Universalisme Puasa: Ramadhan Identik dengan Islam, Tapi Puasa Tidak  

Universalisme Puasa: Ramadhan Identik dengan Islam, Tapi Puasa Tidak  

Terdapat nilai universalisme dalam puasa. Agama-agama di luar Islam juga mengajarkan untuk berpuasa sebagai praktik ibadah.

Universalisme Puasa: Ramadhan Identik dengan Islam, Tapi Puasa Tidak  

Ramadhan identik dengan Islam, iya, tapi puasa tidak. Terdapat nilai universalisme dalam puasa. Agama-agama di luar Islam juga mengajarkan puasa kepada pemeluknya sebagai salah satu praktik ibadah.

Dalam tradisi Kristen misalnya, Yesus juga diberitakan pernah melakukan puasa selama 40 hari (Matius, 4:2). Pada masa kerasulan Saulus dan Barnabas, keduanya juga melakukan ibadah puasa (Kisah Para Rasul, 2-3). Seperti halnya agama Yahudi, agama Kristen juga mengenalkan ibadah puasa kepada pemeluknya. Dogma Kristen memosisikan puasa sebagai persiapan batin (pre-position) untuk memperkuat diri menghadapi masalah berat atau godaan setan.

Agama Buddha juga memiliki ritual ibadah bernama Athasila pada hari Upasotha yang bisa diartikan sebagai berpuasa, meski praktiknya tidak sama dengan puasa makan dan minum dalam Islam. Pada mulanya Athasila hanya diperuntukkan bagi para bikhu, tetapi karena hikmah dan nilai rohani yang ada di dalamnya umat Buddha juga diperintahkan untuk berpuasa. Bagi umat Buddha, berpuasa bermakna menahan diri dari delapan larangan seperti membunuh, mencuri, berbohong dan makan makanan terlarang. Upasotha merupakan amal tidak wajib yang biasanya dilakukan dua kali dalam sebulan, yakni pada saat bulan terang dan bulan gelap.

Pemeluk agama Hindu melaksanakan Upasawa sebagai salah satu bagian dari tapa-samadi, yang bisa juga disebut sebagai ritual puasa. Kewajiban warga Hindu melakukan tapa-samadi Upasawa secara jelas ditulis dalam kitab Kakawin Arjuna Wiwaha.

Kebaikan Universal dalam Puasa

Atensi agama-agama besar dunia terhadap puasa menunjukkan bahwa puasa mengandung nilai-nilai universal, yang dalam tradisi Islam mungkin bisa disebut kalimah sawa. Puasa diyakini umat beragama sebagai terapi ampuh untuk menguatkan spiritualitas diri dan menumbuhkan kepedulian terhadap sesama.

Paling tidak ada lima kebaikan yang bisa kita petik dari universalisme puasa. Pertama, pengendalian diri. Dalam literatur Arab, puasa (shaum) memiliki makna imsak atau menahan diri. Maksudnya, menahan diri dari segala hal yang bisa membatalkan puasa termasuk makan dan minum di siang hari. Makna dasar ini menjadi sangat penting dalam praktik puasa karena takwa sebagai tujuan utama orang berpuasa (QS. Al-Baqarah [2]:83) jelas-jelas mensyaratkan adanya keteguhan iman. Seorang yang bertakwa adalah orang yang bisa menahan diri dari segala macam godaan, apapun bentuknya, untuk berbuat kemaksiatan.

Makna dasar puasa sebagai pengendalian diri juga terlihat jelas dalam praktik Upasotha umat Buddha. Sebanyak delapan larangan yang harus dijauhi oleh orang-orang yang melaksanakan puasa Upasotha adalah bentuk pelatihan untuk membiasakan diri menahan hawa nafsu keburukan dan mengakrabi hasrat-hasrat kebajikan.

Kedua, puasa bisa menjadi metode antisipasi (preventing method) yang bijak. Bagi orang yang hidup dalam kemiskinan, ritual puasa mungkin tidak terlalu berat. Tapi tidak demikian bagi mereka yang terbiasa hidup enak dan serba tercukupi. Di sinilah lahir filosofi puasa sebagai terapi antisipatif. Kita sadar tak ada seorang pun yang tahu persis seperti apa siklus kehidupan ini akan terus berjalan. Masa depan adalah rahasia Tuhan. Maka mengantisipasi kondisi-kondisi sulit di masa depan adalah sebuah kebaikan. Pepatah “sedia payung sebelum hujan” bisa ditempatkan dalam konteks ini. Dalam sejarah agama Kristen, Yesus melakukan puasa bukan karena kewajiban tetapi sebagai antisipasi batin menghadapi masa-masa sulit dan cobaan setan (Markus, 9:29).

Ketiga, puasa adalah sebuah refleksi. Sebagai ritual keagamaan puasa tidak akan bermakna apapun tanpa hadirnya penghayatan. Refeleksi filosofis atau pencarian mendalam terhadap makna menjadi niscaya. Dalam buku Thinking Through Ritual (2004), Kevin Schilbrack mengatakan bahwa sebuah ritual adalah ibarat opera yang sangat kompleks. Untuk memahaminya diperlukan kecakapan multidisipliner, seperti sosiologi, psikologi, antropologi, bahkan studi gender. Di sinilah perenungan filosifis diperlukan.

Refleksi atas ibadah puasa sejatinya juga menyentuh dimensi ilahi (vertikal) sekaligus manusiawi (horisontal). Puasa tak saja diharapkan bisa mendulang bertumpuk-tumpuk ganjaran, tetapi dimaksudkan pula untuk membangkitkan empati kemanusian. Meminjam istilah Michael L Raposa (2004), kita membutuhkan logika pragmatik untuk memahami sebuah ritual keagamaan. Pada ranah ini, logika pragmatik bisa dimaknai sebagai proses memahami tanda-tanda (a process of sign interpretation).

Keempat, puasa adalah simbol keberpihakan kepada yang dhaif. Semua agama menyatakan bahwa kedhaifan harus dibela. Dengan kata lain, agama lahir untuk membela kaum lemah, tertindas dan dizalimi. Dalam sejarah Islam, salah satu contoh keberpihakan Tuhan kepada kaum lemah diperlihatkan dalam peperangan Badar ketika Allah memberikan kemenangan kepada pasukan Muhammad yang berjumlah jauh lebih sedikit dari tentara Quraisy (QS. Ali ‘Imran [3]:123). Pada saat itu umat Muslim adalah minoritas.

Nilai-nilai agama lebih sering menjadi kritik terhadap para penguasa, meski pada perjalanannya agama seringkali dijadikan alat legitimasi kekuasaan mereka. Di sini universalisme puasa memuat nilainya; hadir sebagai cara agama dalam memuluskan misi suci keberpihakan di atas.

Terakhir, salah satu pelajaran penting dari puasa adalah kesederhanaan hidup. Manusia dituntun untuk bisa mengontrol hasrat dan nafsu badaniahnya dengan baik. Ketersediaan dan kecukupan hidup tidak berarti manusia boleh berfoya-foya. Selain tanggung jawab personal terhadap dirinya manusia juga memiliki tanggung jawab sosial terhadap lingkungan sekitarnya. Puasa diharapkan bisa menginspirasi umat manusia untuk berbuat baik terhadap dirinya dan manusia sesama di sekitarnya. (QS. Saba’ [34]: 39). [rf]