Siapa yang tidak tahu istilah “Suami-suami takut istri”? Tapi ini bukan salah satu acara Tv yang sempat ramai ditonton banyak orang ya. Dalam dunia kehidupan perumah tanggaan bukan menjadi hal yang tabu jika ada dan mungkin banyak suami yang takut dengan istri. Gagah rupanya, bahunya merata dan dada membusung pun akan luluh dan takut bagi seorang suami yang takut dengan istrinya. Entah karena watak istrinya yang galak atau karena kesalahan suami walaupun sedikit yang membuat istri cepat marah, bahkan bisa terdengar oleh rumput tetangga.
Jika dilihat dari prespektif sejarah, fenomena suami takut istri bukanlah hal anyaran. Sebut saja bapak-bapak dekat rumahku, saat ada acara tahlilan atau kumpul-kumpul perkumpulan bapak-bapak, tidak sedikit yang saling menceritakan kelus kesah tingkah laku istrinya. Mulai dari cepat marahan, selalu cepat minta “jatah”, dan hal-hal perduniaan rumah tangga. Di dalam kitab Syarah Uqudullujain karya Syekh Imam An-Nawawi Al-Bantani Al-Jawi ada satu kisah yang cukup menarik tentang takutnya seorang suami kepada istri.
Dikisahkan ada seorang pria hendak sowan kepada Sahabat Umar bin Khattab untuk menceritakan keluh kesah tentang Istrinya yang cepat dan sering marah kepadanya. Ia beranggapan bahwa sekelas Sahabat Umar bin Khattab yang gagah, kuat, “preman” pada masanya dapat membantu permasalahannya, atau paling tidak ia mendapatkan nasihat darinya. Sesampainya ia di depan pintu rumah Sahabat Umar bin Khattab ia mengetuk pintu lalu terdengar dari bilik pintu itu suara teriakan nyerocos, layaknya seperti seorang perempuan yang sedang memarahi seseorang lain. Dan ternyata benar, ada perempuan yang sedang memarahi seorang pria, yaitu Sahabat Umar bin Khattab yang sedang dimarahi istrinya. Dengan hening dan diiam seribu bahasa yang dilakukan Sahabat Umar bin Khattab
Mendengar kejadian itu, pria ini langsung membalikan badan seraya berkata pelan:
“إذا كان هذا حال أمير المؤمنين فكيف حالى”
“Jika keadaan Amirul Mukminin seperti ini bagaimana keadaanku yang orang biasa”
Tidak lama Sahabat Umar membukakan pintu seraya memanggil pria tadi, “Apa keperluanmu?” tanyanya dengan tegas. “Wahai Amirul Mukminin, saya datang hendak mengadu padamu untuk mengadukan kejelekan istriku yang sangat menyakitkan, lalu saya tahu ternyata istrimu demikian, apalagi keadaanku.” Balas pria tersebut.
Mendengar itu, Sahabat Umar bin Khattab tersenyum. Dia jelaskan alasan tak membalas kemarahan sang istri. Menurut Sahabat Umar bin Khattab, seorang istri sudah bekerja menyiapkan dan memasak makanan, mencuci baju, serta mengasuh dan mendidik anak-anaknya. “Aku cukup tenteram tidak melakukan perkara haram lantaran pelayanan istriku. Karena itu, aku menerimanya sekalipun dimarahi,” kata Sahabat Umar bin Khattab.
Lantas pria tersebut lalu bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, apakah saya juga harus berbuat demikian terhadap istriku?.”
“Ya, terimalah marahnya. Karena yang dilakukan istrimu tidak akan lama, hanya sebentar saja,” jawab Sahabat Umar bin Khattab.
Sekelas Sahabat Umar bin Khattab yang ditakuti syetan pun tidak membalas marahan istrinya. Dari kisah di atas dapat diambil pelajaran, bahwa seorang pria atau suami yang betul-betul memahami bagaimana kewajiban dan hak sebagai suami dan memberi hak kepada istri tentu tidak akan memarahinya balik selama si istri tidak melakukan hal-hal yang dilarang agama. Jika kita memarahinya tentu bisa menimbulkan api yang semakin besar. Karena dalam kehidupan perumah tanggaan tentu harus ada yang mau mengalah, bukan karena semata-mata tidak sanggup membalas, namun dengan mengalah justru cara terbaik membalas hal itu.
Akan tetapi jika urusan dalam ranjang sebagai laki-laki secara mental haruslah lebih kuat dan terbaik, ya walaupun tidak dipungkiri secara “yang lain” bisa lebih lama dan baik ketimbang laki-laki. Seperti lamanya fase kehidupan, dilansir dari bbc.com (05/02/2019) bahwa harapan hidup rata-rata saat lahir bagi penduduk dunia adalah 72 tahun di tahun 2016, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), (Ini bukan ngeles yaaa, hehehe). Tetapi ketika dipilah berdasarkan jenis kelamin, angkanya adalah 74 tahun dua bulan untuk perempuan dan 69 tahun delapan bulan untuk laki-laki. Saya sendiri curiga apakah ini ada hubungannya dengan lebih banyak anak yatim ketimbang piatu.