Termaktub dalam kitab ‘Uyun al-Hikayat karya Ibnu Jauzi, sebuah kisah tentang pengalaman Yahya bin al-Shalti al-Jusyi yang menyaksikan seseorang yang sedang menghadapi sakaratul maut, atau hendak meninggal dunia.
Suatu hari, ia sedang berada di depan seorang laki-laki ahli ibadah yang agaknya dalam waktu dekat akan kembali ke hadirat Allah Swt. Selain Yahya, seluruh anggota keluarga dari laki-laki itu juga berada di sana pula: ayah, ibu, istri dan anak-anaknya.
“Apa yang engkau rasakan?” tanya Yahya kepada laki-laki tersebut.
“Seakan segerombolan semut sedang mengerubungi kulit dan tulangku (sakit sekali, pen.)” jawab laki-laki itu.
Mendengar jawaban itu, seluruh anggota keluarganya kemudian menangis. Laki-laki itu pun lalu menanyai mereka satu persatu tentang kenapa gerangan mereka menangis.
“Wahai ayah, mengapa engkau menangis?” tanya laki-laki tersebut kepada ayahnya.
Ayahnya menjawab, “Aku menangisi kepergianmu, Nak. Setelah kepergianmu, pasti aku akan merasakan sangat sendirian”.
Laki-laki tersebut juga mengajukan pertanyaan yang sama kepada anggota kelurganya yang lain: “Mengapa engkau menangis?”
Masing-masing dari mereka pun, secara bergantian menjawab dengan jawaban yang sama: “Aku menangisi kepergianmu. Setelah ini, aku pasti akan merasakan kesedihan.”
Setelah mendengar jawaban atas pertanyaan yang diajukannya itu, si laki-laki itu kemudian meminta agar posisinya yang semula berbaring, dibantu agar bisa duduk.
“Tolong dudukkan aku!” kata laki-laki tersebut meminta tolong.
Setelah duduk, lantas si laki-laki itu “memarahi” anggota keluarganya itu.
“Kalian semua menangisi aku karena dunia,” kata laki-laki itu di luar dugaan.
“Adakah salah satu dari kalian yang menangisi aku karena memikirkan bagaimana keadaanku nanti ketika sudah dikubur? Apakah ada salah satu dari kalian yang menangisi aku karena kasihan bagaimana caraku nanti menjawab pertanyaan malaikat Munkar dan Nakir? Apakah ada salah satu dari kalian yang menangisi aku karena mengkhawatirkan bagaimana posisiku nanti ketika di hadapan Tuhan?” laki-laki itu menambahkan.
Sesaat kemudian, si laki-laki itu menangis sangat kencang lalu menghembuskan nafas terakhir. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
(Penulis yakin, laki-laki ini sempat membaca kalimat tauhid ketika hendak menghadapi sakaratul maut, walaaupun dalam sumber teks kisah aslinnya tidak disebutkan. Hal ini bisa dilihat dari keterangan bahwa di awal kisah telah tertulis “laki-laki ahli ibadah”).
Salah satu pesan yang dibisa dipetik dari kisah di atas adalah bagaimana seharusnya sikap seseorang ketika berada di dunia, atau sewaktu hendak meninggal dunia. Apa yang laki-laki shaleh katakan dalam kisah di atas seakan berbunyi, “Jangan terlalu memikirkan dunia. Pikirkan juga bagaimana keadaanmu kelak ketika menghadap Tuhan!”
Dunia memang acapkali membuat seseorang terlena sehingga sampai melupakan akhirat. Sejatinya, seorang muslim tidaklah dilarang memiliki dunia (harta, jabatan, dan lain-lain). Hanya saja, dunia jangan sampai diletakkan di dalam hati, cukup di tangan saja.
Bukti bahwa dunia tidak sampai masuk ke dalam hati adalah ketika mendapatkannya, seseorang tidak merasa bahagia secara berlebihan dan ketika kehilangan maka ia pun tidak merasa bersedih secara berlebihan. Semua dihadapi dengan biasa-biasa saja. Mengapa? Karena dunia sama sekali tidak membekas di dalam hatinya.
Allah Swt. berfirman:
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (QS. Al-An’am [6]: 32)
Ketika menafsiri ayat ini, Prof. Dr. Wahbah al-Zuhaili menjelaskan dalam tafsirnya, al-Munir, bahwa yang dimaksud “main-main” adalah hal yang tidak ada manfaatnya. Sedang yang dimaksud dengan “senda-gurau” adalah segala hal yang membuat lupa untuk mengerjakan hal yang bermanafaat.
Serupa dengan itu, dalam tafsir Jalalain dijelaskan bilamana segala hal yang membantu seseorang dalam melaksanakan ketaatan adalah temasuk bagian dari akhirat, bukan dunia. Sehingga dari sini dapat dipahami, batasan apakah suatu hal yang kita miiki itu termasuk dunia atau tidak adalah seberapa besar manfaatnya dalam membantu kita untuk beribadah kepada Allah Swt.
Wa ba’du, Nabi Muhammad Saw bersabda:
“Dunia itu terlaknat dan segala yang terkandung di dalamnya pun terlaknat, kecuali orang yang berdzikir kepada Allah, yang melakukan ketaatan kepada-Nya, seorang ‘alim atau penuntut ilmu/” (HR. Tirmidzi)