Alkisah, suatu ketika Nabi SAW, memimpin majelis ilmu di Masjid Nabawi. Rumah ibadah itu penuh sesak oleh para sahabat yang dengan penuh perhatian menyimak ceramah Rasulullah SAW.
Tiba-tiba, datanglah Zaid bin San’ah melalui pintu masjid. Dia lantas meminta celah, agar bisa sampai ke shaf terdepan. Banyak kaum Muslimin di sana belum mengetahui siapa pria yang tampaknya sedang terburu-buru itu.
Bukannya langsung duduk, Zaid yang kini sudah di shaf terdepan justru berdiri tepat di belakang Kanjeng Nabi SAW. Dia lalu menarik kain serban Kanjeng Nabi SAW, yang melingkar di lehernya, sehingga beliau seketika tercekik.
Seluruh sahabat otomatis berdiri, seperti hendak menyerang pria asing ini. Umar bin Khattab yang berada dekat sekali dengan Kanjeng Nabi SAW, berkata, “Wahai Rasulullah, izinkanlah saya untuk memenggal kepala orang ini!” Umar menatap Zaid dengan wajah merah padam, menahan murka.
Kanjeng Nabi SAW, memberi isyarat dengan tangannya agar Umar dan seluruh hadirin tenang. Masih dalam keadaan tercekik, beliau lantas menoleh ke arah Zaid.
“Wahai Yahudi, ada apa?” Tanya Kanjeng Nabi SAW, tanpa mengungkapkan nama Zaid bin San’ah.
“Kau berutang padaku, Muhammad! Dan aku tahu, kalian ini orang Quraisy sangat suka menunda-nunda pembayaran utang,” Jawab Zaid bin San’ah.
“Bukankah belum tiba saatnya (tenggat waktu pembayaran)?” tanya Kanjeng Nabi SAW, lagi.
“Saya tidak peduli. Bayar utangmu sekarang juga!” Seru Zaid lagi, sembari melepas serban Kanjeng Nabi SAW.
Maka Rasulullah SAW berpaling kepada Umar dan berkata, “Wahai Umar, ambilkan dari Baitul Maal sebanyak 20 sha’ (sekira 40 kg) kurma untuk membayar utangku kepada Yahudi ini dan sebanyak 20 sha’ kurma lagi.”
“Wahai Rasulullah, 20 sha’ itu untuk utang engkau. Tetapi, 20 sha’ lagi untuk apa?” tanya Umar.
“Itu sebagai hukuman karena engkau telah menakut-nakuti dia,” jawab Nabi SAW.
Singkat cerita, Umar pun keluar dari masjid dan berjalan menuju Baitul Maal (kas negara). Dia diikuti oleh Zaid dari belakang.
Sepanjang perjalanan, Umar mencoba meredam kekesalan. Bagaimana mungkin seorang Yahudi bisa dengan pongahnya mencekik Kanjeng Nabi SAW, tepat di depannya? Ingin betul Umar melampiaskan amarahnya ke orang yang sedang berjalan di belakangnya itu.
Bagaimanapun, ketaatan Umar kepada Nabi SAW jauh lebih besar. Sampailah Umar dan Zaid di Baitul Maal. Sahabat bergelar al-Faruq itu lantas menyiapkan dua karung. Masing-masing akan diisi 20 sha’ kurma.
Karung pertama yang tuntas diisi lantas diberikannya kepada pria Yahudi itu. Sementara Umar sedang mengisi karung kedua, sang pencekik Kanjeng Nabi SAW, tadi mencegahnya.
“Wahai Umar. Tahanlah. Jangan kau masukkan kurma ke karung itu,” katanya.
Umar tidak peduli, “Aku hanya melaksanakan perintah Kanjeng Nabi SAW! Aku tidak ingin mendengarmu!”
“Wahai Umar, apakah kau tidak mengenal saya?” Tanya Zaid bin San’ah.
“Saya tidak peduli!” jawab Umar dengan ketus.
“Saya adalah Zaid bin San’ah” Zaid menimpali.
Mendengarnya, Umar seketika terkejut, kemudian berdiri menghadapnya. “Apakah benar kamu Zaid bin San’ah!? Zaid yang pendeta Yahudi, ahli Taurat?” tanya Umar setengah tak percaya.
“Benar. Akulah Zaid bin San’ah,” jawab si Yahudi dengan tenang.
“Kau! Bukankah kau tahu bahwa Muhammad adalah utusan Allah!?” tanya Umar lagi.
“Benar. Aku mengetahuinya. Tapi, coba engkau pikir, wahai Umar. Bagaimana mungkin aku nekat mencekik Kanjeng Nabi SAW, di depan kalian, umat Islam yang mengimaninya sebagai Nabi? Bahkan aku melakukannya seorang diri dan di dalam masjid kalian. Apa engkau pikir aku sudah gila?” ujar Zaid.
“Mengapa kau melakukannya?” tanya Umar.
“Sungguh, sebelum tadi aku datang ke masjid kalian, aku telah mendapati tanda-tanda kenabian pada diri Muhammad. Hampir seluruh tanda-tanda itu ada padanya. Hanya saja, masih ada satu tanda yang belum tampak jelas bagiku. Yakni, bahwa kasih sayangnya mengalahkan rasa amarahnya,” jelas Zaid.
“Maka dari itu, aku nekat melakukan hal tadi. Aku tahu, utang Muhammad belum jatuh tempo. Aku sengaja memancing emosi Muhammad dan kalian, para sahabatnya. Aku sudah bertekad mempertaruhkan nyawaku hanya untuk membuktikan kebenaran, adakah tanda kenabian yang terakhir itu pada diri Muhammad.”
“Dan kini aku percaya. Ternyata benar kasih sayang beliau mengalahkan marahnya. Maka saksikanlah, wahai Umar, asyhadu an laa ilaaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad rasulullah,” tegas Zaid bin San’ah.
Demikianlah, pendeta Yahudi itu akhirnya masuk Islam, dan menyedekahkan pelunasan hutang nabi kepada orang-orang fakir. Wallahu A’lam.
(Sumber bacaan: Aniisul Mu’minin, karya Syaikh Shafwak Sa’dallah al-Mukhtar)