Jika kita menelisik latar belakang para intelektual muslim segenerasi Gus Dur, kita akan menemukan banyak informasi seputar kehidupan mereka yang menarik dan beragam. Gus Dur sendiri adalah seorang putra dan cucu kiai besar sebuah ormas besar Islam tradisional, Nahdlatul Ulama’ (NU). Sedangkan Dawam Raharjo sejak masa kuliah adalah aktivis muslim yang jadi takmir masjid. Buya Syafi’i Ma’arif besar dalam pendidikan Mu’alimin di Yogyakarta. Nurcholish Madjid adalah ketua umum organisasi mahasiswa muslim berhaluan modernis, yakni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Tak kalah menarik adalah latar kehidupan Kuntowijoyo. Di antara beberapa intelektual muslim di atas, Kuntowijoyo adalah pemikir dan penulis yang paling komplit. Kuntowijoyo merupakan seorang dosen sejarah, menulis tentang politik kaum muslim, dan juga pemikiran Islam. Ia tak hanya menulis seputar tema yang serius dan akademis, tapi ia juga menulis puisi, sastra, dan juga naskah drama. Sebagai seorang intelektual, ia sangat komplit. Barangkali yang bisa menyaingi hanyalah Gus Dur, tentu saja, Kuntowijoyo tak pernah punya pengalaman jadi ketua ormas yang ceramah keliling kampung dan juga jadi presiden.
Sosok Kuntowijoyo tak lahir tanpa sebab, ia adalah akumulasi dari proses pergulatan yang panjang. Ayahnya adalah seorang budayawan, dalang dan pembaca macapat, sedangkan kakeknya adalah seorang kaligrafer, seniman tulis bahasa Arab. Sejak kecil ia sudah belajar mendongeng dan mendeklamasikan puisi di bawah bimbingan M. Saribi Arifin dan Yusmanan, dua sastrawan besar waktu itu (Tirto.id, 2018).
Kuntowijoyo tak hanya memiliki latar kultural yang kuat dari darah ayah dan kakeknya. Akan tetapi ia juga memiliki latar akademik yang menawan, studi doktoral sejarahnya ia tempuh di Universitas Columbia, Amerika Serikat tahun 1980. Kuntowijoyo juga murid dari sejarawan besar UGM, Prof. Sartono Kartodirjo yang pernah menulis sejarah pemberontakan petani Banten zaman penjajahan, tahun 1888.
Pada sosok Kuntowijoyo ini, ada kisah yang menarik seputar sejarahnya dengan Majalah Ummat yang populer sebagai majalah dengan pemikiran keislaman kontemporer yang kuat di tahun-tahun 1990an. Kuntowijoyo pernah diprediksi kalau karir intelektualnya akan kandas sejak menderita meningo encephalitis (infeksi otak) pada tahun 1992. Akan tetapi, prediksi tersebut keliru, tahun 1994 ia sembuh. Paska sembuh Kuntowijoyo malah berhasil menuliskan beberapa karya pentingnya.
Di antara tulisan-tulisan pentingnya adalah esai yang diterbitkan oleh Majalah Ummat dua minggu sekali di tahun 1996. Esai-esai tersebut secara khusus mengulas tentang tema identitas politik umat Islam. Sebagai seorang sejarawan yang punya pondasi keislaman yang kuat, bagi Kuntowijoyo tidaklah kesulitan mengulas politik umat Islam dalam kerangka penulisan akademik dan dipadukan dengan isu-isu pemikiran politik yang kontekstual.
Sebagai seorang penulis yang produktif dengan semua genre tulisan, sastra, drama, dan akademik, Kuntowijoyo tak memiliki hambatan ketika harus menulis model esai ringan yang bisa dibaca dengan mudah oleh masyarakat biasa. Dan benar, ternyata banyak pembaca Majalah Ummat yang mengidolakan tulisan dua mingguan Kuntowijoyo.
Menurut penjelasan M. Syafi’i Anwar, mantan wakil pimpinan redaksi Majalah Ummat bahwa sering ia menemui testimoni para penggemar esai Kuntowijoyo. Syafi’i Anwar menuturkan pernah ada seorang penggemar mengatakan “Kalau membaca UMMAT, saya tak pernah melewatkan esainya Kuntowijoyo”. Si penggemar melanjutkan “Saya sampai mengkliping esai-esai Mas Kunto. Tapi saya tidak sabar, karena rasanya terlalu lama kalau menunggu setiap dua minggu” (Pengantar Syafi’i Anwar untuk buku Identitas Politik Umat Islam karya Kuntowijoyo, 2018; hal viii).
Tulisan Kuntowijoyo di Majalah Ummat khusus bertema identitas politik umat Islam. Ia mengulas habis seluruh tema tentang politik Islam. Ia menggali-gali latar epistemologi pemikiran politik umat Islam, ragam pemikiran politik umat Islam kontemporer, dan juga melakukan aktualisasi dengan mengaitkan dengan konsep-konsep politik modern, demokrasi misalnya.
Kuntowijoyo mengkritik pemikiran politik Islam yang hanya “sekedar” berorientasi syari’ah dan akhlak saja. Menurut Kuntowijoyo akhlak dan syari’ah itu penting, bahkan penting sekali. Akan tetapi, demikian itu hanya akan menimbulkan kesan bahwa umat Islam ini hanya pandai berbicara hal-hal yang baik, tetapi tidak tahu bagaimana cara mengimplementasikannya.
Kuntowijoyo menganggap pemikiran politik Islam yang demikian itu hanya tampak manis di permukaan, mereka kehilangan pijakan kekinian dan aktualitas. Model politik Islam yang demikian itu hanya berorientasi personal, tak memiliki konsep yang lebih sistemik dan implementatif.
Menurut Kuntowijoyo, jika pemikiran politik Islam mampu lebih sistemik, orientasinya tak hanya kepada kesalehan individual. Akan tetapi berorientasi juga kepada kemaslahatan umum. Maka kemudian, Kuntowijoyo menggali-gali akar-akar demokrasi dalam Islam, dalam perintah untuk selalu bermusyawarah. Selain itu, ia menekankan pentingnya melakukan liberasi, humanisasi dan egaliter dalam sistem politik umat Islam.
Pada akhirnya, gagasan pemikiran politik umat Islam dalam Majalah Ummat adalah upaya solutifnya Kuntowijoyo untuk umat Islam kekinian. Di tengah badai islam politik dengan orientasi pemikiran Islam yang berorientasi “sekedar” akhlak dan syari’ah, pemikiran politik berlandaskan nilai-nilai keislaman yang maslahah dan humanis Kuntowijoyo adalah sangat penting untuk ditelaah ulang oleh ummat Islam saat ini.
M. Fakhru Reza, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.