Siapa yang tak kenal Adolf Hitler, Joseph Stalin, dan Pak Harto. Hitler dan Stalin adalah orang yang paling dibenci oleh seluruh warga Eropa. Bagaimana tidak, bayangkan saja, selain mereka adalah biang keladi meletusnya Perang Dunia Kedua, yang membuat dunia ini kacau balau, Hitler dan Stalin adalah pelaku genosida yang paling bengis sepanjang sejarah homo sapiens.
Hitler melakukan propaganda kebencian dan aksi pemusnahan massal kaum Yahudi di Eropa. Barang siapa yang bernasib apes karena ditakdirkan lahir dari keluarga Yahudi, maka ia harus siap-siap di-Kamp-kan oleh Hitler dan tentara fasisnya. Di-Kamp-kan adalah sebutan untuk metode penyiksaan dan pembunuhan massal dengan memasukkan orang-orang Yahudi ke dalam sebuah ruangan yang diberikan gas pembunuh.
Begitu pula Stalin, ia sama bengisnya dengan Hitler. Stalin, menjabat sebagai ketua polit biro Partai Komunis Uni Soviet (PKUS), menggantikan Vladimir Lenin yang buru-buru mati sebelum program Revolusi Bolsheviknya terlaksana. Ada yang menyebut bahwa Revolusi Bolshevik gagal gara-gara Stalin. Ia tak patuh dengan rencana revolusi yang digariskan Lenin.
Kembali ke kebengisan Stalin. Stalin orangnya sangat licik dan kejam. Bagaimana tidak licik dan kejam, ia membunuh sesama kamerad revolusionernya. Kabarnya Leon Trotsky dan sekeluarganya diclurit secara membabi buta. Belum sampai di situ saja kebengisan Stalin. Ia berlaku seenak dan semaunya menuduh orang-orang yang tidak sejalan garis kebijakannya sebagai ‘kaum kontra revolusi’. Dan barang siapa yang sudah mengantongi label sebagai ‘kaum kontra revolusi’. Tanpa ba bi bu ia harus siap-siap untuk diangkut oleh Tentara Merah untuk di-Gulag-kan di Siberia.
Siapa yang tidak takut Siberia. Tempat padang es yang dinginnya naudzubillah min dzalik itu. Di Siberia, sepanjang mata memandang yang tampak hanyalah salju belaka. Dan cuaca Siberia konon katanya mencapai minus 17 derajat celcius. Jika tidak kuat-kuat, orang-orang yang punya gelar mulia sebagai ‘kaum kontra revolusi’ akan mati kedinginan seketika. Dan jumlah korban kekejajaman Stalin tak main-main, mencapai 40 juta manusia. Gila bukan?
Selanjutnya adalah Pak Harto. Pasti anda semua sudah mengenalnya. Setidaknya anda kenal bapak pembangunan (sekaligus bapak penggusuran) ini dari bokong truk: Piye le, penak jamanku tho?. Bagaimana tidak enak, jaman Pak Harto orang bisa hilang dan tidak tau nasibnya jika punya pandangan yang mengganggu keamanan dan ketertiban keluarga Cendana.
Tiga tokoh di atas memiliki satu kesamaan: yaitu otoriter. Sebagaimana tabiat para despot yang otoriter, walaupun mereka adalah orang-orang gagah yang punya meriam dan pasukan tentara ratusan hingga ribuan kompi di barak. Ada satu hal sepele yang membuat mereka takut bukan main: yaitu orang yang mempunyai pikiran waras.
Zaman Hitler, orang yang memiliki pandangan yang berbeda dengan garis kebijakan sang fuhrer, ia harus siap-siap dituduh sebagai antek Yahudi yang harus di-Kamp-kan di Auschwitz.
Begitu pula zaman Stalin. Di Rusia, barang siapa yang sedikit saja kurang cocok dengan garis partainya Stalin, ia harus siap-siap dicap sebagai ‘kaum kontra revolusi’. Dan jika stampel sial itu sudah melekat. Maka udara dingin Siberia sudah siap menantinya.
Kalau Pak Harto sedikit berbeda. Beliau orangnya sedikit malu-malu, barangkali karena beliau masih sangat menjunjung tinggi nilai budaya ningrat Jawa. Maka ia tidak bisa terang-terangan jika kurang sreg dengan orang lain. Pak Harto sukanya main belakang. Barang siapa yang berani berbicara lantang tak setuju dengan kebijakan Pak Harto, walaupun siang hari ia masih bisa tertawa dan main rasan-rasan. Malam harinya ia akan hilang dan tidak akan pulang lagi, seperti Wiji Thukul.
Baiklah, tiga kisah tokoh-tokoh gagah yang takut dengan orang yang punya pikiran waras di atas adalah kisah dari abad sebelumnya. Kalau zaman ini, abad 21, yang oleh Rheinald Kasali disebut-sebut sebagai era disrupsi, negara dengan penguasa yang zalim dan otoriter sudah lumyan tidak se-gila kisah-kisah di atas itu.
Akan tetapi, di zaman ini walaupun selamat dari kebengisan penguasa otoriter, dunia tetap tidak dalam keadaan baik-baik saja. Zaman ini selain disebut-sebut sebagai era disrupsi dan era revolusi industri 4.0 dengan masifnya bisnis start-up, juga terkenal dan dipercaya sebagai era “kebangkitan agama-agama”.
Akan tetapi, kebangkitan agama-agama ini berbeda dengan kebangkitan agama di abad-abad yang sebelumnya. Dulu, ketika nabi Muhammad Saw pada abad ke-7 masehi membawa cahaya terang yang membebaskan peradaban dari belenggu kejahiliyahan kaum kafir quraisy. Di masa itu, kaum perempuan dinaikkan derajatnya, kaum miskin disantuni, dan kaum budak dimerdekakan.
Di abad ini, kebangkitannya berbeda dan sangat menakutkan. Wajahnya tidak seteduh saat dibawa nabi Muhammad Saw. Saat ini kebangkitannya berwajah menakutkan. Orang-orang non muslim ketakutan dengannya. Padahal dulu nabi melindungi kaum Yahudi dan Nasrani di Madinah.
Kebangkitan agama di abad ini, alih-alih mengklaim mengikuti jejak nabi. Ia malah berwajah sebaliknya, tidak ramah dan tidak pula mencerahkan. Ia tampak sangat menakutkan. Ia malah berlaku di bawah bayang-bayang tabiat para penguasa otoriter yang sudah kita kisahkan dengan pilu di atas. Ia berlaku sama takutnya dengan orang-orang yang punya pikiran yang waras. Bahkan, lebih remeh lagi. Ia takut dengan komedi. Wallahhu a’lam.
M. Fakhru Riza, Penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.