Benarkah Ulama Harus Menjauhi Pemerintah?

Benarkah Ulama Harus Menjauhi Pemerintah?

Benarkah Ulama Harus Menjauhi Pemerintah?

Akhir-akhir ini banyak komentar nyinyir yang ditujukan kepada para ulama yang dekat dengan penguasa. Kemesraan ulama-umara yang terbangun dianggap sebagai bukti sahih untuk mempertanyakan kredibilitas mereka sebagai ulama. Ujung-ujungnya adalah menyerang pemerintah sebagai penguasa lalim yang tak patut untuk ditaati.

Dalam perjalanan sejarah, sebenarnya banyak penguasa besar yang justru berasal dari kalangan ulama. Khulafa’ rasyidin semuanya adalah ulama sekaligus umara. Pada masa mereka semua gubernur diambil dari para ulama. Begitu pula Muawiyyah bin Abi Sufyan, Abdul Malik bin Marwan, Umar bin Abdul Aziz, Abu Ja’far AL-Manshur, Harun Ar-Rasyid adalah ulama.

Di Indonesia sendiri para raja jaman dulu juga banyak yang merupakan ulama. Sebut saja misalnya Sultan Abdul Fattah (Raden Fattah) dan Sultan Trenggono dari kerajaan Demak murid langsung dari walisongo. Ki Ageng Pemanahan dan Joko Tingkir murid dari Sunan Kalijogo, Sultan Malikuz ‘Zhahir dari Samudra Pasai yang diakui kealimannya oleh Ibnu Bathuthah, raja-raja dari kerajaan Buton yang sampai mentradisikan untuk menulis karya di bidang agama.

Kisah panjang kekhalifahan dan kerajaan juga sering didampingi oleh para ulama. Al-Baqillani adalah duta besar wangsa Buwaihi kepada kerajaan Romawi, ‘Izzuddin bin Abdissalam yang berjuluk Sultan Ulama dan Ibnu Hajib pembesar madzhab Maliki adalah orang yang dekat dengan penguasa. Bahkan karya-karya tentang agama khususnya fikih dari empat madzhab yang sampai ke generasi sekarang banyak yang merupakan buah tangan para ulama yang menjadi pejabat atau setidaknya dekat dengan penguasa.

Sebut saja semisal Abu Yusuf dan Ibnu Abidin dari madzhab Hanafi atau Al-Mawardi dan Al-Husein dari madzhab Syafii. Di Indonesia, para ulama juga banyak yang dekat dengan penguasa seperti Nuruddin As-Sumatrani, Arsyad Al-Banjari, para wali songo, Hasan Minhaj Gabudan, Habib Abu Bakar bin Yahya Geritan, Habib Utsman bin Yahya, dan masih banyak lagi.

Memang tak dapat dipungkiri banyak juga ulama yang mengambil jarak dengan umara lebih-lebih ketika penguasa yang ada memiliki kekuasaan absolut dan terlalu lalim kepada rakyat. Bahkan Imam Ja’far as-Shodiq pernah mengatakan, “Para ulama adalah kepercayaan para rasul selama mereka tidak bergaul erat dengan penguasa dan tidak memasuki dunia. Ketika mereka bergaul mesra dengan penguasa dan memasuki dunia maka mereka telah mengkhianati Allah dan rasul-Nya. Jauhilah dan tinggalkan mereka.” Diriwayatkan dengan sanad dlaif, “Seburuk-buruk ulama adalah yang mendatangi umara dan sebaik-baik umara adalah yang mendatangi ulama.”

Menanggapi sikap para ulama dan berbagai dalil yang mengecam kedekatan ulama dengan umara, Habib Ahmad bin Zain al-Habsyi murid dari Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad menjelaskan bahwa larangan bergaul dan menemui para penguasa bukanlah hukum mutlak. Larangan tersebut berlaku bila motivasi bermesraan dengan umara adalah mendapatkan dunia. Sedangkan para ulama yang dekat dengan para penguasa untuk memberi nasehat dan mengontrol kebijakan mereka tidaklah dapat dicela. Ini dibuktikan dengan banyaknya para ulama dan orang-orang saleh sepanjang sejarah yang sangat dekat penguasa sebagai tanggung jawab mereka untuk memberikan nasehat dan mengawasi kebijakan yang berkaitan dengan rakyat.

Memiliki hubungan baik dengan para penguasa atau malah menjadi bagian dari pemerintahan merupakan salah satu jalan dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang sesuai dengan tuntunan agama dan berbuat untuk sebaik-baik kemakmuran rakyat. Itu merupakan bagian pelaksanaan tanggung jawab sebagai ulama. Bila semua ulama menjauh dari penguasa, siapa yang akan memberi tahu dan memberi masukan kepada mereka ketika kebijakan yang diambil tidak sesuai dengan norma agama atau tidak adil bagi rakyat?

Sebagian ulama mengatakan, “Andai aku diberi doa mustajab oleh Allah tentu akan kugunakan untuk mendoakan para penguasa.” Mewujudkan pemerintahan yang baik tak bisa hanya melulu mengandalkan takdir tiba-tiba atau melalui berbagai caci maki. Ia dapat diusahakan dengan pendampingan yang baik. Tentu tak segalanya bisa berhasil seketika dan tentu tak segala usaha bisa berhasil maksimal namum upaya menuju ke sana harus terus dilakukan. Dengan pendampingan tulus, penguasa yang mengambil kebijakan tak tepat bisa menyadari kesalahannya lebih-lebih bila yang menjadi penguasa adalah orang baik. Seringkali kebijakan yang tak tepat bersumber dari ketidaktahuan dan ketiadaan orang yang memberitahukan.

Suatu ketika gubernur Damaskus memerintahkan untuk menangkap Syekh Izzuddin bin Abdissalam dengan tuduhan menyebarkan aliran sesat. Syekh Izzudin kemudian menjalani tahanan rumah hingga berhari-hari. Banyak yang mengetahui bahwa sebenarnya ia tidak bersalah namun tak ada yang berani menegur sang gubernur. Akhirnya Syekh Ibnu Hajib yang memiliki hubungan dekat dengan gubernur menghadap untuk membahas kasus penangkapan ini.

Setelah mendapat penjelasan panjang dari sang Syekh, gubernur menangis dan menyesali perbuatannya. Ia baru tahu kalau ternyata ajaran yang selama ini ia anggap benar justru yang salah. Usut punya usut semua bermula dari kesalahan belajar sang gubernur.

Di waktu kecil ayahnya berharap memiliki penerus yang disamping menjadi penguasa juga mengerti hukum agama. Akhirnya didatangkan beberap guru privat untuk mengajari ilmu agama. Beberapa guru privat yang didatangkan ternyata justru beraliran beda dengan yang diyakini kebanyakan masyarakat. Gubernur dan putranya –yang saat ini menjadi gubernur- tidak mengetahui hal itu.

Keberanian Syekh Ibnu Hajib dan kedekatannya dengan gubernur yang membuat sang gubernur mau mendengar penjelasan dan akhirnya menyadari kesalahannya. Bisa dibayangkan apa yang terjadi andai saat itu semua hanya bisa nyinyir tanpa ada satupun yang mau berbicara dari hati ke hati dengan gubernur.

Di waktu selanjutnya Syekh Izzuddin juga menjadi hakim agung di Mesir. Diantara prestasinya adalah fatwa untuk menguji ulang mayoritas pejabat Mesir ketika itu apakah memenuhi syarat menjadi pejabat. Lewat beberapa waktu  ketika melihat posisinya sudah tak bermanfaat lagi bagi agama, negara, dan rakyat ia mengundurkan diri.

Beginilah seorang ulama. Ia memiliki independensi dan tahu kapan dan bagaimana harus berbuat. Kapan waktu dekat dengan penguasa dan kapan harus menjaga jarak. Kapan harus menyampaikan kritik dengan halus dan kapan harus bersikap tegas. Pandangannya jauh semata demi kebesaran agama dan kemakmuran rakyat. Keulamaannya tak dapat dinilai sebatas indikator dekat atau tidak dengan penguasa terlebih di saat ini tak ada penguasa yang memiliki kekuasaan absolut.  Semua tergantung motivasi dan kondisi yang menentukan langkah apa yang terbaik buat umat.

 

Sumber: Ihya` ‘Ulumidin, Al-Manhajus ‘Sawi, dan lain-lain.

*) penulis adalah pegiat komunitas literasi pesantren, tinggal di Magelang.