“The Living Law” Islam Nusantara [Bag. I]

“The Living Law” Islam Nusantara [Bag. I]

“The Living Law” Islam Nusantara [Bag. I]
Sejarah Islam-Nusantara

Idealnya sebuah hukum dibuat agar ditaati oleh masyarakat. Akan tetapi pada praktiknya peraturan yang dibuat sebagai hukum formal itu kerap kali tidak diindahkan masyarakat. Mereka bukan melanggar hukum tetapi hanya tidak memberlakukan hukum secara formal.

Kritik akan keberlakuan hukum secara positivistik ini melahirkan satu pendekatan yang disebut sociological jurisprudence dari pengembangan teori socio legal history. Intinya, pemberlakuan hukum harus memperhatikan aspek keadilan dan norma hukum yang berkembang di masyarakat.

Persepsi ini lalu memunculkan istilah the living law yakni hukum yang hidup di tengah masyarakat. Di Indonesia, the living law ini sering diidentikkan dengan hukum adat. Bahkan belakangan ini ada yang mengidentikkan the living law dengan fatwa MUI.

Pengidentikkan the living law  terhadap dua hal di atas tentu menjadi tanda tanya besar; dimana letak distingsi hukum adat dan fatwa MUI sebagai the living law? Bukankah cara pandang ini mewarisi pendekatan politik etis kolonial yang berusaha memisahkan dan memecah belah bangsa Indonesia.

Perdebatan seputar the living law masyarakat Indonesia sebetulnya telah dimulai semenjak masa penjajahan. Cornelius Van Vollenhoven (w. 1933) menganggap hukum yang hidup di Indonesia adalah hukum Islam dengan berbagai kompleksitasnya (receptio in complexu).

Snouck Hurgronje (w. 1936) menyangkal pendapat Van Vollenhoven dengan teori receptie karena menganggap hukum Islam tidak otomatis berlaku jika belum terserap dalam hukum adat. Terakhir ada pandangan Dirk Ter Haar (murid dari Van Hollenhoven, w. 2002) yang mengakui hanya hukum adat sebagai satu-satunya hukum yang hidup.

Para sarjana Barat yang telah disebutkan di atas tidak memiliki latar belakang yang memadai untuk memahami karakter sosial masyarakat Indonesia. Ibaratnya mereka melihat “bumi datar” nusantara dengan teropong jauh di atas dek kapal di tengah samudera.

Mereka tidak paham etika konsinyasi masyarakat pesisir Nusantara. Bahwa siapapun boleh menyandarkan kapal di seluruh garis pantai nusantara hanya saja mereka tidak boleh menguasainya. Sebaliknya masyarakat Indonesia yang memiliki dataran pulau dapat mengambil keuntungan dengan keberadaan mereka melalui penyerapan untuk memperkuat potensi penduduk aslinya.

Dalam konteks hukum, hukum yang dibawa para pendatang seperti Arab Islam, Barat Kristen, dan hukum bangsa lainnya diserap dalam hukum Nusantara. Konsinasi hukum itulah yang sebetulnya menjadi hukum yang hidup di nusantara. [Bersambung]