Minggu ini kita masih diselimuti rasa duka cita yang mendalam akibat ulah teroris. Sebagai seorang Muslim, saya menghaturkan belasungkawa yang sedalam-dalamnya kepada saudara saya yang terkena bom bunuh diri maupun menjadi korban aksi brutal teroris di Surabaya, Sidoarjo, dan Riau.
Terorisme adalah sebuah aksi kekerasan yang mengancam kelestarian kehidupan manusia ini oleh para pelakunya dipercayai sebagai misi suci yang dianjurkan dan diperintah oleh agama mereka. Para pelaku teror ini meyakini bahwa aksi pembunuhan brutal seperti ini merupakan puncak dari pengabdian dan pembelaan mereka terhadap Allah dan agama mereka. Dalam arti seperti ini mereka berarti menghalalkan pembunuhan asalkan dengan tujuan yang suci. Tentunya, pemahaman seperti ini adalah salah kaprah. Nabi tak pernah menganjurkan aksi-aksi biadab seperti itu.
Supaya kita tidak tersesat pada keyakinan-keyakinan sebagaimana yang dilakukan oleh para jihadis cum teroris ini, kita perlu memahami makna dari istilah “jihad” pada masa awal Islam atau zaman nabi. Pada zaman nabi, makna jihad tidak dimonopoli hanya sebatas “qital” atau perang melawan kaum kafir. Akan tetapi, pada zaman nabi, jihad juga dimaknai sebagai upaya seorang muslim melawan hawa nafsu dan melawan dari godaan setan. Dengan demikian, masih terdapat usaha lain yang lebih berkonotasi positif jika dibandingkan dengan jihad yang dimaknai sebagai upaya membunuh dan berperang.
Dan yang perlu diperhatikan lagi, pemaknaan jihad dalam kategori “qital” pada zaman nabi tak bisa disamakan dengan dengan qital zaman ini yang dilakukan oleh para teroris. Para jihadis zaman ini, seperti yang dilakukan beberapa hari yang lalu di Surabaya dan Sidoarjo tersebut sangat jauh melenceng dari konotasi jihad (perang) dalam zaman nabi. Aksi para jihadis zaman ini lebih cenderung serupa dengan upaya pembunuhan, bukan berperang. Pada zaman nabi, jihad dalam kategori “qital” atau peperangan bukan sebuah aksi brutal menyerang warga sipil dari kalangan non muslim secara sembarangan.
Peperangan pada zaman nabi dilakukan di medan perang yang sudah ditentukan dalam perjanjian sebelumnya. Dalam arti ini, peperangan pada zaman nabi adalah sebuah pertempuran yang legal dan merupakan tindakan terakhir setelah upaya damai dan negosiasi sudah dilakukan. Bukan upaya sembarangan seperti yang banyak dilakukan oleh para jihadis zaman ini. Dari sini saja sudah terlihat salah kaprah dan sesatnya pemahaman jihad para pelaku teror ini.
Hal lain yang perlu diperhatikan lagi dalam memahami makna jihad adalah pendefinisian kata “kafir”. Biasanya, para jihadis melakukan aksi terornya berangkat dari upaya mereka untuk memerangi kelompok yang oleh mereka diklaim sebagai kafir. Padahal, pada zaman nabi, kafir itu tidak semudah pendefinisian para jihadis zaman ini yang mudah menjustifikasi seseorang sebagai kafir dan layak untuk dibunuh. Pada zaman nabi, istilah kafir dibagi menjadi dua. Pertama, kafir zimmi, merupakan non muslim yang tidak mengancam kehidupan dan peribadatan kaum muslim. Para kaum zimmi ini oleh nabi tak boleh diganggu kehidupannya. Mereka dianggap sebagai kawan yang malah harus dijaga keamanannya.
Yang kedua adalah kafir harbi, non muslim yang memerangi kaum muslim. Menurut para cendikiawan muslim kontemporer, entitas kafir harbi ini sudah tidak relevan lagi. Saat ini sudah tidak relevan lagi mendefinisikan kafir sebagai orang yang mengancam kehidupan muslim. Saat ini, dalam tata kesepakatan global, sudah tak diperbolehkan saling menyerang dan mengancam keselamatan manusia dengan dasar perbedaan agama tertentu.
Dengan demikian, pada dasarnya klaim dari kalangan teroris atas istilah jihad sebagai misi suci yang dianjurkan oleh Allah dan Islam sudah gugur dengan sendirinya. Klaim-klaim mereka atas kafir yang harus dibunuh sudah tidak relevan lagi di dunia saat ini. Klaim-klaim mereka atas adanya musuh kafir hanyalah ilusi atas doktrinasi para ulama’ mereka yang tak mau secara jernih melihat realitas dan situasi zaman ini.
Justru malah berbeda dengan keyakinan mereka bahwa aksi jihad mereka sebagai misi suci dari agama mereka, aksi terorisme mereka tak lain adalah pembunuhan yang biadab. Sangat jauh melenceng dari apa yang dicontohkan oleh nabi mereka dan berbeda jauh dari perintah tuhan mereka yang menganjurkan kasih dan sayang. Wallahua’lam
M. Fakhru Riza, Penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.