Deklarasi Pembubaran JI di Solo: Melihat Pergeseran Pemahaman Petinggi Jamaah Islamiyah

Deklarasi Pembubaran JI di Solo: Melihat Pergeseran Pemahaman Petinggi Jamaah Islamiyah

Deklarasi Pembubaran JI di Solo: Melihat Pergeseran Pemahaman Petinggi Jamaah Islamiyah
Spanduk kegiatan Deklrasi Pembubaran JI Surakarta (Dokumentasi oleh Unaesah Rahmah)

Deklarasi pembubaran Jamaah Islamiyah (JI) di Solo pada Sabtu lalu, 21 Desember 2024, mengingatkan saya pada karya yang ditulis Jeffrey Alan Hadler (1968-2017), sejarawan lulusan Universitas Cornell. Tahun 2008, Hadler menerbitkan buku berjudul Muslim anad Matriachs: Cultural Resilience in Indonesia through Jihad and Colonialism. Dua tahun setelahnya, Freedom Institute menerbitkan terjemahan buku ini dengan judul, Sengketa Tiada Putus: Matriarkat, Reformisme Agama, dan Kolonialisme di Minangkabau.

Buku ini menceritakan bagaimana proses perubahan pikiran Imam Bonjol, pimpinan Padri yang dikenal keras terhadap kaum adat. Sebagian orang menyebut gerakan Padri sebagai akar wahabisme di Nusantara, sekalipun bukti dan argumennya perlu dipertimbangkan ulang. Hadler menemukan di akhir hayatnya, Imam Bonjol mengalami perubahan pemikiran, terutama setelah dia mengirim beberapa muridnya untuk pergi belajar ke Mekah. Mereka mengabarkan kalau gerakan wahabisme yang ada di Mekah sudah banyak berubah dan tidak seperti yang dibayangkan Imam Bonjol.

Informasi itu membuat Imam Bonjol berpikir ulang: jangan-jangan model gerakan yang dia jalankan tidak tepat atau tidak sesuai dengan model gerakan yang dia bayangkan. Imam Bonjol butuh berhari-hari untuk memikirkan ini, hingga pada akhirnya dia memutuskan untuk mengganti strategi dan berkoalisi dengan kaum adat untuk melawan penjajahan Belanda.

Dari kisah ini, Hadler menarik kesimpulan pada akhirnya konflik sosial akan diselesaikan oleh internal orang yang terlibat dalam konflik itu sendiri, sehingga tidak perlu campur tangan orang luar untuk menyelesaikannya. Kesimpulan ini sebetulnya dia tujukan sebagai kritik terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang kerap kali mencampuri urusan negara orang lain, alih-alih menghasilkan hasil yang bagus, yang terjadi malah makin kacau dan makin rusak.

Perubahan yang terjadi pada Jamaah Islamiyah hari ini, menurut saya, kurang lebih tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada gerakan Padri puluhan ratusan tahun lalu. Seperti halnya Imam Bonjol, Jamaah Islamiyah membubarkan diri karena perunangan, pergulatan pemikiran, kajian yang dilakukan oleh petingginya. Tidak ada paksaan dari pihak mana pun, termasuk dari kepolisian atau Densus 88.

Hasil dari pikiran panjang itu, diwujudkan dalam bentuk deklarasi pembubaran oleh 16 petinggi JI pada 30 Juni 2024. Deklrasi ini mengagetkan banyak pihak, ada yang percaya dan tidak sedikit pula yang curiga. Kadensus 88 Sentot Prasetyo kaget dan sekaligus bahagia (shockingly happy) ketika mendengar keputusan ini.

“Kami terkejut bukan karena tidak menduga hal ini bisa terjadi, tetapi lebih kepada bagaimana cepat dan tuntasnya keputusan ini diambil, terutama oleh internal JI sendiri,” Tulis Sentot Prasetyo dalam buku JI: The Untold Story.

Deklarasi ini kemudian dilakukan di berbagai wilayah, diikuti oleh ribuan peserta dari anggota Jamaah Islamiyah. Deklarasi ini juga dibarengi dengan penyerahan senjata dari JI kepada kepolisian dan pemulangan anggota JI yang masih berada di Suriah dan Filipina. Menurut Kadensus 88, Sentot Prasetyo, deklrasi yang diadakan di Surkarta ini dihadiri sekitar 1400 mantan anggota Jamaah Islamiyah dan 7000 peserta daring dari 34 daerah.

Sebagian peserta yang hadir kegiatan ini menggunakan baju batik dan peci hitam. Sementara narasumbernya, baju putih dan celana hitam: ada yang pakai peci hitam, dan juga putih. Suasana diskusi berjalanan lancar, hangat, dan akrab. Acara juga dibarengi dengan pertunjukkan musik Nasyid. Ketika waktu shalat tiba, peserta shalat berjamaah, karena ruangan shalatnya tidak mencukupi, panggung acara pun dijadikan tempat shalat berjamaah.

Perubahan Pemahaman Petinggi Jamaah Islamiyah

Kegiatan Deklarasi Pembubaran Jamaah Islamiyah di Solo merupakan akhir dari rangkaian kegiatan yang sudah dilakukan sebelumnya. Informasi yang saya terima, kegiatan ini sudah dimulai sejak jam 7 Pagi dan selesai jam 5 Sore. Kegiatan dimulai dengan diskusi, menghadirkan narasumber dari tokoh agama Jamaaah Islamiyah, kemudian ditutup dengan deklrasi dan sekaligus sambutan dari perwakilan pemerintah, seperti kepolisian, BNPT, Kementerian Agama, Kementerian Sosial, dan seterusnya. Kehadiran perwakilan pemerintah ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa jika Jamaah Islamiyah sudah bersedia kembali kepada NKRI, maka pemerintah Indonesia juga siap untuk menerima mereka kembali sebagai warga negara.

Deklarasi dibacakan serentak, seluruh peserta yang hadir menyatakan, “Kami eks anggota Jamaah Islamiyah, sekaligus eks Jihad Afghan dan Moro, menyatakan dan mendukung sami’na wa atha’na terhadap pembubaran Jamaah Islamiyah. Kedua, siap kembali ke pangkuan NKRI dan terlibat aktif mengisi kemerdekaan serta menjauhkan diri dari pemahaman dan kelompok ekstrim. Ketiga, siap mengikuti peraturan hukum yang berlaku di NKRI, serta berkomitmen dan konsisten untuk menjalankan hal-hal yang merupakan konsekuensi logisnya.”

Saya merasakan suasana deklrasi ini seperti pertemuan anak yang sudah lama berpisah dengan kedua orang tua kandungnya. Tidak sedikit pula peserta yang saya lihat matanya berkaca-kaca ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia disebut. Penyesalan pun beberapa kali diutarakan oleh narasumber perwakilan Jamaah Islamiyah. Mereka mengakui bahwa ada beberapa hal yang mereka pahami sebelumnya, setelah didalami dan dipelajari lebih dalam, ternyata pemahamanya salah dan keliru.

Salah seorang Ustadz yang menjadi narasumber mengakui kesalahannya dalam memahami konsep amar ma’ruf dan nahi munkar. Dia menyatakan, “Setelah saya banyak berguru, belajar, dan baca buku, saya menemukan apa yang dulu saya anggap munkar, ternyata itu tidak disepakati kemungkarannya oleh para ulama, ternyata itu masih wilayah ijtihad. Perkara yang masuk dalam wilayah ijtihad, para ulama mewariskan kaidah, la inkara fil masail al-ijtihadiyyah.”

Jika dulu Jamaah Islamiyah tidak toleran terhadap masalah khilafiyyah dan memukul rata semua persoalan agama sebagai sesuatu yang ushuliyyah, tidak membedakan mana yang masuk wilayah ijtihadiyyah dan mana yang ushuliyyah, dalam bahasa yang lain, tidak memilah mana yang tsawabit (tetap) dan mana yang muthagayyirat (berubah), sekarang mereka lebih terbuka dengan setiap perbedaan pendapat di dalam Islam.

Ustadz tersebut menegaskan, kita harus melihat dulu apakah kemungkaran yang ada di sekitar kita masuk dalam perkara yang disepakati para ulama sebagai kemungkaran atau tidak. Sekalipun masalah itu sudah disepakati para ulama tentang kemungkaran, cara mengingkarinya pun harus mengikuti cara yang sudah diwariskan para ulama, tidak menggunakan cara yang berlebihan, dan mengikuti pendekatan Ahlussunnah wal Jamaah.

“Penilaian kita yang kemaren itu mari kita benahi, apakah sesuai dengan yang diwariskan para ulama atau tidak. Secara prinsip kita tidak berubah, kemungkaran itu tetap harus diingkari. Tetapi caranya mungkin, kemaren-kemaren kita agak berlebihan, sekarang kita kembali kepada cara Ahlussunnah wal Jama’ah,” Jelas Ustadz yang memakai peci hitam dililit kain merah-putih.

Contoh jelasnya, masalah demokrasi, apakah sistem kufur atau tidak, apakah bertentangan dengan Islam atau tidak. Menurut salah satu Narasumber, yang juga mantan anggota Jamaah Islamiyyah, ulama kontemporer berbeda pendapat dalam hal ini, ada yang menyatakan bertentangan dengan Islam dan ada yang tidak. Artinya, ini masuk dalam perkara yang mukhtalaf fih, masih diperdebatan. Kalau ditanya pandangan pribadinya, narasumber mengatakan, “Saya lebih setuju dengan ulama kontemporer yang mengatakan demokrasi sistem kafir, tetapi keyakinan kita bahwa demokrasi itu sistem kafir, tidak boleh menafikan adanya pendapat fuqaha yang menyatakan demokrasi itu tidak bertentangan dengan Islam.”

Begitu pula dengan menyikapi turunan-turunan dari demokrasi, seperti partai politik, pemilu, dan seterusnya, ulama juga berbeda pendapat, perdebatannya lebih panjang. Demokrasinya saja diperdebatkan, apalagi turunannya. Ustadz yang menjadi narasumber menegaskan, “Yang penting kita harus mampu mendudukan mana yang mujma’ alaihi (disepakati) dan mana yang mukhtalaf fih (diperdebatkan). Tidak boleh mengkafiri orang yang mengikuti pendapat ulama yang berbeda dengan kita.”

Perubahan pemikiran ini menarik diperhatikan. Pergeseran dari yang awalnya tidak mau menerima perbedaan menjadi lebih terbuka terhadap pemahaman yang berbeda merupakan satu hal yang penting untuk dipelajari lebih lanjut. Tantangan berikutnya adalah bagaimana petinggi Jamaah Islamiyah menurunkan konsep-konsep itu kepada para anggotanya. Ini tentu bukan sesuatu yang mudah.

Merujuk pada perjalanan organisasi Islam besar di Indonesia, seperti Nadhlatul Ulama, membutuhkan waktu panjang agar warga Nadhlatul Ulama betul-betul terbuka terhadap perbedaan pendapat, toleran terhadap keyakinan yang berbeda, dan menyadari sepenuhnya relasi antara warga negara dan negara.

Hari ini kita melihat perubahan drastis terjadi di kalangan petinggi Jamaah Islamiyah, tetapi pertanyaan selanjutnya adalah apakah pikiran-pikiran itu akan diterima dengan mudah dan dipraktikkan oleh mantan anggota Jamaah Islamiyah di kalangan akar rumput?