Pada abad 20, kajian perempuan menemukan titik tolaknya. Banyak peneliti yang tertarik mengkaji perempuan dari sudut pandang perempuan itu sendiri. Kajian tentang perempuan ini sering disebut dengan kajian feminis.
Di Indonesia kajian femisis dimulai dari sejak RA Kartini memulai melawan stigma adat istiadat bahwa perempuan itu hanya urusan “dapur” (memasak), “kasur” (seks) dan “sumur” (juru bersih), akan tetapi perempuan itu mempunyai hak yang sama dengan laki-laki, bisa belajar, bisa menulis dan juga bisa memimpin pergerakan melawan kolonialisme.
Di zaman sekarang perempuan yang bisa menulis sudah bukan barang langka. Banyak kita temukan penulis perempuan yang handal. Selain itu, kemampuan menulis juga menjadi persyaratan bagi siapapun yang hendak menyelesaikan studi di perguruan tinggi, baik tingkat sarjana, magister maupun doktoral. Tanpa mempunyai bekal menulis ini para perempuan yang belajar di perguruan tinggi tidak akan bisa menyelesaikan studinya.
Secara otomatis di zaman ini telah menjadi kesepakatan para ulama bahwa perempuan yang bisa menulis atau perempuan yang belajar menulis menjadi sebuah kebolehan, atau bahkan menjadi sebuah kewajiban.
Namun demikian tidak di zaman sebelum kemerdekaan, perempuan yang bisa menulis atau yang hendak belajar penulis menjadi polemik dan kajian tersendiri di kalangan ulama.
Kiai Sholeh Darat sendiri yang menjadi guru pembuka cakrawala RA Kartini dalam menghasilkan slogan Habis Gelap Terbitlah Terang ini juga melarang perempuan belajar menulis. Dalam kitabnya Majmu’ Assyariah, halaman 178 beliau menuliskan:
“Anapun anak wadon maka ora wenang den wuru’i nulis senajan karena arah ilmu. Karana nolak maksiat iku wajib karena wadon iku ora sempurna akale lan ora sempurna agamane lamun bisa nulis ora aman lamun tumiba maksiat karono iku tulisan luweh gampang tumibo maksiat”
Terjemah:
“Adapun bagi anak perempuan maka tidak diperkenankan diajari untuk belajar menulis walaupun untuk mencari ilmu. Hal ini karena menolak maksiat itu wajib hukumnya. Karena wanita itu tidak sempurna akalnya dan tidak sempurna agamanya. Kalau bisa menulis tidaklah aman dari maksiat, karena tulisan itu lebih mudah mengantarkan kepada kemaksiatan.”
Polemik mengenai hukum wanita belajar menulis pun direkam dalam Majalah Nahdlatul Ulama (NU), Nomor 3, Tahun 1346 H/1927 M. Penulis menemukan tulisan ini dalam buku “Risalatun Nisa” karangan Kiai Ahmad Abdul Hamid al-Kendali. Kiai Ahmad Abdul Hamid al-Kendali inilah yang terkenal karena telah membuat kalimat penutup sebelum salam khas NU yaitu “wallahul muwafik ila aqwamit thoriq.”
Berbeda dengan pendapat Kiai Sholeh Darat, dalam majalah NU tersebut dinyatakan dengan hukum yang lebih diperinci, bahwa perempuan yang belajar menulis untuk penghias diri (zhinah = pepaes [b. jawa]) maka hukumnya adalah makruh tanzih. Makruh tanzih adalah perkara yang dituntut untuk ditinggalkan tapi dengan perintah yang tidak/kurang tegas.
Hukum makruh tanzih tersebut tidak sampai jatuh pada makruh tahrim seperti shalat sunah setelah Asyar atau shalat sunah setelah Subuh. Makruh tahrim adalah larangan dengan dalil yang bersifat dzanni tapi lebih dekat kepada haram.
Majalah tersebut juga mencatat bahwa apabila perempuan belajar menulis itu untuk tujuan maksiat maka hukumnya haram secara mutlak. Ini juga berlaku untuk laki-laki. Hal ini didasarkan pada dua kaidah fikih yaitu sebab itu sama dengan hukum musabbabnya dan segala sesuatu itu bergantung tujuannya (al-wasail bi hukm al-maqashid).
Namun demikian apabila perempuan tersebut belajar menulis untuk tujuan mencari pekerjaan, dagang, mencatat keuntungan maka hukumnya disesuaikan dengan jenis pekerjaannya.
Apabila pekerjaannya halal maka belajar menulis tersebut diperbolehkan dan apabila pekerjaanya haram maka juga diharamkan. Bagi perempuan belajar menulis karena mencatat ilmu agama maka hukumnya sama halnya dengan hukum perantaranya.
Keputusan dalam majalah tersebut menyandarkan kepada pendapat Imam Ibnu hajar dan pendapatnya KH Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Ziyadut Ta’liqot yang menyatir hadist nabi.
عَنْ الشِّفَاءِ بِنْتِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا عِنْدَ حَفْصَةَ فَقَالَ لِي أَلَا تُعَلِّمِينَ هَذِهِ رُقْيَةَ النَّمْلَةِ كَمَا عَلَّمْتِيهَا الْكِتَابَةَ
“Dari as-Syifa` binti Abdullah ia berkata, “Rasulullah pernah menemuiku, sementara aku sedang berada di rumah Hafshah. Lalu beliau berkata kepadaku, “Tidakkah engkau ajari dia Ruqyah namlah sebagaimana engkau mengajarinya menulis?”
Dari dua pendapat ulama di atas, Majalah NU akhirnya lebih mengambil keputusan bolehnya perempuan belajar menulis. Walaupun oleh Kiai Sholeh Darat menulis dan belajar menulis bagi perempuan tidak diperbolehkan. Tulisan Kiai Soleh Darat tersebut menimbulkan pertanyaan lanjutan, jika Kiai Sholeh Darat mengharamkan menulis bagi perempuan, lantas pelajaran seperti apa yang diajarkan Kiai Sholeh Darat kepada RA Kartini, apakah hanya sekedar mengaji biasa, mengaji Al-Qur’an atau juga mengajari menulis, jika mengajari menulis, tentu bertentangan dengan pendapat Kiai Sholeh Darat itu sendiri.
Wallahu a’lam.