Cuaca sedang sangat panas. Ibrahim bin Adham sedang duduk-duduk di dalam rumahnya. Ia melihat seorang lelaki tua berpakaian usang lewat depan rumahnya. Lelaki itu lantas mampir ke teras rumah Ibrahim, sekadar berteduh. Melihat itu, Ibrahim lantas menyuruh pembantunya untuk memanggil lelaki tersebut. Ibrahim ingin berkenalan dengannya.
“Wahai kisanak, tuanku memanggilmu. Ia ingin bertemu. Silakan masuk!” kata pembantu Ibrahim kepada si lelaki.
Lelaki itu masuk rumah Ibrahim. Ia mengucapkan salam dan Ibrahim menjawabnya. Ibrahim sangat senang bisa bertemu dengannya. Ibrahim menawari lelaki itu untuk makan. Namun, ia menolak.
“Dari mana engkau?,” tanya Ibrahim.
“Dari desa di sebarang sungai sana,” jawab lelaki itu menjelaskan.
Ibrahim bertanya tentang tujuan orang itu. Ia menjawab ia ingin berangkat menunaikan ibadah haji. Hal ini membuat Ibrahim heran dan terkejut. Pasalnya, saat itu, sudah mendekati hari H untuk berhaji (sepuluh Dzulhijjah). Ibrahim masih tidak percaya. Ia mengkonfirmasi ulang. Lelaki itu tetap memberikan jawaban senada, “Insyaallah.”
Ibrahim berkata, “Bolehkah aku ikut denganmu?.”
“Silakan kalau kamu berkenan,” jawab orang itu mengizinkan.
Malam harinya, Ibrahim dan lelaki itu berangkat melakukan perjalanan haji. Di tengah jalan, mereka bertemu seorang petani. Pertani tersebut memberikan makanan dan minuman. Mereka memakannya. Setelah itu, lelaki itu berkata, “Bismillah, mari kita lanjutkan kembali perjalanan kita!”.
Lelaki itu memegangi tangan Ibrahim. Mereka berdua berjalan. Keanehan terjadi. Ibrahim merasa tanah yang ia injak seakan ditarik gelombang air. Perjalanannya menjadi begitu cepat. Dalam kondisi demikian, lelaki itu berkata, “Ini adalah kota A. Ini adalah kota B. Dan ini adalah kota Kuffah.”
Mereka berhenti. Lelaki itu meminta berpisah untuk sementara waktu dengan Ibrahim. Ia menyuruh Ibrahim agar menemuinya di tempat itu esok hari. Pada waktu yang telah ditentukan.
Esok hari, mereka bertemu. Lelaki itu kembali memegang tangan Ibrahim. Hal aneh seperti sebelumnya terjadi lagi. Perjalanan menjadi begitu cepat. Lelaki itu berkata, “Ini adalah rumah si A. Ini rumah si. Ini adalah kota Madinah”.
Ibrahim masih belum percaya dengan apa yang ia alami. Ia kembali melihat tanah yang ia injak untuk kedua kali. Kondisinya sama: tanah seakan-akan ditarik oleh gelombang air. Mereka pun berhenti dan berziarah ke makam rasulullah, Muhammad SAW.
Lelaki itu lantas meninggalkan Ibrahim. Ia meminta Ibrahim untuk menemuinya lagi di tempat semula, esok hari. Keesokan harinya, setelah bertemu, lelaki itu lagi-lagi memegang tangan Ibrahim. Perjalanan luar biasanya pun kembali terjadi. Mereka tiba di Mekkah dalam waktu sekejap.
Di Mekkah, mereka berpisah untuk melaksanakan ibadah haji. Namun sebelumnya, Ibrahim mengajukan pertanyaan, “Setelah ibadah haji selesai, engkau mau kemana?,”
“Aku mau pergi ke Syam,” jawab lelaki itu.
Ibrahim mengutarakan keinginannya untuki ikut ke Syam. Lelaki itu setuju. Ia meminta Ibrahim untuk menemuianya di sumur Zamzam, ketika ibadah haji telah selesai.
Ibadah haji selesai. Ibrahim bertemu dengan lelaki itu. Sebelum pergi ke Syam, mereka melakukan thawaf secara bersamaan. Setelah itu, mereka melakukan perjalanan dengan cara yang sama: tanah seakan ditarik gelombang air. Mereka akhirnya tiba di Syam.
Lelaki itu mengatakan bahwa ia harus berpisah dengan Ibrahim. Pasalnya, ia berniat untuk menetap di Baitul Maqdis. Ibrahim akhirnya pulang ke kampung halamannya dengan berjalan kaki. Sejak kejadian itu, Ibrahim bin Adham memutuskan untuk menjadi seorang salik (orang yang “menempuh perjalanan menuju Tuhan”).
Kisah di atas ditulis oleh Ibnu Jauzi dalam kitab ‘Uyun al-Hikayat. Apa yang dialami oleh sang lelaki dan Ibrahim bin Adham itu biasa disebut juga dengan “ilmu lipat bumi”, yakni menempuh perjalanan yang jauh dalam waktu singkat.
Terlepas dari benar tidaknya kisah di atas, agaknya hal serupa sering sekali kita lihat, dengar, temui, atau bahkan alami. Terlalu banyak di sekitar kita hal-hal yang awalnya mustahil, namun terjadi juga di kemudian hari.
Dalam Al-Qur’an, awal surat Maryam, misalnya, disebutkan kisah nabi Zakaria yang sudah sangat tua namun ingin memiliki keturunan. Hal demikian jelas mustahil terjadi. Belum lagi, jika melihat kondisi sang istri yang positif mandul. Namun, berkat kekuasaan Allah SWT, mereka berdua pada akhirnya memiliki anak, yakni yang bernama Yahya. Alhamdulillah.
Secara nalar, hal demikian memang tidak masuk akal. Namun, jika Allah menghendaki, bukankah semua hal bisa terjadi?. Oleh karenanya, agar apa yang kita inginkan tercapai, hendaknya kita jangan pernah menjauh dariNya. Wallahu a’lam.
Sumber:
Ibn al-Jauzi, Jamaluddin Abi al-Farj bin. ’Uyun al-Hikayat. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2019.