Sebab kerancuan dalam beragama bukan hanya kesalahpahaman akal. Yang lebih banyak adalah kegagalan menangkap cahaya rohani yang tak terkatakan. Cara berpikir kaum teroris khilafah di Iraq dan Syria seolah-olah logis menurut makna harfiah dari konsep-konsep keagamaan yang mereka usung. Nyatanya tindakan-tindakan mereka yang luar biasa mengerikan dengan jelas memperlihatkan bahwa mustahil yang mereka lakukan itu adalah ajaran agama.
Beragama menuntut kemauan untuk menghayati dan mengenali fitrah kemanusiaan kita. Nalar aqliyah saja belum cukup, apalagi dengan pengetahuan yang terbatas.
Darkum merasa bergairah setelah membaca-baca hadits tentang keutamaan membaca basmalah. Ia memasak sambel terong dan menyiapkan air rendaman intip untuk minumnya. Kemudian ia panggil teman-temannya untuk makan bersama.
“Ayo! Ayo!” ajaknya, “Tapi jangan baca bismillah ya! Serius ini! Pokoknya jangan baca bismillah!”
“Kok gitu maksudnya apa?”
“Makanan dan minuman itu, kalau dibacai bismillah, setan nggak bisa ikut makan-minum”.
“Lha kok malah nggak boleh baca bismillah?”
“Ya supaya setan ikut makan!”
“Kok gitu?”
“Sudahlah! Nurut saja! Pokoknya jangan baca bismillah! Awas! Kalau baca bismillah nggak boleh makan!”
Teman-temannya tak punya pilihan selain menurut.
Usai makan, semua orang gaber-gaber dan monyong-monyong. Sambel terongnya puwwedhesss minta ampun!
“Jangan kuwatir”, kata Darkum, mengambil kendil dan menyuguhkannya, “Air intip ini obat pedhes yang cespleng!”
Teman-temannya serta-merta berebut hendak minum. Tapi Darkum menahan mereka.
“Eit! Eeiitt! Nanti dulu! Kali ini sebelum minum harus baca bismillah. Harus! Kalau nggak baca nggak boleh minum!”
Teman-temannya melongo tak paham.
“Gitu aja kok bingung!” Darkum geleng-geleng kepala, “Ini supaya setan nggak bisa ikut minum! Biar tahu rasa dia!”
Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di Terong gosong.