Suatu hari, dikisahkan bahwa Rasulullah SAW datang menemui Aisyah. Kebetulan sekali di hadapan putri Abu Bakar ash-Shiddiq ini sedang ada dua orang budak – dalam penjelasan para ulama, mereka disebutkan masih bocah – yang menyanyikan syair-syair heroisme peperangan kaum Arab. Mereka sertakan juga permainan tombak dan perisai, serta menabuh kendang.
Nabi pun menemani Aisyah, dan berbaring di sisinya. Keduanya ikut menonton pertunjukan tadi. Tak lama kemudian, datanglah Abu Bakar. Ia terkejut dengan apa yang ia lihat di masjid itu.
“Celakalah kalian! Kalian perdengarkan seruling dan nada setan di hadapan Nabi?”
Mengetahui datangnya Abu Bakar yang sontak berseru begitu, Nabi pun memandang sahabat beliau ini seraya berkata,
“Sudah, biarkan saja mereka. Toh ini hari raya.”
Konon momen ini terjadi pada “ayyam mina” atau hari-hari saat orang berada di Mina, dalam lingkup hari raya Idul Adha. Selanjutnya kedua budak tadi pun terus bermain tombak dan perisai, sambil bernyanyi-nyanyi dalam masjid Nabawi. Hingga Nabi tidak begitu memperhatikan permainan mereka, Aisyah memberi isyarat kepada dua orang tadi untuk pergi meninggalkan tempat mereka bermain dan berdendang.
Dalam riwayat lain, terdapat narasi tambahan tentang kisah permainan tombak dan perisai para budak Sudan ini pada hari raya. Aisyah sendiri kerap meminta kepada Nabi untuk ikut melihat pertunjukan, atau di kesempatan lain, Rasulullah SAW yang menawarkan.
“Kamu mau melihat pertunjukan (tombak dan perisai) itu?” kata Nabi.
Aisyah menjawab, “Ya, aku mau.”
Dengan romantisnya, Nabi menempatkan Aisyah agar duduk di belakangnya. Nabi berseru kepada para budak, “Teruskan, wahai Bani Arfadah!”. Bani Arfadah adalah nama kabilah kedua budak tersebut. Aisyah menontonnnya sampai merasa puas dan senang.
“Apakah kamu merasa sudah cukup?” tanya Nabi. Karena Aisyah merasa cukup dengan pertunjukan itu, Nabi mempersilakannnya untuk pergi dari tempat tersebut.
Kisah di atas diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, dan kitab hadis lainnya. Imam al-Bukhari sendiri mencatatnya dalam bab permainan tombak dan perisai di hari raya. Kisah dalam hadis tersebut memiliki berbagai variasi secara lafal dan detail cerita. Namun secara garis besar, isi kisah tersebut serupa: kisah tentang adanya dua budak yang bermain dan berdendang di hari raya, di hadapan Nabi SAW dan Aisyah.
Dari kisah di atas, ada beberapa hal yang bisa kita cermati. Nabi memperkenankan adanya perayaan dengan pertunjukan-pertunjukan di masjid. Nabi pun membiarkan Aisyah untuk menontonnya sampai merasa puas. Dengan demikian, kita tahu bahwa perempuan juga berhak untuk menonton pagelaran seni atau hiburan tertentu di ruang publik, tentu dengan tidak mengabaikan batasan etika.
Kemudian, hari raya itu boleh diperingati dengan semarak. Karena itulah di sebagian daerah kita dapati ada pawai atau panggung tasyakuran khusus hari keagamaan tertentu seperti lebaran dan maulid, atau ada takbiran keliling di malam hari raya. Dengan musik, tabuhan dan kemeriahan lainnya.
Kita juga melihat sikap Abu Bakar – dalam riwayat lain, Umar bin Khattab – yang mencela dan melarang pertunjukan para budak di atas sebagai perilaku setan, karena mereka menilai bahwa lagu-lagu itu bisa melalaikan manusia kepada Allah, dan mereka mempertontonkannya di depan Nabi. Tapi dengan santun, Nabi mengingatkan agar budak-budak itu dibiarkan tetap bermain.
Sederhananya, jangan terburu-buru melarang orang lain sedang bersuka cita hanya karena menilai sesuatu itu kurang baik. Nasehat tak mesti harus dengan larangan. Kita melihat suatu bentuk sikap dakwah yang baik dari Nabi terkait bagaimana setiap orang berhak gembira atas hari raya. Hari raya adalah hari bahagia, mestinya disemarakkan dengan suka cita. Wallahu a’lam.