Liberalin Akuh, Dik…

Liberalin Akuh, Dik…

Liberalin Akuh, Dik…

Cap liberal adalah salah satu senjata pamungkas yang paling digemari dalam debat kusir topik Islam. Tak bedanya di sisi satunya, yang gampang ngasih cap Wahhabi.

Dalam beberapa hal kedua penggemar stempel itu sama saja. Ada yang sebel sama FPI karena suka main gebuk, misalnya, lantas bilang, “Dasar Wahhabi…” ke FPI. Padahal FPI blas bukan Wahhabi. Nah, penyetempel liberal mungkin lebih mumet lagi. Sebab batasan apa itu pemikiran liberal agak kurang klir.

Ketika beberapa tukang stempel saya tanyai definisi ‘liberal’ tuh yang gimana, rata-rata susah menjelaskan. Ada yang asal bilang “Pokoknya logika kebablasan” lah, “Pake perasaan juga udah ketahuan itu liberal” lah, dan entah apa lagi.

Untuk yang pake perasaan mending nggak usah dibahas. Itu cuma baper. Tapi buat yang bikin definisi “logika kebablasan”, lantas sebenarnya batas logika yang diperbolehkan tuh sampai mana? Itu mestinya wajib dijelaskan. Dengan begitu, kita akan lebih bertanggung jawab dalam vonis-vonis yang kita jatuhkan. (Kita???).

***
Cap liberal ini jelas bukan barang baru. Waktu di Perth digelar dialog bersama dengan pembicara wakil NU dan Muhammadiyah, ada seorang peserta bertanya, “Kenapa NU yang tradisionalis malah justru memunculkan banyak tokoh liberal?”

Si penanya ini cuma kurang referensi aja. Isu liberal dalam Muhammadiyah sudah rame sejak duluuuu kala. Ingat Prof. Dawam Raharjo yang sampai dipecat dari PP. Ingat juga nama-nama lain yang dianggap “bermasalah”, semisal Dr. Abdul Munir Mulkhan dan Prof. Amin Abdullah.

Namun ada dua faktor yang bikin NU jadi terkesan lebih liberal bagi kebanyakan orang.

Pertama, terjadi institusionalisasi dengan berdirinya JIL, yang memuat kata ‘liberal’ dalam nama resminya. (Padahal JIL bukan satu-satunya representasi pemikiran yang dianggap liberal. Banyak juga tertuduh liberal yang tidak sependapat dengan tokoh-tokoh JIL.)

Kedua, gorengan pasca-Pilpres 2014 lah ya. Kita sama paham, kelompok ortodoks banyak di sisi mana, dan NU ada di sisi mana. Nggak usah ketawa gitu. Biasa ajah. Senyum kecil ajah.

Kalau mau ditarik lebih jauuuuh lagi ke belakang, sejak zaman kekuasaan Bani Abbasiyah lebih dari seribu tahun lalu pun isu-isu liberal ini sudah bikin ribut dalam Dunia Islam–tentu istilahnya bukan ‘liberal’. Ingat bagaimana pemikiran Ibn Sina dan Al-Farabi tentang Ketuhanan.

Maka kemudian muncul Al Ghazali dengan Tahafut al Falasifah-nya, yang sibuk membantahi pemikiran-pemikiran mereka. Mungkin ini posisinya agak mirip buku-bukunya Hartono Ahmad Jaiz, meski pastilah kurang ajar menyetarakan raksasa intelektual bernama Al Ghazali dengan penulis buku topik-topik “bahaya dan kesesatan” bernama Al Hartono hehe.

Waktu itu, pemikiran “liberal” tumbuh subur, salah satunya karena Mu’tazilah yang mengedepankan rasionalisme sedang jaya-jayanya, bahkan jadi ideologi negara.

Lutunya, kelompok-kelompok yang sekarang suka membenci pemikiran liberal tuh sering juga membanggakan Ibn Sina dan Al Farabi sebagai bagian dari kejayaan Islam di masa lalu heuheuheu.

Oiya, sejarawan Tamim Ansary membagi ke dalam tiga kelompok besar para pemikir di era Abbasiyah. Ada filsuf-ilmuwan, ulama-teolog, dan kaum sufi.

Kelompok teolog ortodoks sering mempermasalahkan pemikiran-pemikiran kaum filsuf di satu sisi, dan kerap menuding sesat kaum sufi di sisi lain. Maka salah satu produknya adalah Ibn Sina dikafirkan, dan Al Hallaj dibunuh.

Pola ini berulang lagi di zaman ini, saya kira. Kelompok ortodoks menuding-nuding kaum cendekiawan dan kaum sufi-milenium. Hasilnya kita saksikan, sosok seperti Gus Mus dan Cak Nun yang pemikiran keagamaannya lebih condong ke pemikiran sufistik itu pun turut kena samber: li-be-ral.

***
Oh iya. Ngomong-ngomong, Prof. Kuntowijoyo malah bilang bahwa generasi muda Islam tuh harus liberal. Lengkapnya: humanis, liberal, transendental. Itu blio ambil dari ayat “Kuntum khaira ummatin ukhrijat linnaas. Ta’muruuna bil ma’ruuf, wa tanhauna ‘anil munkar, watu’minuuna billaaah.” Surah Ali ‘Imron ayat 110.

Ta’muruuna bil ma’ruf (mengajak kepada kebaikan) adalah spirit kemanusiaan alias humanisme, tanhauna ‘anil munkar (mengajak meninggalkan yang munkar) adalah spirit pembebasan alias liberalisme, dan tu’minuuna billaah (beriman kepada Allah) adalah spirit transendentalisme.

Tapi tentu saja yang dimaksud dengan liberal versi kelompok ortodoks-kekinian-Indonesia bukan liberal yang beginian. Lha trus yang gimana? Ya embuh.

Mari kita simak saja sembari makan sahur.