanggung oleh Umar sendiri.
Lalu Umar pun datang kepada mereka dan ditulisnya perjanjian keamanan untuk mereka yang sebagian teksnya berbunyi demikian: “Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, dari Umar bin al-Khattab kepada penduduk Aelia (Illiya, yakni Bait al-Maqdis atau Yerusalem), bahwa mereka aman atas jiwa dan anak turun mereka, juga wanita-wanita mereka dan semua gereja mereka tidak boleh diduduki dan tidak boleh dirusak.”
Umar bin al-Khattab masuk Bait al-Maqdis dan sampai ke Gereja Qumamah (Qiyamah) lalu berhenti di depannya. Waktu sembahyang pun datang, maka ia katakana kepada Patriak: “Aku hendak sembahyang.” Jawab Patriak: “Sembahyanglah di posisi anda.” Umar menolak, kemudian ia sembahyang di anak tangga yang ada pada gerbang gereja sendirian. Setelah selesai dengan salatnya itu ia berkata kepada Patriak: “Kalau seandainya aku sembahyang di dalam gereja, maka tentu kaum muslim kelak sesudahku akan mengambilnya dan berkata, ‘Di sini dahulu Umar sembahyang.’
Dan Umar menulis perjanjian untuk kaum Kristen bahwa pada tangga itu tidak boleh ada jamaah untuk sembahyang dan tidak pula akan dikumandangkan adzan padanya. Kemudian Umar berkata kepada Patriak: “sekarang tunjukkan aku tempat yang di situ aku dapat mendirikan sebuah masjid.” Patriak berkata: “Di atas karang suci yang di situ dahulu Allah pernah berbicara kepada Nabi Ya’qub.”
Umar pun mendapati di atas karang itu banyak darah (di samping sampah dan kotoran), maka ia pun mulailah membersihkannya dan mengambil darah itu dengan tangannya sendiri dan mengangkat dengan bajunya sendiri. Semua kaum Muslim mengikuti jejaknya dan sampah itu bersih ketika itu juga, kemudian ia perintahkan untuk didirikan masjid di situ.
Sebenarnya cukup banyak hal-hal yang diterangkan oleh Ibnu Khaldun tentang Bait al-Maqdis dan Masjid al-Aqsha ini. kendati demikian, ada beberapa hal yang perlu ditambahkan di sini. Ibnu Taymiyyah, dan mungkin juga ulama lainnya, menyatakan bahwa yang sesungguhnya disebut sebagai Masjid Aqsha itu ialah seluruh kompleks di atas bukit Moria di Bait al-Maqdis atau Yerusalem itu. Kompleks tersebut sekarang dikenal dalam bahasa Arab sebagai al-Haram as-Syarif yang artinya tanah suci yang mulia.
Di kompleks inilah pernah berdiri Masjid Aqsha yang pertama kali oleh Nabi Sulaiman yang oleh orang Arab dulu disebut sebagai Haykal Sulaiman atau dalam bahasa Inggris sering diterjemahkan sebagai Solomon Temple.
Yang tersisa dari Masjid al-Aqsha setelah Helena memerintahkan untuk menghancurkan sisa-sisa reruntuhan bangunan di saat penghancuran oleh Titus sampai masa Umar bin al-Khattab ialah Karang Suci yang penuh dengan sampah dan kotoran dan Tembok Ratap. Tembok tersebut merupakan tempat paling suci bagi kaum Yahudi dan menjadi tujuan utama kunjungan mereka.
Secara ringkasnya, Masjid al-Aqsha dulunya tidak hanya menjadi kiblat bagi agama-agama monoteistik seperti Yahudi dan Islam namun juga pernah menjadi kuil bagi kaum Sabean di masa pra pendudukan Bani Israil dan pernah menjadi pusat peribadatan kepercayaan mitraistik di masa Romawi, yakni masa pasca penghancuran Masjid al-Aqsha yang kedua oleh Titus. Allahu A’lam.