Ismail tumbuh dan mempelajari bahasa Arab. Ia tumbuh sebagai sosok pemuda yang baik mewarisi sifat ayahnya. Ia juga mengadopsi moral-moral orang Arab yang baik. Dari mereka ia belajar kedermawanan, menyenangkan orang lain, berani dan bersikap ksatria.
Bersama ayahnya Nabi Ibrahim, Ismail diperintah membangun Ka’bah sebagai lambang Tauhid. Mereka saling bekerja sama dan tentu dengan kerja keras juga. Mengumpulkan batu-batu, membangun fondasi, mengumpulkan pasir dan segala hal mereka kerjakan dengan ketekunan.
Setiap harinya mereka bangun satu baris demi satu baris hingga mencapai ketinggian delapan meter. Hingga menjulang menjadi tinggi dan bisa dijadikan untuk berkumpul orang-orang.
Bangunan Ka’bah mempunyai dua pintu, satu menghadap timur, satu lagi menghadap barat. Ibrahim mengumpulkan tanaman-tanaman berbau harum dan menggantungkan di pintu Ka’bah. Hajar datang dan memberikan kain untuk menutup Ka’bah.
Sempurnalah bangunan Ka’bah yang mereka bangun. Setelah rampung, mereka berdua menyerukan orang-orang untuk berhaji ke Baitullah. Sebagai umat Islam, tentu harapannya adalah bisa menyempurnakan rukun islam, yakni dengan berhaji ke Mekkah. Meneledani kisah-kisah Nabi ketika berhaji dan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan terhadap Allah.
Kelak, di kemudian hari, Ka’bah menjadi, menjadi pusat bagi agama islam. Tempat jutaan umat muslim sedunia bersujud dan menyerahkan diri kepada sang pencipta, Allah Subahanahu wa ta’ala. []
Disarikan dari “The Greatest Stories of Al-Qur’an” karya Syekh Kamal As Sayyid