Para orientalis dan misionaris seringkali menyerang umat Islam melalui perkara poligami Rasulullah SAW. Nabi Muhammad SAW memang diberikan pengkhususan mengenai poligami. Namun perlu diketahui, bahwa beliau berpoligami bukan karena “hawa nafsu”, beberapa pernikahan Nabi justru merupakan wahyu dari Allah, selain itu pernikahan Nabi juga mengandung hikmah yang luar biasa.
Walaupun Nabi poligami, tapi tidak semua orang bisa menirunya. Ada batasan-batasan tertentu. Sehingga, jika ada laki-laki yang akan poligami, lalu mengatasnamakan mengikuti sunnah Rasul, maka ada beberapa hal yang perlu cek, apakah benar-benar sama seperti poligami yang dilakukan Rasul? Karena pada kenyataannya poligami nabi tidak semudah seminar-seminar poligami saat ini. Selain ada beberapa hal yang hanya menjadi khususiyah nabi, salah satunya terkait jumlah istri.
Berikut lima fakta poligami Rasulullah yang perlu kamu ketahui.
Rasulullah baru berpoligami setelah Khadijah wafat
Semasa hidup Khadijah, Rasulullah SAW tidak pernah menduakan Khadijah dan tidak menikahi perempuan lain selainnya. Usai Khadijah wafat, Rasulullah SAW tidak langsung menikah lagi, beliau sempat menduda selama setahun.
Rasulullah SAW sangat sedih atas kematian Khadijah, posisi Khadijah di hatinya belum juga dapat tergantikan. Orang-orang mulai membicarakan kesendirian Nabi, mereka berharap beliau mau menikah lagi, agar ada sosok istri yang menjadi pelipur lara, menemani beliau, serta membantu beliau mengurus anak-anaknya.
Hingga akhirnya datanglah Khaulah binti Hakim mendatangi Nabi, ia membujuk Nabi agar mau menikah lagi, maka Khaulah menawarkan Aisyah binti Abu Bakr, beliau pun setuju. Beliau pun mengkhitbah Aisyah namun belum menggaulinya.
Namun Khaulah kembali bertanya-tanya “Jika Rasulullah SAW tidak langsung berumah tangga dengan Aisyah, lalu siapakah yang akan menemaninya?” Maka Khaulah kembali menawarkan agar Nabi menikahi Saudah. Khaulah pula lah yang menyampaikan lamaran Nabi kepada Saudah. Perlu diketahui bahwa Saudah merupakan seorang janda yang tak lagi belia. Ketika dinikahi Nabi, Saudah berusia 55 tahun.
Masa monogami Nabi lebih lama dari masa poligami
Rasulullah SAW baru berpoligami di usianya yang ke 51 tahun. Jika kita hitung, masa monogami beliau justru lebih lama dari masa poligami. Rasulullah SAW pertama kali menikah saat berusia 25 tahun. Beliau membangun rumah tangga dengan Khadijah selama 25 tahun dan selama itu pula beliau bermonogami.
Nabi berpoligami tidak di usia muda. Kalaulah benar anggapan bahwa Nabi berpoligami karena hawa nafsu belaka, tentu saja beliau akan berpoligami di masa muda, masa saat kondisi fisik begitu bugar dan prima.
Semua perempuan yang dinikahi Rasulullah janda, kecuali Aisyah
Semua perempuan yang dinikahi Rasulullah SAW merupakan janda, hanya Aisyah saja yang dinikahi dalam keadaan perawan. Janda-janda yang dinikahi Nabi pun tak lagi berusia muda. Beberapa dari mereka bahkan telah memiliki anak-anak dari suami yang terdahulu.
Jika sekarang ada yang poligami tapi malah menikahi perawan, maka perlu dipertanyakan, bukan?
Mempererat hubungan antar kabilah
Dari masa ke masa, pernikahan dipercaya dapat merekatkan hubungan antar suku. Begitu pula yang terjadi pada pernikahan Rasulullah SAW. Misalnya coba kita ingat-ingat kisah pernikahan Nabi SAW dengan Shafiyah binti Huyay, seorang putri Yahudi yang akhirnya memeluk Islam. Ayah Shafiyah berasal dari kabilah Bani Nadhir, sedangkan ibundanya dari Bani Quraidzah. Padahal Bani Quraidzah merupakan suku Yahudi yang pernah mengkhianati umat Islam.
Selain Shafiyah, ada pula Juwairiyah binti al-Harits, seorang putri dari kepala suku Bani Musthaliq. Juwairiyah menjadi tawanan pada perang Bani Musthaliq. Ia pun menghadap Nabi, meminta agar beliau bersedia membebaskannya apabila ia membayar (mukaatabah).
Ternyata Rasulullah SAW justru membebaskan Juwairiyah dan menikahinya. Karena pernikahannya, maka semua tawanan akhirnya dibebaskan dan kaum Bani Musthaliq berbondong-bondong masuk Islam.
Begitu pula dengan istri-istri Nabi lainnya, masing-masing memiliki hikmah tersendiri di balik pernikahan mereka dengan Nabi SAW.
Memudahkan dakwah Nabi
Keluarga perempuan Rasulullah SAW memiliki kontribusi besar dalam penyebaran ilmu-ilmu syar’i, terutama hadis-hadis Nabi SAW. Dalam penelitian yang penulis lakukan di Darus-Sunnah, mayoritas perawi perempuan yang meriwayatkan hadis-hadis perempuan dalam kitab as-sunan al-arba’ah merupakan kerabat Nabi, terutama istri-istri beliau SAW.
Para sahabat perempuan tentu saja tidak memiliki kesempatan menemani Nabi sebagaimana sahabat laki-laki seperti Abu Bakr dan Umar. Namun berbeda dengan istri-istri Nabi, mereka memiliki waktu dan kedekatan khusus dengan Rasulullah SAW. Bagi mereka, Rasulullah SAW bukan hanya seorang nabi, tapi juga seorang suami yang menyayangi, melindungi, dan memberi nafkah lahir batin.
Maka tak heran bila istri-istri Nabi merupakan orang yang paling mengerti sisi kehidupan Nabi di ranah domestik, bahkan hingga ke hubungan intim seperti mandi bersama. Melalui istri-istri Nabi, ilmu-ilmu syar’i tersebar. Bahkan para sahabat laki-laki juga sering bertanya dan belajar kepada para istri Nabi.
Dua istri Nabi, Aisyah dan Ummu Salamah seringkali membuka majelis ilmu. Selain itu, Zainab, Shafiyyah, Maimunah, Hafshah dan lainnya juga turut meriwayatkan hadis. Dengan adanya ikatan pernikahan, Nabi SAW lebih leluasa mengajari para perempuan berbagai ilmu-ilmu agama.
Dari beberapa hal di atas, bisa disimpulkan bahwa poligami nabi tidak semudah poligami yang dilakukan para coach poligami. Jika mereka yang poligami mengatasnamakan nabi, harusnya poligami mereka sesuai dengan kondisi nabi, bukan?