KUPI II Bahas Dialog Lintas Iman sebagai Upaya Kemaslahatan Umat

KUPI II Bahas Dialog Lintas Iman sebagai Upaya Kemaslahatan Umat

KUPI II Bahas Dialog Lintas Iman sebagai Upaya Kemaslahatan Umat

Narasi adil gender dan kemanusiaan merupakan salah satu tema pokok yang didiskusikan dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II di Jepara (25/11). Topik ini dibincang secara menarik dalam Halaqah Tematik bertajuk “Peran Tokoh Lintas Iman dalam Kerja-kerja Keadilan Gender dan Kemanusiaan”. Diskusi berbentuk panel ini mempertemukan para aktifis keagamaan lintas iman, dari aktifis Gereja hingga penggerak Gusdurian.

Pdt. Elga J. Sarapung, Direktur Interfidei, mengatakan bahwa prinsip utama relasi lintas iman adalah untuk saling belajar bersama, bukan untuk saling membongkar mindset. Relasi seperti itu mencerminkan masyarakat kita yang progresif. Meski demikian, Elga menekankan untuk tidak menjadi individu yang progresif semata, namun juga transformatif.

“Relasi lintas iman bukan hanya berhenti dalam tataran diskusi saja, namun juga harus membuahkan luaran konkret yang positif. Artinya, menjadi progresif saja tidak cukup,” terangnya.

Elga memberi ilustrasi bahwa perkumpulan tokoh-tokoh keagamaan tidak berkutat pada wacana saling mengetahui ajaran masing-masing saja, namun mereka, misalnya, diajak untuk berpikir dan berdiskusi soal climate changes. Perbincangan tentang lingkungan ini merupakan hasil transformasi dari hubungan lintas iman yang sudah terjadi dalam ranah diskusi di atas meja.

“Sekali lagi, dialog lintas iman jangan dimaknai sebagai jembatan antar keberagaman saja, namun kita harus bisa memanfaatkan itu untuk keberlangsungan peradaban yang lebih baik,” tegas Elga.

Dalam wacana adil gender, Elga masih menyayangkan soal minimnya peran perempuan dalam dialog lintas iman. Perempuan hanya dilibatkan dalam gerak-gerak yang sifatnya organisatoris dan administratif saja, tidak terlibat dalam diskusi dan pertukaran gagasan. Fenomena ini menjadi evaluasi bersama karena pada dasarnya, KUPI mengajak para perempuan untuk berani menyuarakan pendapat.

Menurut Listya Suprobo, narasumber kedua diskusi, kurangnya perempuan dalam dialog lintas iman berpotensi mengurangi kapabilitas mereka dalam menganalisis konflik di kalangan mereka sendiri. Jika demikian, maka perspektif laki-laki akan cenderung mendominasi isu-isu perempuan, dan hal itu berpotensi melanggengkan bias.

Elga juga menyorot soal eksklusifitas enam agama resmi negara. Ia mengatakan bahwa relasi lintas iman jangan dipahami sebagai hubungan antara enam agama resmi saja, namun juga semua realitas keberagamaan di Indonesia.

Keresahan Pendeta Elga ini diamini oleh narasumber lainnya, Nia Sjarifudin. Ketua Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika tersebut menyayangkan adanya diskursus agama resmi dan agama tidak resmi di ranah kebijakan negara. Nia mengeluhkan bahwa dikotomi tersebut justru menciptakan stigma negatif bagi agama-agama lokal di luar agama resmi negara.

Meski demikian, ia mengapresiasi KUPI sebagai sebuah habitus Pancasila. KUPI dilihat sangat mencerminkan kelima sila dalam Pancasila, dari nilai-nilai spiritual dalam sila pertama hingga prinsip egaliter dalam sila kelima. Ia menekankan pentingnya “PBNU” sebagai ruh gerakan KUPI, “Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945”.

Jay Akhmad, narasumber diskusi keempat, mengatakan bahwa komunitas menjadi ruang perjumpaan paling strategis bagi keberagaman. Hal ini berlaku juga bagi KUPI. Sebagai gerakan intelektual berbasis sosial kemasyarakatan, KUPI menjadi semacam melting pot bagi seluruh pemikiran, perspektif, dan gagasan. Kekayaan dan keragaman pikir inilah yang nantinya akan merealisasikan visi KUPI untuk membangun peradaban yang berkeadilan.

Pendeta Elga memungkasi diskusi dengan sebuah saran konstruktif bahwa KUPI harusnya bisa merangkul organisasi lain untuk mewujudkan cita-citanya. Seperti yang telah ia sebutkan sebelumnya, keragaman perspektif ini harusnya difungsikan, selain sebagai media untuk saling belajar, juga untuk saling bertukar gagasan untuk melahirkan solusi yang transformatif atas isu peradaban yang terjadi.

“Selain NU, dunia juga mengenal Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi Islam besar di Indonesia. Saya kira KUPI bisa melibatkan ormas lain sebagai upaya kolaborasi dan menegaskan bahwa KUPI akan terbuka bagi siapapun yang berkomitmen pada adil gender dan kemanusiaan,” pungkasnya.