Alkisah, Khalifah Umar bin Khathab bertemu dengan seorang pemuda yang sedang mabuk minuman keras. Khalifah yang dikenal sangat tegas ini spontan hendak menangkap pemuda itu dan menjatuhi hukuman sesuai yang berlaku. Tiba-tiba, sang pemuda ini memperolok Umar begitu rupa. Hal inilah yang menjadikan Umar surut ke belakang. Ia mengurungkan niatnya menangkap dan melepaskannya begitu saja.
Seorang sahabat heran, “wahai Amirurl Mukminin, mengapa pemuda itu engkau lepaskan begitu saja ketika memperolokmu?”
“Aku takut jika hukuman yang akan aku jalankan nanti terpengaruh oleh kemarahanku. Hal ini yang akan menyebabkan penyelewengan dar atauran yang telah digariskan Allah. Tegasnya, aku tidak mengehendaki jika suatu hukuman terpengaruh dengan emosi atau bercampur dengan kepentingan pribadi,” begitu kata Umar.
(diambil dari buku Imam Ahmad Ibnu Nizar, Nabi Sulaiman dan Burung Hudhud, Diva Press,Yogyakarta,2009)
Membaca kisah di atas saya langsung teringat pada FPI atau kelompok lain yang mengatasnamakan perang melawan kemaksiatan dengan cara-cara kekerasan. Datang langsung ke lokasi dengan membawa pentungan dan tak jarang merusak. Orang-orang berhamburan. Berlari dalam ketakutan. Seketika itu wajah agama seperti berubah menjadi sangar.
Seorang Khalifah yang dikenal keras dan tegas seperti Sayyidina Umar masih sangat hati-hati menegakkan hukum. Sebagai seorang Khalifah tentu gampang baginya untuk menyeret dan menghukum pemabuk dengan berat. Tapi semua itu diurungkan. Olok-olok pemuda menjadikan Umar melihat “ke dalam” . Ke ruang bathinnya. Tindakan tegasnya dipertanyakan ulang karena hawatir bercampur dengan amarah, nafsu, atau kepentingan pribadi. Sifat-sifat ini laten. Begitu gampang merasuk pada tindakan atas nama hukum, agama, atau melawan kemaksiatan sekalipun. Bayangkan, seorang Khalifah lho.
Saya pikir menjadi penting melakukan refleksi. Perang melawan kemaksiatan sebagaimana ditampilkan oleh FPI dengan mendatangi lokasi-lokasi maksiat dan menggempurnya justru akan kontraproduktif dengan tujuan dakwah sendiri. Orang yang dijadikan sasaran dakwah justru tidak tersentuh. Malah bisa jadi makin benci. Atau kelakuannya makin menjadi-jadi.
Belum pada level niat. Meski hal ini ada pada wilayah bathin yang tidak bisa diketahui secara lahiriah oleh manusia, tetapi refleksi saya pikir juga menjadi penting. Betulkah amar ma’ruf nahi munkar yang ingin ditegakkan tidak terselipi nafsu, kepentingan pribadi, atau bisikan-bisikan hati yang justru mengotori niat suci itu sendiri. Apakah ketika merusak, mengejar-ngejar, atau ucapan yang keluar ketika bersetegang tidak dirasuki oleh kecenderungan menganggap bahwa kelompoknya lebih baik? Belum lagi kalau kita percaya bahwa petunjuk milik Gusti Allah.
Okelah, FPI bisa berdalih bahwa macam kemaksiatan yang kian telanjang hari ini tidak bisa dibiarkan. Apa yang dilakukan FPI bertujuan baik untuk meluruskan. Tetapi satu hal, bahwa Negara kita memiliki logika hukum yang harus ditaati oleh warganya. Soal pelanggaran yang melawan hukum, itu adalah domain kepolisian. Saya pikir tak bisa dibenarkan jika “polisi swasta” menyerobot domain kepolisian.
Nah, kalau polisi tidak tegas, gimana dong? Inilah masalahnya. Seharusnya aksinya ditujukan kepada kepolisian. Kepolisian didesak terus-menerus agar bisa tegas dan tanpa kompromi terhadap kegiatan yang melawan hukum. Tentunya, koridornya adalah konstitusi kita. Lakukan aksi besar-besaran untuk mendesak kepolisian bekerja secara tegas. Kalau perlu kepung. Tetapi jangan merusak.
Bagi saya dakwah itu tidak bisa dilakukan instant. Sekali kepruk, orang langsung sadar. Saya hormat pada kiai kampung yang total berdakwah secara kultural. Beliau tidak bosan-bosannya mengajak jamaahnya untuk berbuat kebaikan. Melakukan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Bagi mereka kehidupan social tidak hitam-putih. Dalam pergaulan pribadi tetap menjalin hubungan dengan pemabuk, pezina, pencuri, atau pun preman. Orang-orang yang seperti ini tetap ditempatkan martabatnya sebagai manusia. Kata kiai kampung, “kalau mereka tetap tidak sadar, siapa tahu nanti anaknya.” Ternyata di beberapa pesantren di daerah saya, anak-anak preman (atau dalam bahasa saya disebut bajingan) sudah banyak yang nyantri.
Inilah cara-cara kultural yang masih dilakukan oleh kiai kampung. Satu model dakwah yang sangat humanis, menyentuh, dan menyayangi. Para kiai kampung tidak pernah berpikir kapan dakwahnya sukses. Bagi beliau dakwah itu terus dilakukan, diikuti atau tidak oleh orang. Kalau tidak orang tuanya, siapa tahu nanti anaknya. Inilah model dakwah kultural yang inspirasinya mereka timba dari para wali songo yang sukses berdakwah di jagat nusantara ini. Kiai kampung bisa melakukannya karena berdasar atas prinsip: Semua orang memiliki potensi untuk baik. Beliau selalu berbaik sangka kepada semua orang.
- Beliau sadar tugasnya hanya menyampaikan tentu dengan cara-cara yang bijak. Soal petunjuk sepenuhnya milik Gusti Allah
- Beliau meyakini satu kaidah bahwa “kemungkinan tak bisa ditegakkan dengan kemungkaran.” Makanya dakwah mereka selalu menyejukkan dan menghindar untuk melecehkan orang lain, meski hanya sekedar melalui lisan.
- Dan beliau tahu betul sama cerita Sayyidina Umar. Beliau sekuat tenaga melakukan dakwah dengan ikhlas. Menjauhi hawa nafus dan kepentingan pribadi, termasuk merasa paling baik dari orang lain.
Barangkali kisah Umar –dan cerita kiai kampung ini—bisa menjadi bahan refleksi bagi saudaraku FPI. Matorsakalangkong