Sekitar lima tahun lalu, ayah saya bertolak menuju Bandung untuk mengantarkan adik saya yang berkuliah di salah satu kampus besar di sana. Berselang dua hari setelah keberangkatan, ayah saya menelpon saya tak berapa lama setelah pagi menjelang. Saat itu, dia terkejut ketika menunaikan salat Subuh di komplek kampus teknologi tersebut tidak ada ritual membaca Qunut.
Bagi ayah saya, yang dibesarkan dan tumbuh di lingkungan Muslim Tradisionalis, kondisi tersebut adalah sebuah ancaman, khususnya bagi anaknya yang belum dianggap terlalu kuat belajar agama.
Saat kekhawatiran ayah saya tersebut yang disampaikan kepada saya, tanggapan awal yang saya berikan kepadanya adalah memberikan jaminan kepadanya bahwa adik saya tidak akan terpapar model keberislaman tersebut.
Padahal, jauh sebelum ayah saya menyampaikan kekhawatirannya tersebut sebenarnya adik saya sudah terpapar gerakan salafisme. Dia mulai bersentuhan malah sejak Sekolah Menengah Atas (SMA), di mana gerakan salafisme berkembang pada kegiatan ekstrakulikuler di sana.
Saat itu musholla sekolah setempat memang dikelola oleh guru dan senior yang beraliran salafi. Tak pelak, adik saya pun turut bersentuhan dengan kelompok tersebut, baik dari sisi ajaran hingga ibadah.
Kisah ayah saya di atas merupakan secuil cerita yang bisa saja dialami oleh sebagian besar kelompok Muslim Tradisionalis. Kehidupan Muslim perkotaan telah mengubah banyak hal dalam keberislam yang selama ini dipraktikkan. Di antara diskursus paling ramai diperbincangkan adalah masjid.
***
Sebagaimana kita ketahui bersama, titik persinggungan paling awal kelompok Salafi atau Islamis dengan kalangan Muslim Tradisionalis adalah masjid. Beberapa waktu lalu kita sempat dihebohkan dengan kabar penolakan masyarakat atas salah satu pendakwah populer di masjid mereka. Kelompok penolak beralasan bahwa sang pendakwah terindikasi terpapar gerakan Salafisme. Walaupun, klaim ini telah dibantah sang pendakwah.
Penolakan warga tersebut sebenarnya memperpanjang kisah perseteruan di masyarakat kita terkait masjid. Selain kasus terkait masjid yang disebut beraliran Salafi, kita juga masih sering mendengar penutupan masjid yang dianggap terafiliasi pada kelompok Muslim minoritas, seperti Ahmadiyah atau Syiah. Ironisnya, kasus-kasus ini kerap menelan korban jiwa.
Pertanyaannya, bagaimana relasi antara masjid dan masyarakat?
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya akan mengulik posisi masjid di masyarakat Banjar. Sebagai salah satu masyarakat yang memiliki irisan identitas dengan Islam, Urang Banjar memandang masjid sebagai bagian dari kehidupan mereka lebih dari sekedar tempat ibadah. Saya pernah mendengar kondisi serupa juga dapat kita jumpai di masyarakat Muslim lainnya.
Menariknya, masjid di masyarakat Banjar tumbuh bersama masyarakat. Seluruh perawatan, pemeliharaan, hingga pelaksanaan kegiatan keagamaan menjadi tanggung jawab masyarakat secara keseluruhan. Sehingga, saya pernah menjumpai masjid di sana rutin mengumpulkan hasil panen padi masyarakat setiap musim panen tiba, untuk menjadi kas masjid tersebut.
Setiap kegiatan hari-hari besar Islam, masyarakat melakukan pengumpulan iuran rutin atau mengadakan pengumpulan beras lalu dijual kembali untuk mendapatkan dana. Bahkan, di sebagian wilayah, konsumsi untuk acara hari besar Islam dikerjakan secara gotong royong atau diserahkan kepada masing-masing rumah di sekitar masjid untuk menjamu jemaah yang hadir saat itu.
Bahkan, saya juga sempat menjumpai strategi di masyarakat Banjar dalam menjamin konsumsi para jemaah di hari besar Islam, yakni pengumpulan nasi bungkus dari setiap keluarga di wilayah tersebut. Setiap keluarga biasanya diminta mengumpulkan nasi bungkus dengan menu bebas sesuai dengan kemampuan dan kemauan mereka.
Semua nasi bungkus tersebut kemudian dikumpulkan sebelum pelaksanaan acara, lalu dibagikan secara acak, sehingga mereka bisa saja menikmati nasi bungkus yang berbeda-beda menunya. Kegiatan ini semakin sulit dijumpai saat ini, sejak pertumbuhan perekonomian di masyarakat Muslim mulai meningkat pesat dan terjadi migrasi dari desa ke kota.
Kondisi tersebut telah mengubah model relasi antara masyarakat dengan masjid. Entah disadari atau tidak, masjid hari ini lebih banyak dihidupi dari sumber pengumpulan dana berupa uang yang digalang dari berbagai metode, dari celengan hingga kehadiran para donatur tetap berkantong tebal.
Masjid tidak lagi didirikan atau tumbuh bersama masyarakatnya. Mereka cukup menyisihkan uang, yang kadang tidak sedikit, dan tidak lagi terlibat dalam pengelolaan dan perawatan masjid. Bahkan, kala kegiatan hari-hari besar Islam, penghimpunan dana biasanya dilakukan lewat amplop yang diserahkan ke rumah-rumah sekitar masjid.
Memang, jumlah dana yang terkumpul biasanya berlebih, sehingga kas masjid pun semakin membengkak. Kondisi ini sangat mudah dijumpai di masjid-masjid sekitar kita. Sayangnya, kondisi ini kemudian berbanding terbalik dengan situasi di masyarakat sekitar, yang sedang berada dalam kesulitan keuangan.
Sehingga, ketika ada pengelolaan seluruh keuangan masjid untuk jemaah dan penggunanya, sebagian kita malah terkagum-kagum. Padahal, persoalan krusial yang kita hadapi adalah tercerabutnya masyarakat dengan masjid yang hadir di sekitar kehidupan kita. Kita seakan lupa pada pengelolaan masjid yang tumbuh bersama dengan masyarakatnya.
***
Di salah satu sudut kota Yogyakarta yang menyimpan banyak kerinduan di dalamnya, terdapat satu masjid yang dikelola oleh anak muda. Namanya adalah “Real Masjid”. Menurut Hew Wei Weng, peneliti asal Malaysia, nama masjid tersebut terinspirasi dari klub sepak bola asal Spanyol, yakni Real Madrid.
Sebagian besar pengelola masjid tersebut adalah anak-anak muda. Mereka mengelola masjid tersebut dengan kebiasaan dan imaji yang berbeda dari budaya dan tradisi di masyarakat selama ini. Mereka menghidupkan masjid tersebut dengan beragam kegiatan khas anak muda Muslim perkotaan, yang beririsan antara modernitas, konsumsi, fun, hingga ritual keagamaan.
Bahkan, masjid tersebut juga dilengkapi dengan bioskop mini hingga warung makan. Hal ini tentu sangat jarang kita jumpai di masjid-masjid sekitar tempat tinggal kita. Mungkin pengelolaan masjid seperti Real Masjid bisa jadi sangat disukai banyak orang, khususnya masyarakat Muslim perkotaan.
Padahal, pengelolaan masjid seperti Real Masjid masih mengadopsi tata kelola modern, yang bertumpu pada sekelompok orang yang bertugas. Sehingga, masjid “menyediakan” segala kebutuhan masyarakat, bukan tumbuh bersama masyarakat yang lebih egaliter.
Sebab, kala masjid menjadi milik dan dikelola bersama, maka masyarakat biasanya saling memberikan kontribusi di dalamnya. Masjid yang tumbuh bersama masyarakat biasanya memiliki sistem “filter” yang paten untuk menangkal hal-hal yang mengancam kohesi sosial di dalam masyarakat tersebut.
Sedangkan, kemunculan masjid-masjid di tengah masyarakat perkotaan yang seringkali tidak tumbuh bersama adalah ruang-ruang publik terbuka. Pada gilirannya, keberadaan masjid pun sering dimanfaatkan kelompok Islam Politik untuk melakukan agitasi di dalamnya. Ruang-ruang tersebut akhirnya terbawa arus karena dipengaruhi afiliasi pengelolanya, sebagaimana yang dialami adik saya.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin