Hukum atau lebih tepatnya etika profetik memiliki prinsip dasar “memaksa” secara dogmatis berupa balasan atau sanksi metafisik. Misalnya hukum wajib jika dipatuhi dibalas surga dan hukum haram/larangan jika dilanggar disiksa di neraka. Itulah substansi hukum profetik, sehingga jika hukum agama, misalnya, diformalisasikan maka akan kehilangan nilai profetiknya.
Etika profetik sangat lekat di dalam the living law nusantara. Di luar pengaruh agama resmi masyarakat nusantara menjunjung tinggi nilai profetik; yaitu yang disebut “hukum karma”. Mereka meyakini semua perbuatan manusia, baik atau buruk, pasti ada balasannya. Kesadaran ini yang menjadikan hukum hidup sekalipun tanpa kelengkapan pranata hukum.
Uniknya lagi dalam the living law nusantara tidak ada istilah ruang hukum yang kosong. Sebagai perbandingan, kita contohkan hukum Islam yang dianggap banyak mengalami akulturasi dengan the living law nusantara. Jika dalam hukum Islam, selain hukum wajib, haram, sunnah, dan makruh, masih ada ruang hukum yang kosong yakni mubah (hukum takhyiri), maka living law nusantara tidak demikian. Dengan kesadaran profetik, semua perbuatan manusia diyakini ada balasannya.
Tidak semua orang dapat memahami cara pandang masyarakat nusantara tentang living law semacam ini. Para muballig Islam pada saat pertamakali melihat praktik hukum semacam ini hanya berkomentar: ini al-hukmul ‘ady (di luar hukum syara’ yang bersumber dari kitab suci).!
Persepsi ini muncul karena penyebar Islam generasi awal yang umumnya sufi punya pandangan holistik tentang manusia dan alam semesta. Dunia beserta isinya ini bukan satu-satunya eksistensi tapi masih ada banyak lagi eksistensi lainnya yang belum diketahui manusia. Dalam ajaran sufi mengenal eksistensi lain: Lahut, Jabarut, Malakut, Arsy, Nasut.
Kearifan para penyebar Islam mengelompokkan the living law nusantara ke dalam al-hukmul ‘ady memiliki dampak luar biasa. Kebiasaan masyarakat pribumi tetap terjaga kelangsungannya, sekalipun dengan sebutan Adat (bahasa luar).
Istilah adat sendiri tidak serta merta disebut islamisasi karena adat sebagai the living law tidak mengenal ruang hukum yang kosong. Di setiap sudut adat nusantara ada deretan nilai dari berkat hingga karma, kualat, dst. Sementara adat dalam hukum Islam justru dikelompokkan dalam wilayah hukum takhyiri (wilayah hukum netral); bukan hukum taklifi maupun wadh’i.
The living law masyarat nusantara ini memang sangat unik. Diperlukan kejelian dan kecerdasan spiritual untuk dapat memahaminya. Makanya wajar pertama kali van vollenhoven mendapat mandat merumuskan Adatrech, ia katakan “cari-cari penyakit(?)”. Hal itu karena the living law nusantara melampau batas hukum positivistik bangsa-bangsa yang menganut sistem common law maupun civil law. Bahkan melampaui “medan magnet” teori the living law yang dibuat Euger Ehrlich sekalipun.
*) Penulis adalah Dosen Tetap di UIN Sultan Maulana Hasanudin dan Dosen Pascasarajana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta