Namanya Dian dan tentu saja bukan nama sebenarnya. Ia masih berusia 23 tahun dan saat ini mengajar di salah satu lembaga pendidikan Muhammadiyah di Yogyakarta. “Jangan khawatir Mas, darah saya tetap NU kok,” katanya dengan seulas senyum tersungging di bibirnya.
Memang, Dara yang berasal dari Tangerang ini lahir dan tumbuh dari keluarga Nahdlatul Ulama seperti mayoritas di Indonesia. Tak heran jika saat dia diterima di Jurusan Biologi UGM pada 2013, dia langsung tersambung dengan KMNU (Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama) UGM. Sekalipun demikian, sejak di SMA dia telah aktif di kegiatan Rohis (Kerohaniaan Islam) di bawah bimbingan seorang murabbi (mentor keagamaan) yang berideologi tarbiyah. Dia bahkan termasuk tokoh Rohis di SMA-nya. Ketika dia melanjutkan kuliah ke UGM, sang murabbi memberi surat pengantar kepada seorang murabbi di UGM sebagai pengalihan pengasuhan.
Sebagai mantan aktivis Rohis, Dian masuk ke dalam Jamaah Salahuddin (JS) UGM. Menurutnya, JS adalah Rohis-nya UGM. Salah satu alasan yang mendorongnya masuk JS adalah ingin aktif di organisasi. Pilihan jatuh ke JS karena JS menawarkan kesempatan untuk memiliki teman-teman lintas-fakultas. Di JS, Dian masuk Departemen Gajah Mada Menghafal al-Quran.
Di JS ini dia bertemu dengan mahasiswa dari berbagai fakultas. Sekalipun demikian, nyaris semuanya memiliki simbol-simbol fisik yang sama: jilbab besar, jenggotan, dan celana cingkarang. Tidak ada satu pun yang menampakkan identitas ke-NU-an dan ke-Muhammadiyah-an sebagaimana yang biasa ditemukan di masyarakat pada umumnya. Sejak aktif di JS, dia mulai mengganti jilbabnya dengan jilbab panjang.
Saat semester tiga, dia mulai berkenalan dengan gerakan salafi melalui temannya sesama aktivis JS. Akhirnya, Dian masuk ke ke asrama putri salafi yang beralamat di Pogung Dalangan, dekat dengan kampus UGM. Pogung bisa disebut sebagai wilayah “kekuasaan” kelompok salafi dan tarbiyah. Rata-rata penghuni asrama salafi adalah mahasiswi UGM. Ketika dia memutuskan masuk ke asrama salafi itu, orang tuanya sama sekali tidak tahu.
Asrama ini dikelola dengan peraturan yang sangat ketat. Di sini, Dian dituntut untuk mematuhi semua aturan: masuk asrama paling lambat pukul 18.00 WIB kecuali alasan akademik; tidak boleh pacaran; tidak boleh nonton film; tidak boleh mendengar musik; hanya boleh mendengar murottal al-Quran ulama salafi atau mengikuti program-program dakwah salafi. Kajian keislaman dilaksanakan setiap hari, dari pagi sampai sore.
Salah satu ciri pakaian penghuni pesantren salafi adalah jubah hitam atau biru dongker. Ketika awal masuk asrama, Dian masih memakai gaun motif bunga-bunga. Hal itu langsung ditegur oleh seniornya karena dianggap dapat menarik perhatian laki-laki.
Dari sini, tuntutan terus meningkat ke arah penggunaan cadar dengan alasan wajah perempuan adalah aurat sehingga tidak boleh diperlihatkan kepada laki-laki lain. Dian akhirnya memakai cadar.
Ada peristiwa kecil yang membuat Dian akhirnya memutuskan keluar dari kelompok salafi. Sambil menerawang dan menahan sisa-sisa kegeraman, dia mengisahkan:
“Ada satu titik yang saya nggak bisa toleransi lagi. It’s okay saya nggak dengerin musik, nonton film. November 2014, waktu itu saya lagi masak. Nah, saya biasa habis shalat maghrib jamaah, setoran [hafala] terus masak. [Saat] itu hujan deres, saya lagi goreng-goreng. Dari dulu itu saya nggak pernah berhenti shalawatan, nariyahan, sambil goreng-goreng gitu. Saya tahu memang nggak boleh shalawatan.
Amirah [senior pembimbing] saya yang kamarnya depan-depanan sama saya nyuci piring. Pas dia mau balik ke kamar, dia bilang ‘Dik Dian, jangan shalawatan di sini!”
Kata-kata itu membuat saya hancur…. Saat itu saya cuma bilang ‘Ya Mbak’ sambil nahan tangis. Saya masuk kamar, banting pintu, dan nangis. Malam itu juga saya packing. Saya minta tolong ke anak-anak KMNU untuk cariin kos….”
Keputusan Dian untuk keluar bukan perkara mudah. Ketika dia memutuskan keluar dari asrama salafi, dia tidak tahu harus melangkah ke mana. Bahkan dia sempat disidang oleh para seniornya dan dibujuk agar tidak keluar. Yang menguatkannya adalah dukungan dari teman-temannya di KMNU. Salah satu yang membuat dia terikat erat dalam persaudaraan KMNU UGM adalah saat dia jatuh sakit dan harus opname di rumah sakit, anak-anak KMNU datang ramai-ramai dan membaca surah Yasin di rumah sakit.
Saat dia menceritakan kisahnya, dia tidak menyesali liku-liku hidupnya. Semuanya patut disyukuri karena perjalanan hidup seseorang adalah proses pendewasaan. Jika ada yang terus dia genggam, itu adalah kecintaannya kepada Rasulullah yang terus diamalkannya melalui shalawat nariyah. Tak boleh ada orang yang menggugatnya, apalagi melarangnya.[]