Tidak peduli diprotes, ditolak, dan disorot publik, RUU Cipta Kerja telah sah menjadi Undang-undang (UU). Ini menyusul pengesahan RUU Cipta Kerja (Ciptaker) oleh DPR dan Pemerintah di rapat paripurna, Senin (05/10) kemarin.
Terang saja, publik semakin geram. Di twitter, hingga berita ini ditulis, tiga besar trending topic didominasi oleh suara warganet yang menunjukkan kekecewaannya kepada DPR, Pemerintah, dan Polisi.
https://twitter.com/PangeranEs/status/1313298399819571201
Sementara itu, di lapangan orang-orang turun ke jalan. Ratusan buruhmelakukan aksi demonstrasi menolak pengesahan UU Omnibus Law Ciptaker di depan kantor PT Parkland World Indonesia, Serang, Banten, Selasa (6/10). Aksi ini berlangsung sekitar 1,5 jam sejak pukul 07.00 WIB hingga 08.45 WIB pagi tadi, dan massa aksi membubarkan diri dengan tertib lalu melanjutkan bekerja di dalam perusahaan.
Ketua Serikat Pekerja Nasional Parkland World Indonesia Agus Sugianto menegaskan bahwa aksi ini bukan mogok kerja melainkan demo kepada pemerintah dan DPR yang mengesahkan UU Omnibus Law Ciptaker.
“Ingat, kita tidak mendemo perusahaan, tapi kita mendemo pemerintah dan DPR yang mengesahkan UU Omnibus Law, sehingga kita masuk kerja kembali. Saya harus gentle mengakui surat izin yang disampaikan ke polisi merupakan demonstrasi bukan mogok kerja,” kata Agus menyampaikan orasi, dikutip CNN Indonesia.
Terpisah, pihak kepolisian telah mengatur bejibun antisipasi terhadap rencana demo terkait penolakan UU Ciptaker. Ini seperti Surat Telegram Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis Nomor: STR/645/X/PAM.3.2./2020 bertanggal 2 Oktober 2020.
Dokumen yang ditandatangani oleh Asops Kapolri Irjen Pol Imam Sugianto atas nama Kapolri itu berisi tentang antisipasi kepolisian ihwal unjuk rasa dan pemantauan situasi berpotensi konflik dalam rangkaian pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.
Ada 12 poin yang diatur dalam surat itu, beberapa di antaranya seperti pengerahan fungsi intelijen dan deteksi dini terhadap elemen buruh dan masyarakat yang berencana berdemonstrasi dan mogok nasional; melakukan patroli siber pada media sosial dan manajemen media untuk bangun opini publik yang tidak setuju dengan unjuk rasa di tengah pandemi; serta tidak memberikan izin kepada pengunjuk rasa untuk berdemonstrasi maupun keramaian lainnya.
Poin lainnya menginstruksikan perihal melakukan kontra narasi isu-isu yang mendiskreditkan pemerintah.
“Benar telegram itu, sebagaimana pernah disampaikan Kapolri Jenderal Idham Azis, di tengah pandemi COVID-19 ini keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi atau salus populi suprema lex esto,” kata Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono dalam keterangan tertulis, Senin (5/10).
baca juga: Tafsir Surah An-Nisa’ Ayat 58: Wahai Para Pemimpin, Dengarlah Apa Kata Rakyatmu
Meski begitu, Argo menambahkan bahwa dalam UU No. 9/1998 tentang menyampaikan pendapat di muka umum, penyampaian aspirasi atau demonstrasi memang tidak dilarang.
Hanya saja, demikian Argo, di tengah situasi pandemi virus corona seperti ini, kegiatan yang menimbulkan keramaian massa sangat rawan terjadinya penyebaran virus corona lantaran mengabaikan penerapan standar protokol kesehatan.
“Sehingga Polri tidak memberikan izin aksi demonstrasi atau kegiatan lainnya yang menyebabkan terjadinya kerumunan orang dengan tujuan mencegah penyebaran COVID-19. Ini juga sejalan dengan Maklumat Kapolri. Kami minta masyarakat untuk mematuhinya,” imbuh dia.
Padahal kalau Polisi mau lebih taktis lagi, sebetulnya kan mereka tidak perlu repot-repot antisipasi, kontra narasi, atau malah bubarin demo, tapi bilang aja ke DPR biar para wakil rakyat yang terhormat itu tidak bikin gara-gara dengan mengesahkan RUU Ciptaker.
Yah, tapi memang begitulah Polisi yang keberadaannya adalah untuk menertibkan rakyat dan bukan wakil rakyat.