Setiap individu atau kelompok memiliki keinginan untuk mewujudkan apa yang mereka cita-citakan. Dalam komunitas Muslim, ada banyak individu atau kelompok yang memiliki orientasi dan cita-cita yang berbeda-beda. Di antara individu atau kelompok Muslim ada yang merujuk kepada kitab suci dalam merumuskan cita-citanya.
Kelompok Muslim yang ingin mengembangkan ilmu pengetahuan akan merujuk kepada kitab suci untuk menemukan ayat-ayat Tuhan yang memotivasi pengembangan pengetahuan. Kelompok spiritualis akan merujuk kitab suci menemukan dukungan kecenderungan mereka. Begitu juga kelompok politik akan mencari rujukan dalam kitab suci tentang apa yang harus diwujudkan dan cara mewujudkannya. Ketika kitab suci mengandung ayat-ayat yang menunjukkan penggunaan kekerasan seperti perang, maka dengan segera akan menarik perhatian individu dalam kelompok tersebut. Tanpa mempertimbangkan lebih jauh konteks (asbabun nuzul) ayat, pemilihan kaidah-kaidah penafsiran yang tepat, dan konteks sosial-politik yang berbeda, ayat-ayat perang dipilih dan digunakan menguatkan ideologi sosial-politik mereka. Perang adalah strategi sosial-politik menguasai dan mendominasi kelompok lain.
Dalam komunitas Muslim, kelompok politik berorientasi kekerasan tumbuh subur sejak lama di era modern. Silih berganti kelompok politik kekerasan Muslim. Satu tumbang, tumbuh yang lain. Setiap ada kesempatan. Mereka tidak pernah benar-benar hilang ditelan zaman. Indonesia memiliki pengalaman kaya dalam masalah ini. Kesamaan banyak kelompok Muslim politik kekerasan berbasis agama, adalah keinginan mewujudkan otoritas Allah dan penggunaan perang sebagai strategi utama. Karena itu, ayat-ayat tentang perang lebih banyak mendapat perhatian dibanding ayat-ayat tentang ilmu pengetahuan, alam semesta, ibadah, lebih-lebih ayat yang mengajurkan perdamaian yang bertebaran dalam banyak bagian kitab suci Muslim, Al-Quran.
Di sisi lain, telah terjadi penyempitan istilah Al-Quran. Di lingkungan kelompok ini, tidak ada kata yang lebih tragis disempitkan maknanya kecuali jihad. Jihad selalu dikonotasikan dengan perang dan bunuh-membunuh. Padahal, Al-Quran menggunakan kata tersebut dalam pengertian yang lebih luas. Perang hanya menjadi salah satu pengertian jihad. Kata Al-Jihad disebut sebanyak 37 kali dalam Al-Quran. Hasan Izzuddin Al-Jamal dalam Mu’jam Wa Tafsir Lughawi Li Kalimat Al-Quran mengatakan bahwa dalam Al-Quran pada umumnya kata al-jihad berarti mengerahkan kemampuan menyebarkan ajaran Islam dan membelanya (aktsaru ma warada al-jihad fi al-quran warada muradan bih badzl al-wus’i fi nasyr al-da’wah al-islamiyah wa al-difa’ ‘anha). Ada pula yang membatasi pengertiannya pada upaya keras melawan tiga macam musuh manusia; musuh kasat mata, setan dan hawa nafsu.
Di antara ayat jihad yang tidak berarti perang dan bunuh-membunuh adalah Qs. al-Furqan: 52. Allah swt. berfirman,
وَلَوْ شِئْنا لَبَعَثْنا فِي كُلِّ قَرْيَةٍ نَذِيراً فَلا تُطِعِ الْكافِرِينَ وَجاهِدْهُمْ بِهِ جِهاداً كَبِيراً وَما أَرْسَلْناكَ إِلَّا مُبَشِّراً وَنَذِيراً
Jika mau, kami utus di setiap perkampungan seorang pemberi peringatan. Jangan patuhi orng-orang yang kafir. Dan jihadi mereka dengannya dengan jihad besar. Dan kami tidak mengutusmu kecuali sebagai pemberi kabar bahagia dan peringatan. (Qs. Al-Furqan: 52)
Surat Al-Furqan adalah salah satu surat Makkiyah. Yaitu surat yang turun pada periode sebelum Rasulullah saw. berhijrah ke Madinah. Pada periode tersebut Allah belum mewajibkan berperang melawan orang-orang yang memusuhi umat Islam. Namun, Qs. Al-Furqan: 52 sudah menggunakan kata jihad. Kata ganti dalam frasa “jihadi mereka dengannya” merujuk kepada “orang-orang musyrik Mekah yang mengingkari wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.” Sedang kata ganti dalam kata “dengannya” merujuk kepada Al-Quran. Secara keseluruhan ayat tersebut berarti lawan sekuat tenaga penolakan dan gangguan mereka dengan menggunakan Al-Quran. Di sini, jihad berarti membantah dengan argumen sekuat tenaga menggunakan argumen yang terdapat dalam Al-Quran. Jihad sama sekali tidak berarti perang dan bunuh-membunuh.
Ayat lainnya adalah Qs. al-Ankabut: 6. Allah swt. berfirman,
وَمَنْ جاهَدَ فَإِنَّما يُجاهِدُ لِنَفْسِهِ إِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعالَمِينَ
Barang siapa berjihad, dia berjihad untuk dirinya sendiri. Sungguh, Allah tidak membutuhkan alam semesta (Qs. Al-Hajj: 78)
Qs. al-Ankabut: 6 berbicara tentang perintah-perintah Allah kepada umat Islam agar melaksanakan ibadah seperti sujud, ruku’, menyembah Allah dan melakukan berbagai macam kebajikan. Orang yang bersungguh-sungguh dalam semua itu, akan mendapatkan manfaat amal-perbuatannya. Allah sendiri tidak membutuhkan amal-amalnya.
Ibnu Katsir mengartikan kata jihad dalam ayat di atas dengan amal ibadah. Yaitu beramal dengan sekuat tenaga. Penafsiran tersebut didasarkan kepada perkataan seorang tabiin, Hasan Al-Bashri yang mengatakan bahwa seorang hamba dapat berjihad tanpa menebaskan pedang sekalipun. Maksud jihad tanpa tebasan pedang adalah bersungguh-sungguh dalam beramal ibadah (Tafsir Ibn Katsir, jilid 6, hlm. 264).
Menurut Al-Baghawi, jihad dalam ayat tersebut berarti sabar. Yaitu sabar menghadapi tekanan keras. Tekanan keras bisa terjadi dalam konteks perang, dan bisa dalam konteks melawan keinginan nafsu (Tafsir Al-Baghawi, jilid 3, hlm. 550).
Sedangkan menurut Al-Baidhawi, ayat di atas merujuk kepada orang yang berusaha melawan nafsunya dengan cara bersabar menjalankan ketaatan dan menahan diri dari memperturutkan syahwat. Orang semacam itu akan merasakan sendiri manfaatnya (Tafsir Al-Baidhawi, jilid 4, hlm. 189).
Sama seperti Qs. Al-Furqan, Qs. Al-Ankabut adalah surat yang turun pada periode Makkiyah. Periode yang umat Islam belum diwajibkan berperang. Masih banyak ayat lain yang menunjukkan bahwa jihad berarti berbagai macam usaha yang keras, dan tidak terbatas pada arti perang dan bunuh-membunuh. Dalam ayat-ayat Makkiyah, jihad berarti mempertahankan keyakinan dengan argumen yang kuat, beribadah sekuat tenaga atau bersabar melawan keinginan nafsu.
Individu atau kelompok politik berbasis kekerasan telah mempersempit pengertian jihad yang sebenarnya berarti luas. Mereka juga seringkali menafikan pelaksanaan ajaran Islam selain perang sebagai bagian dari jihad seperti pengembangan ilmu pengetahuan, memperbanyak beribadah, dan menolak menuruti keinginan nafsu. Mereka mencari-cari alasan agar jihad harus bermakna perang agar cara berjuang mereka mendapatkan pembenaran dari kitab suci. Mereka risih ketika ada yang mengatakan berjuang melawan nafsu adalah jihad. Padahal, jelas hal itu bagian dari ajaran Islam. Sikap mereka yang seperti sikap sebagian sebagian orang yang disebut Al-Quran, mengimani sebagian dan mengingkari sebagian yang lain. Coba tebak, siapa orang yang punya sikap seperti itu? Wallahu A’lam.