Dikisahkan oleh Ghiyats bin Yazid dari cerita Az-zuhri yang terdapat dalam kitab ‘Uyun al-Hikayat min Qashash ash-Shalihin wa Nawadir az-Zahidin karya Ibnu al-Jauzi, terdapat sebuah kisah tentang etika ulama dan umara. Pada suatu hari, Ibrahim bin Hisyam berkata kepada Az-Zuhri, ”Apakah di sini ada seseorang yang pernah bertemu dengan generasi salaf? Kami ingin mendengarkan nasihat darinya‘.’
Ibrahim bin Hisyam adalah salah seorang pejabat pada masa Dinasti Umayyah, tepatnya yaitu menjadi Gubernur Madinah, Makkah dan Thaif pada masa Khalifah Hisyam ibn Abdul Malik. Dan saat itu beliau ingin mendengar nasihat orang yang pernah bertemu dengan generasi salaf.
Az-Zuhri yang selalu menyertai Ibrahim bin Hisyam pada saat dia berkuasa, sekaligus menjadi pendidik, penasihat dan pemberi pertimbangan kepadanya, lalu menjawab, ”Ada, yaitu Abu Hazim al-A’raj, sahabat Abu Hurairah.”
Ibrahim bin Hisyam pun menyuruhnya untuk mengundang Abu Hazim, hingga akhirnya Abu Hazim memenuhi undangannya.
Setelah Abu Hazim datang, Ibrahim bin Hisyam pun langsung bertanya kepadanya, ”Bagaimana agar kita bisa selamat dari apa yang saat ini kita sedang berada di dalamnya? siapakah yang sanggup melakukan hal itu?”
Abu Hazim yang mendengar perkataan Ibrahim bin Hisyam lalu menjawab, ”Jika engkau menginginkan dari dunia sesuai dengan kadar yang mencukupi bagimu, maka hal paling sedikit dari dunia sebenarnya sudah cukup bagimu. Jika di dalam dunia ini tidak ada sesuatu yang bisa membuatmu merasa cukup, maka di dalamnya tidak ada suatu apa pun yang akan bisa membuatmu kaya.”
Belum puas, Ibrahim bin Hisyam kembali bertanya, “Kenapa kita takut mati?”
Abu Hazim pun menjawab, ”Hal itu karena engkau menjadikan kesenanganmu di pelupuk matamu, sehingga engkau tidak ingin meninggalkannya. Seandainya engkau meletakkannya di depanmu, niscaya engkau ingin segera mengejar dan meraihnya.”
Az-Zuhri yang menyaksikan petuah-petuah Abu Hazim lalu berkata kepada Ibrahim bin Hisyam, ”Wahai Amir, demi Allah, saya belum pernah mendengar kata-kata yang lebih baik dan lebih tepat dari itu! dia itu adalah tetanggaku sejak sekian tahun, tapi saya tidak mengenalnya dengan baik.”
Mendapat pujian dari Az-Zuhri, Abu Hazim lalu berkata, “Tentu saja wahai Ibnu Syihab, seandainya saya termasuk orang berharta, niscaya engkau rajin duduk bersamaku dan mengenalku dengan baik.”
Az-Zuhri yang merasa tersindir kemudian berkata, ”Apakah engkau menyindirku wahai Abu Hazim?”
Mendengar pertanyaan Az-Zuhri, Abu Hazim menjawab dengan tegas, “Benar, dan masih ada yang lebih keras lagi dari itu. Dulu, ketika seseorang berilmu, maka dia merasa cukup dengan ilmunya dan tidak membutuhkan yang lain. Dulu, para umara lah yang mendatangi para ulama dan mencari pencerahan dari mereka. Hal itu sangat positif, dan baik bagi kedua belah pihak, para penguasa dan rakyat. Adapun ketika kalian para ulama justru yang mendatangi umara, maka mereka tidak lagi mencari pencerahan dari kalian dan mereka para umara akan berfikir bahwa para ulama mendatangi dan mengagungkan mereka, karena di dunia ini tidak ada yang lebih utama dari para umara. Kondisi seperti itu adalah bencana bagi kedua belah pihak, para penguasa dan rakyat”
Ibrahim bin Hisyam tiba-tiba berkata, ”Wahai Abu Hazim, silahkan sampaikan kebutuhanmu kepada kami.”
Mendapat pertanyaan seperti itu, Abu Hazim pun menjawab, ”Amit-amit, tidak mungkin itu terjadi! Saya telah menyampaikan semua kebutuhan saya kepada Dia sang pemilik langit dan bumi. Apa yang Dia berikan kepadaku, maka saya terima. Dan apa yang tidak Dia berikan, maka saya menerima dengan penuh lapang dada. Saya punya dua macam harta yang saya tidak akan mencari gantinya, ridha kepada Allah dan kezuhudan.”
“Wahai Abu Hazim, datanglah kepada kami. Jika engkau tidak mau datang kepada kami, maka kami akan mendatangimu.”kata Ibrahim bin Hisyam.
Mendengar ucapan Ibrahim bin Hisyam, Abu Hazim lalu berkata, ”Tolong, biarkan saya dan rumah saya, karena rumah saya sudah cukup bagi saya. Silahkan engkau berbuat untuk dirimu sendiri, semoga engkau selamat.”
Hendaknya seorang pemimpin sebagai umara menyadari posisinya yang berada di bawah ulama. Sehingga seorang pemimpinlah yang seharusnya mendatangi ulama dengan penuh keikhlasan hati, bukan sebaliknya, ulama mendatangi umara. Apalagi hanya mendatangi para ulama saat ada perlunya, dan menjauh jika sudah mendapatkan keperluan tersebut.