Abd al-ʽAzīz al-Badrī dalam bukunya yang berjudul “al-Islām baina al-ʽUlamā’ wa al-Ḥukkām” menulis beberapa hal menarik berkaitan dengan hubungan antara ulama dan penguasa pada masa Bani Umayyah dan Abbasiyah, yaitu para ulama yang menasehati penguasa atau para penguasa yang meminta pendapat kepada para ulama.
Pendapat ini didasarkan pada kaul Alī ibn Abī Ṭālib yang menyatakan:
فطوبى لذي قلب سليم أطاع من يهديه وتجنب من يرديه وأصاب السلامة ببصر من بصره وطاعة هاد أمره
“Alangkah beruntungnya orang yang memiliki hati yang selamat, dengan menaati orang yang dapat memberinya petunjuk, menjauhi orang yang dapat merusaknya, ia selamat karena penglihatan orang yang memberitahunya dan taat kepada orang yang memberinya petunjuk.”
Hal ini pernah dilakukan oleh Imam Mālik ibn Anas ketika memberikan nasehat kepada Khalifah Hārūn al-Rasyīd. Saat itu, Imam Mālik menulis sebuah surat yang berisi nasehat-nasehatnya kepada sang Khalifah. Beberapa di antara nasehatnya adalah mengingatkan khalifah agar ingat mati dan balasan-balasan Allah saat berada di akhirat nanti, himbaun untuk bermusyawarah atas setiap hal yang akan diputuskan dan beberapa hal lain.
Namun dalam beberapa hal, terkadang hubungan ulama dengan penguasa juga terjadi pasang surut. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan atara ulama dan penguasa pada masa Dinasti Umayyah dan Abbasiyah memang tidak selamanya harmonis, terkadang di suatu masa terjadi ketegangan, terkadangan di masa lain juga harmonis.
Ini mendukung pernyataan Azra bahwa memang ada sisi ambivalensi dalam hubungan antara ulama dan penguasa. Walaupun pernyataan Azra tersebut lebih dikhususkan pada ulama sunni, tapi hal ini juga berlaku pada semua aliran sekte atau mazhab. Tidak hanya sunni, tapi juga mazhab yang lain, tergantung kepada siapa penguasa pada saat itu.
Wallahu a’lam.