Perang Khandaq atau juga sering disebut perang Ahzab yang terjadi pada tahun kelima Hijriyah merupakan salah satu perang yang “sangat berat” bagi umat Islam di Madinah. Satu sosok yang punya andil besar dalam keberhasilan umat Islam di perang tersebut adalah Nu’aim bin Mas’ud.
Dalam Perang Khandaq, kaum muslimin dikeroyok oleh persekutuan kaum musyrik Quraisy Mekkah, suku Ghatafan, dan kaum Yahudi Quraidzah, serta beberapa kabilah kecil lainnya. Jumlah pasukan yang mereka kumpulkan sangat besar. Abu Sufyan bin Harb menjadi pemimpin koalisi tersebut.
Muasal terbentuknya koalisi yang sangat besar ini akibat provokasi Huyay bin Akhtab, pemimpin Yahudi bani Nadhir yang dendam kepada umat Islam, utamanya Kanjeng Nabi Muhammad SAW, setelah terusirnya mereka dari bumi Madinah. Kaum Yahudi bani Nadhir ini ditaklukkan oleh umat Islam akibat pengkhianatan mereka selepas perang Uhud terhadap perjanjian damai dengan umat Islam Madinah, plus terkuaknya rencana busuk mereka untuk membunuh Kanjeng Nabi SAW.
Huyay bin Akhtab –yang memiliki anak perempuan cantik bernama Shafiyah binti Huyay, yang kelak menjadi istri Kanjeng Nabi SAW selepas perang Khaibar di tahun ketujuh Hijriyah—datang ke Mekkah dan merayu Abu Sufyan bin Harb dengan ragam provokasi untuk bersama-sama menyerang Madinah. Ia menjanjikan pasukan yang besar. Tentu saja, Abu Sufyan bin Harb tergiur dan menyetujuinya.
Lalu Huyay bin Akhtab juga mendatangi bani Gathafan, kelompok suku besar di utara Madinah yang beragama pagan. Dengan bujuk rayu penuh provokasi, Huyay bin Akhtab pun berhasil merangkul mereka untuk bersekutu.
Terakhir, Huyay bin Akhtab mendatangi kaum Yahudi Quraidzah yang dipimpin Ka’ab bin Asad. Sesungguhnya sejak awal Ka’ab bin Asad menolak kedatangan Huyay bin Akhtab, apalagi menerima ajakannya untuk bersekutu. Namun, dengan kejunilannya dalam membujuk, merayu, dan memprovokasi, pelan demi pelan Ka’ab bin Asad pun tergoda.
Apalagi, tatkala Huyay bin Akhtab berkali-kali menyatakan dengan meyakinkan kepada Ka’ab bin Asad bahwa Kanjeng Nabi Muhammad SAW bersama pasukan Islamnya cepat atau lambat pasti akan memerangi bani Quraidzah, sebagaimana telah dialami kaum Yahudi bani Qainuqa’ dan kaum Yahudi bani Nadhir, maka tumbanglah prinsip Ka’ab bin Asad dengan menyatakan bersedia bersekutu, dan tentu saja itu berarti berkhianat kepada perjanjian damai dengan Kanjeng Nabi SAW.
Tatkala pasukan sekutu (al-ahzab, inilah sebab perang tersebut juga disebut perang Ahzab) ini benar-benar telah mengepung umat Islam di kota Madinah dalam durasi yang tak sebentar–yakni 25 hari—keadaan umat Islam sungguh terjepit. Utamanya, dengan pengkhianatan kaum Yahudi Quraidzah yang wilayahnya tepat menjadi “lubang besar” bagi kemungkinan masuknya pasukan musuh ke benteng pertahanan Islam. Parit yang dibangun berkeliling sebagai lubang pelindung bagi umat Islam di sisi dalam kota Madinah bagaikan menganga pada wilayah kekuasaan bani Quraidzah itu.
Sungguh, pengkhianatan bani Quraidzah merupakan titik rawan kejatuhan umat Islam secara keseluruhan.
Di tengah suasana mencekam tersebut, muncullah “sosok asing” bernama Nu’aim bin Mas’ud ini. Dia orang dari suku Ghatafan, yang memiliki hubungan baik dengan kaum Quraisy dan kaum Yahudi Quraidzah. Dia mendatangi Kanjeng Nabi SAW yang sedang berkumpul dengan para sahabat dekatnya dan mengenalkan diri.
“Aku adalah bagian dari suku Ghatafan. Sesungguhnya aku telah memeluk Islam, tetapi aku sengaja menyembunyikannya selama ini demi keamananku. Aku datang menghadap engkau untuk membantu memecah kebuntuan perang ini….”
Lalu Nu’aim bin Mas’ud menyampaikan sebuah taktik luar biasa dan Kanjeng Nabi SAW pun menyetujuinya. Maka diberangkatkanlah Nu’man bin Mas’ud menunaikan misinya.
Pertama kali, ia mendatangi bani Quraidzah. Kepada mereka, ia mengatakan begini: “Sesungguhnya kalian hanya sedang dimanfaatkan oleh kaum Quraisy. Mereka datang ke sini, sedangkan rumah dan tanah mereka bukan di sini. Jika kubu kalian kalah, maka mereka akan enak saja meninggalkan tanah ini, lalu tinggallah kalian sendirian yang akan dihukum dengan keras oleh pasukan Islam. Karena itu, berhati-hatilah kalian kepada mereka, juga dalam mengambil keputusan. Janganlah kalian mau maju ke medan perang jika kaum Quraisy tidak memberikan jaminan apa pun kepada kalian. Hendaknya kalian meminta jaminan berupa pimpinan mereka untuk bersama kalian….”
Seketika terguncanglah mental Ka’ab bin Asad.
Lalu Nu’aim bin Mas’ud mendatangi kubu Quraisy. Kepada Abu Sufyan bin Harb ia berkata, “Sesungguhnya kalian hanya sedang dimanfaatkan oleh bani Quraidzah untuk membalaskan dendam saudara-saudara mereka dari bani Qainuqa’ dan bani Nadhir. Bagi mereka, perang ini adalah masalah mempertahankan kekuasaan, tetapi bagi kalian tentu saja sama sekali bukan, yakni soal kepercayaan….”
Abu Sufyan bin Harb dan kaum Quraisy tercekat. Betul juga, betul sekali. Walaupun mereka memusuhi Kanjeng Nabi Muhammad SAW, tetapi bagaimanapun mereka tak punya urusan kekuasaan dan politik dengannya. Urusannya semata soal kepercayaan/agama.
Nu’aim bin Mas’ud lalu menandaskan, “karena itu, berhati-hatilah kalian kepada mereka, juga dalam mengambil keputusan. Janganlah kalian mau maju ke medan perang jika kaum Yahudi itu tidak memberikan jaminan apa pun kepada kalian. Hendaknya kalian meminta jaminan berupa pimpinan mereka untuk bersama kalian….”
Kaum Quraisy makin membenarkan tuturan Nu’aim bin Mas’ud. Lalu, ia mendatangi sukunya sendiri, Ghafatan, dan mengatakan hal yang sejenis. Mereka pun mempercayai peringatan tersebut.
Tepat di hari Sabtu, Abu Sufyan bin Harb mendatangi benteng Ka’ab bin Asad dan mengajaknya untuk melakukan serangan serentak.
Ka’ab bin Asad menukas, “Tidak, kami kaum Yahudi tidak melakukan peperangan di hari Sabtu, bahkan juga perdagangan. Dan, lain dari itu, kami meminta jaminan padamu bahwa kalian takkan pergi meninggalkan kami sendirian dalam keadaan apa pun.”
Abu Sufyan bin Harb mendengus keras: benarlah apa yang diperingatkan oleh Nu’aim bin Mas’ud. Ia berkata, “Justru kami yang ingin meminta jaminan kepada kalian. Bagaimanapun, kaum kalian adalah kaum yang dikenal suka berkhianat.”
Ka’ab bin Asad marah sekali dan dalam hati membenarkan peringatan yang telah dikatakan Nu’aim bin Mas’ud.
Walhasil, keduanya tak menemukan kata sepakat lagi. Pun tatkala Abu Sufyan bin Harb mendatangi kelompok Ghatafan, ia mendapatkan kenyataan serupa. Yakin benarlah ia kini bahwa koalisi ini sungguh palsu penuh kepura-puraan.
Pagi harinya kemudian, badai menerpa perkemahan para musuh tersebut. Tenda-tenda beterbangan, juga periuk-periuk, dan semua peralatan perang.
Abu Sufyan bin Harb menaiki ontanya, lalu berkata dengan lantang, “Aku akan pulang ke Mekkah. Kalian pulanglah semuanya, perang ini telah usai.” Sejurus kemudian, ia melesatkan ontanya pergi meninggalkan tanah perkemahan yang amat melelahkan dan penuh ketakpastian itu. Para pasukannya menyusul pergi, juga orang-orang dari kaum Ghatafan.
Perang Khandaq pun usai. Jasa Nu’aim bin Mas’ud dengan taktik jitunya sungguh luar biasa. Lalu tinggallah kini kaum Yahudi Quraidzah sendirian, dicekam ketakutan yang luar biasa membayangkan hukuman yang akan ditimpakan pasukan Islam atas pengkhianatan mereka.