Alkisah, suatu waktu Jabir bin Nuh sedang duduk di sebuah pasar di kota Madinah. Tak lama kemudian, lewatlah seorang Syaikh yang wajahnya bersinar dengan pakaiannya yang rapi. Melihat kedatangan sang syaikh, tiba-tiba ada seorang penjual berdiri dan mengucapkan salam kepadanya. Sebagaimana dikisah oleh Ibnu al-Jauzi dalam kitabnya Dzamm al-Hawa, si penjual itu pun berkata, “Wahai Abu Muhammad, kudoakan semoga Allah melimpahkanmu pahala yang banyak dan meneguhkan hatimu dengan kesabaran.”
Syaikh tersebut lalu berkata, “Amin. Memang, cinta yang sudah membara sangat sulit ditepiskan. Bahkan, hausnya cinta dapat membawa pada kematian.”
Si penjual pun kembali berkata, “Bersabarlah wahai Abu Muhammad. Sabar merupakan tongkat pegangan orang mukmin. Aku berharap semoga Allah mengganti musibah yang menimpamu dengan pahala yang tak terhingga.”
Didorong rasa penasaran, Jabir bin Nuh kemudian bertanya kepada si penjual, “Siapa Syaikh itu?”
Si penjual menjawab, “la seorang laki-laki Anshar dari suku Khazraj.”
Jabir bin Nuh yang masih penasaran kembali bertanya, “Musibah apa yang menimpanya?”
Si penjual kemudian bercerita, kalau Syaikh tersebut dulunya punya seorang anak laki-laki. Anaknya adalah seorang pemuda yang berbakti kepada orang tuanya. Segala kebutuhan orang tuanya pasti dipenuhinya. Sayangnya, sang anak meninggal dunia dengan kondisi yang mengenaskan.
Jabir bin Nuh pun semakin penasaran dan kembali bertanya, “Oh, apa gerangan yang menyebabkan kematiannya?”
Si penjual kemudian mulai berkisah, bahwasanya pada waktu itu ada seorang wanita Anshar yang jatuh hati kepada pemuda yang merupakan putra Syaikh tersebut. Si wanita aslinya sudah memiliki suami, namun dia mencintai pemuda tersebut. Wanita itu pun mengirim surat kepada pemuda yang dicintainya dengan mengungkapkan rasa cinta yang menyelimuti hatinya. Si wanita juga minta supaya pemuda tersebut menemuinya, bahkan wanita tersebut mengajaknya untuk bercumbu dengannya.
Mendapat kiriman surat yang isinya ajakan seperti itu, pemuda itu pun membalas surat tersebut dengan bahasa puitis namun tegas, “Haram adalah jalan yang takkan pernah kutempuh, dan takkan pernah kuanjurkan selama hidupku. Apa yang kamu impikan hanya akan berujung keputus-asaan. Carilah jalan kehinaan, tetapi jangan engkau libatkan diriku. Janganlah jadi orang bodoh dan pengikut setan. Aku akan tetap memelihara kehormatanku.”
Setelah membaca surat balasan tersebut, si wanita kembali menulis surat dengan bahasa yang puitis namun memaksa, “Penuhilah ajakanku wahai pemuda yang keras kepala. Tinggalkan segala nasihatmu, dan kemarilah dengan penuh cinta.”
Karena tetap bandel, pemuda itu akhirnya meminta pendapat sahabatnya. Si sahabat pun berkata, “Mungkin kamu perlu menyuruh salah seorang kerabat wanitamu untuk menasihati dan meluruskan keinginannya. Siapa tahu dengan cara seperti itu, wanita itu bisa berubah.”
Mendengar usulan sahabatnya, pemuda itu berkata, “Demi Allah, hal itu tidak bisa kulakukan. Aku tidak ingin menceritakan aib wanita itu kepada orang lain kecuali kepada dirimu.”
Si pemuda kemudian sengaja tidak membalas surat dari wanita yang sudah bersuami tersebut. Ternyata hal itu membuat si wanita tidak puas. la terpaksa mengirim surat lagi kepada pemuda, kali ini suratnya disertai dengan ancaman. Di dalam suratnya, wanita itu menulis, “Kamu tinggal pilih; kamu yang menemuiku atau aku yang menemuimu?”
Akhirnya, si pemuda dengan terpaksa membalas surat itu dengan menuliskan, “Kendalikan dirimu wahai wanita. Tinggalkanlah impianmu yang rendah itu.”
Membaca balasan dari pemuda yang dicintainya, si wanita pun mulai putus asa. Karena merasa usahanya telah menemui jalan buntu, ia kemudian pergi menemui wanita penyihir, dan minta tolong supaya pemuda itu dijampi-jampi. Si wanita penyihir pun mulai menjalankan tugasnya untuk menyihir atau menyantet pemuda tersebut.
Hingga pada suatu malam, saat si pemuda sedang duduk santai bersama ayahnya. Tiba-tiba di hatinya terlintas rasa rindu begitu dalam kepada wanita yang mengajaknya untuk bercumbu. Hatinya bergemuruh dilanda rasa kangen tak terkira. Ia kemudian segera bangkit dari sisi sang ayah, dan langsung menunaikan shalat. Dia kemudian berdo’a kepada Allah swt. sambil menangis sejadi-jadinya supaya dijauhkan dari kerinduan yang tak menentu itu. Sayang sekali, rindu yang dipendamnya justru semakin bergelora.
Melihat sikap sang anak berubah, ayahnya pun bertanya, “Apa yang terjadi denganmu, Nak?”
Sang anak menjawab, “Ayah,,, mohon ikatlah aku! Sepertinya pikiranku sudah tak waras lagi.” Mendengar permintaan dari anaknya, sang ayah menangis, dan kembali bertanya kepada anaknya, “Ada apa sebenarnya, anakku. Coba ceritakan kepadaku.”
Sang anak kemudian menceritakan kisah yang sebenarnya kepada sang ayah. Karena sang anak terus mendesak untuk diikat, akhirnya dengan berat hati, sang ayah bangkit dari duduknya dan mengambil tali. Setelah itu, anaknya diikat dan dimasukkan ke dalam kamar. Tidak berselang lama, tiba-tiba sang anak meronta-ronta dan menderum seperti suara sapi. Setelah dilihat, ternyata anaknya sudah tidak bergerak lagi. Dia meninggal dunia dengan kedua hidungnya mengucurkan darah.
Cinta terkadang membuat manusia gila dan hilang akal, apalagi saat nafsu sudah ikut campur di dalamnya. Segala cara akan dilakukan untuk memuaskan nafsu yang ada di dalam diri manusia, dan tidak peduli yang dilakukannya itu benar atau salah. Sebagaimana kisah di atas, seorang wanita yang sudah bersuami namun mencintai seorang pemuda. Karena cintanya ditolak, wanita itu pun menyantetnya hingga meninggal dunia.