Latar belakang Abul Darda’ adalah seorang saudagar yang kaya raya. Pada saat menyatakan diri masuk Islam di hadapan Nabi, beliau merupakan pedagang yang sukses di antara penduduk Madinah. Tapi kemudian beliau meninggalkan kesibukan berbisnis dengan alasan tidak dapat menjalankan secara bersamaan antara urusan bisnis dengan urusan ibadah.
“Apa yang dapat membuatku bahagia dengan keutungan perhari 300 dinar, sementara hatiku selalu terpaut ingin masuk pintu masjid?” Demikian alasan utama kenapa Abul Darda’ memilih meninggalkan urusan bisnis.
Sebagai mantan pebisnis Abul Darda’ tak pernah menyerang pesaingnya dengan menjelek-jelekkan kebiasaan riba yang berlaku di antara koleganya. “Saya tak bermaksud mengolok-olok praktek riba. Hanya saja saya tak ingin termasuk orang-orang yang tenggelam dalam urusan bisnis sehingga melupakan ingat kepada Allah,” katanya dengan sangat bijak.
Abul Darda’ merupakan sosok sahabat yang dikenal luas sangat bijaksana. “Hijrahnya” secara totalitas untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan bukan sesembari menyerang kejelekan orang lain. Beliau benar-benar ingin mengaca untuk dirinya, bukan untuk orang lain. Oleh sebab itu ketika disinggung bahwa di antara sahabat Nabi banyak yang berprofesi sebagai pedagang sukses dan saleh, Abul Darda’ berkomentar, “inilah jalan yang saya pilih!”
Demikian halnya ketika sahabat yang lain dengan penuh semangat berjuang mengangkat senjata dan pulang dengan membawa hasil rampasan perang dari Siprus, Abul Darda’ justru menangis. Kejadian aneh ini sempat ditanyakan oleh Jubair b. Nafir: “Kenapa engkau menangis pada saat Allah memberikan kejayaan bagi umat Islam?” Abul Darda’ menjawab: “Betul demikian adanya, tapi jika saya ikut serta dikhawatir diri ini terlalu uforia sehingga melanggar perintah Allah.”
Abul Darda’ diketahui memiliki pandangan, bahwa “seburuk apapun pasti masih terdapat buliran kebaikan padanya”. Dalam riwayat Abu Qulabah disebutkan bahwa suatu hari Abul Darda’ ketemu dengan seorang pemuda berlumuran dosa yang dihina oleh orang-orang sekitarnya.
Beliau justru membelanya, “Apabila orang ini terperosok dalam lubang, maka apa kalian diamkan? Semoga Allah memaafkan kalian,” tanya Abul Darda’ kepada orang-orang yang membenci pemuda itu. “Kenapa kamu tidak murka dengan pemuda itu, wahai Abul Darda’?” Beliau menjawab, “Kita boleh marah karena kelakuan dia, bukan kepada dirinya.”
Pribadi bijaksana Abul Darda’ yang tak ingin menghakimi orang lain patut kita contoh. Beliau tidak mau memberikan beban kepada orang lain yang tak mampu. Beliau tidak mau menjustifikasi orang lain karena urusan itu tidak ada yang berwenang terkecuali hanya Allah. Beliau tak ingin dianggap paling taat beragama semata-mata hanya dalam sudut pandang manusia biasa.
Abul Darda’ pernah berkata, “Berkacalah untuk diri kalian. Sebab banyak orang yang mengikuti arus pujian orang lain namun nyatanya justru menyesal untuk selama-lamanya.”
Wallahu A’lam.