Kisah Islami: Melihat Kesempurnaan Akhlak Rasulullah SAW dalam Semangkuk Anggur

Kisah Islami: Melihat Kesempurnaan Akhlak Rasulullah SAW dalam Semangkuk Anggur

Kisah Islami: Melihat Kesempurnaan Akhlak Rasulullah SAW dalam Semangkuk Anggur

Seorang lelaki miskin datang dari desa membawa semangkuk penuh buah anggur yang hendak dihadiahkan kepada Rasulullah SAW. Lelaki miskin itu sangat antusias memberikan hadiah untuk Nabi Muhammad. Ketika ia sudah berjumpa dengan Rasul, ia mengatakan,

Wahai Rasulullah, terimalah hadiah kecil ini dariku.”

Rasulullah kemudian mengambil mangkuk berisi anggur tersebut, lantas memakannya. Beliau memakan satu butir buah anggur kemudian tersenyum, diikuti buah kedua, dan beliau tetap tersenyum.

Syahdan, melihat senyum di wajah Nabi, lelaki miskin itu terlihat begitu bahagia. Ia senang melihat anggur yang disimpannya itu dinikmati oleh Rasulullah.

Rasulullah saat itu tidak sendirian, beliau bersama para sahabat. Namun Rasulullah tidak membagi buah anggur itu kepada para sahabat. Padahal biasanya Rasulullah SAW selalu berbagi makanan yang dimiliki. Hal itu sontak membuat sahabat merasa heran.

Nabi, satu per satu, melahap sendiri buah anggur tersebut sampai tak terasa semangkuk yang mulanya penuh dengan anggur itu habis. Tanpa mempedulikan kebingungan para sahabat, lelaki miskin itu memasang wajah girang karena hadiahnya habis dimakan Rasulullah.

Kemudian, ia berpamitan kepada Rasulullah.

Setelah itu, salah seorang sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, mengapa Anda tidak mengajak kami menyantap anggur itu bersamamu?

Maka Rasulullah SAW tersenyum dan berkata:

Tidakkah kalian lihat betapa bahagianya ia dengan mangkuk (anggur) itu? Ketahuilah ketika aku memakannya, anggur itu terasa asam. Maka aku khawatir apabila aku membaginya kepada kalian, maka kalian akan menampakkan reaksi yang akan merusak kebahagiaannya“.

Kisah inilah yang membuat para sahabat merasa takjub dan memetik pelajaran berharga.

Begitulah akhlak mulia Nabi Muhammad SAW. Kisah tersebut melahirkan hikmah-hikmah yang bisa kita petik. Pertama, menjadi Muslim berarti menjadi pribadi yang bisa menghargai perbuatan baik orang lain. Walaupun tidak sesuai yang kita inginkan, misalnya, kita perlu mengapresiasi niat baik yang ia punya.

Kedua, jangan pernah mencela makanan. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, diterangkan bahwa Rasulullah tidak pernah satu kali pun mencerca makanan. Jika suka, beliau akan memakannya. Bila tidak suka, sajian itu tidak dicicipinya.

Nabi pun mengonsumsi apa saja yang disediakan untuknya selama itu halal dan baik. Dalam sebuah riwayat, Jabir berkata,

Rasulullah SAW pernah menanyakan lauk pauk kepada keluarganya, tetapi mereka menjawab, ‘Kami hanya mempunyai cuka.’ Lantas, beliau memintanya dan makan dengannya seraya bersabda, ‘Lauk yang paling lezat adalah cuka, lauk yang paling lezat adalah cuka.’

Imam Nawawi dalam Riyadh ash-Shalihin mengatakan bahwa mencela makanan merupakan tanda kesombongan dan kemewahan. Seorang Muslim tentunya harus menghindari sifat angkuh. Salah satu tanda syukur kita kepada Allah adalah dengan menikmati hidangan apa adanya dan sewajarnya.

Ketiga, menjaga martabat sesama umat Muslim. Dalam sirah di atas, Rasulullah memakan semua anggur masam itu bukan lantaran tamak atau rakus. Beliau hanya ingin mencegah para sahabat untuk menunjukkan wajah tidak suka terhadap anggur pemberian itu.

Bayangkan bila beberapa orang mencicipi buah tersebut lalu secara refleks menampilkan kesan tidak suka. Tentu, si pemberi tidak hanya akan merasa heran. Boleh jadi, harga dirinya akan tersinggung. Dalam pikirannya, orang-orang akan mengira dirinya sengaja memberikan hadiah yang jelek kepada sosok semulia Nabi.

Kisah tersebut juga menunjukkan bahwa dakwah bukan hanya sekedar melalui lisan, namun juga perbuatan. Banyak orang terlena dengan dakwah lisan. “Mentang-mentang” ia sudah memiliki jam’ah dan suaranya didengar, ia lalu menyampaikan sesuatu sesuai dengan hawa nafsunya.

Forum yang ia pikir dakwah itu, berubah menjadi lahan gunjingan, menebar kebencian, bahkan fitnah. Hal ini juga bisa menjadi patokan kita dalam mencari guru yang baik. Bukanlah ia yang gemar bercakap dan mengajari orang kita sebut sebagai guru yang baik. Melainkan ia yang santun bersikap dan memberi suri tauladan.