Di suatu tempat di atas bukit, ada seorang pemuda yang rajin beribadah. Karena begitu rajin, ia tak pernah turun bukit kecuali hanya sekali saja. Ia telah berada di sana selama tujuh puluh tahun lamanya.
Suatu hari, setan mengganggunya. Ia tergoda oleh kecantikan seorang wanita. Si wanita tinggal bersamanya di tempat “’pertapaannya” itu selama tujuh malam. Setelah itu, ternyata penutup hatinya terbuka. Ia pun sadar dan bertaubat. Akhirya, ia kembali ke jalan yang benar seperti sedia kala.
Lain waktu, ia turun dari tempat ibadahnya itu dan melakukan perjalanan. Hingga pada suatu malam, karena begitu lelahnya akibat perjalanan, ia berhenti di suatu bangunan. Tempat itu diisi oleh dua belas orang. Ia menumpang untuk menginap di sana.
Sebelumnya, sudah menjadi kebiasan, bahwa ada seorang donatur yang datang ke tempat itu untuk memberikan roti. Setiap orang mendapatkan satu roti. Sang donatur pun ketika ke sana juga hanya membawa roti dengan jumlah yang sama: dua belas.
Malam itu, sang donatur pun datang seperti biasanya. Ia membawa roti dan membagikannya kepada dua belas penghuni tempat itu. Lelaki ahli ibadah itu pun juga mendapatkannya. Akibatnya, ada satu orang yang tidak mendapatkannya (karena bagiannya diberikan kepada si lekaki yang bertaubat itu).
Orang yang tidak kebagian itu akhirnya bertanya kepada sang donatur, “Mengapa saya tidak mendapatkan roti? Apakah engkau memang sengaja tidak memberikannya kepadaku?”.
Sang donatur pun bertanya kepada para penduduk, “Apakah salah seorang dari kalian ada yang aku beri dua roti?”.
“Tidak,” jawab para penduduk.
“Demi Allah, sungguh malam ini aku tak bisa memberikan apapun kepadamu,” kata sang donatur kepada seseorang yang tidak mendapatkan roti itu.
Mengetahui hal itu, lelaki ahli ibadah pun memberikan roti bagiannya kepada orang yang tidak kebagian itu. Dan tak berjarak lama dari kejadian itu, ia meninggal dunia.
Kisah di atas penulis sarikan dari kitab ‘Uyun al-Hikayat karya Ibnu Jauzi. Dalam kitab ini, disebutkan bahwa kisah di atas dituturkan oleh Abu Burdah. Dan di akhir kisah, Abu Burdah mengatakan, “Jika dibandingkan, (ibadah) tujuh puluh tahun dan (maksiat) tujuh malam, maka masih unggul yang tujuh malam. Namun, jika (maksiat) tujuh malam itu dibandingkan dengan (sedekah) sepotong roti, maka masih unggul sepotong roti”. Juga, karena begitu berharganya intisari kisah di atas, ketika akan sakaratul maut, Abu Musa berwasiat kepada anak-anakanya, “Ingatlah kisah pemilik roti! (yang mendapat ampunan Allah, red.)”.
Dari kisah di atas kita bisa belajar bahwa kebaikan yang dilakukan akan bisa menghapus kesalahan-kesalahan masa lalu. Demikian pula keburukan apapun yang dilakukan akan terhapus dan mendapat ampunan Allah jika manusia mau bertaubat dan atau melakukan kebaikan setelah itu.
Nabi Muhammad Saw bersabda, “Bertakwalah kepada Allah di manapun anda berada. Iringilah perbuatan dosa dengan amal kebaikan, karena kebaikan itu dapat menghapusnya. Serta bergaulah dengan orang lain dengan akhlak yang baik” (HR. Tirmidzi)
Dalam kitab Tuhfah al-Akhwadzi bi syarhi Jami’ al-Tirmidzi dijelaskan bahwa “kebaikan” yang dapat menghapus kesalahan sebagaimana disebutkan dalam hadis di atas bisa berupa shalat, sedekah, istighfar, dan lain sebagainya. Sedangkan, maksud dari “menghapus” itu adalah Allah akan menghilangkan dampak keburukan itu dari hati atau dari buku catatan amal.
Walhasil, agar keburukan yang telah dilakukan itu diampuni oleh Allah, salah satunya adalah dengan mengerjakan kebaikan setelahnya. Juga, tentunya dengan disertai niat untuk tidak melakukannya lagi setelah itu. Wallahu a’lam.