Pada zaman Bani Israil, hidup seorang raja yang dzalim. Ia terkenal sebagai penguasa yang suka memaksa penduduknya untuk memakan daging babi. Hari itu, sang raja memanggil Sarah, janda yang memiliki tujuh anak. Ia dipanggil bersama seluruh anaknya.
Ketika Sarah dan anak-anaknya telah berada di istana, pertama-tama raja memanggil anak Sarah yang sulung. Raja memberinya daging babi sembari berkata, “Makanlah ini!”
“Selamanya saya tak akan memakan apapun yang diharamkan Allah,” jawabnya tegas.
Karena menolak perintahnya, raja pun segera memanggil tentaranya (baca: algojo) untuk memotong kedua tangan dan kaki anak itu. Tak hanya itu, tentara itu juga terus memotong seluruh anggota badannya. Satu persatu. Hingga ia menemui ajalnya. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
Raja kembali memanggil anak kedua Sarah. Ia menyuruhnya untuk memakan daging babi. Tapi, anak itu menolak. Raja pun murka. Ia lantas menyuruh algojo untuk mengambil sebuah ceret yang berisi tembaga. Ceret itu pun diisi dengan aspal dan kemudian dipanaskan. Setelah mendidih, isi ceret itu pun disiramkan ke badan anak itu hingga akhirnya ia meninggal dunia.
Anak ketiga dipanggil dan diperintah dengan perintah yang sama. Ia justru berkata, “Di hadapan Allah, Engkau adalah manusia yang lebih hina dibanding jika aku memakan hal yang diharamkan Allah.”
Raja hanya tertawa sinis. Ia berkata kepada seluruh penghuni kerajaan, “Apakah kalian tahu mengapa anak ini berani menghinaku? Ia menginginkan aku marah dan agar aku segera menghabisinya. Namun dia salah besar”. Ia kemudian memerintahkan agar anak itu dikupas kulit leher, kepala, dan wajahnya. Ia akhirnya meninggal dunia.
Begitu seterusnya dengan tiga anak lainnya. Mereka diperintahkan untuk memakan daging namun mereka menolak. Raja membunuh mereka dengan cara sadis dan berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Kini, tinggal Sarah dan anaknya bungsunya yang hidup.
Begitulah nasib yang dialami oleh anak-anak Sarah, sebagaimana ditulis Ibnu Abi al-Dunya dalam kitab al-Shabr wa al-Tsawab ‘alaihi. Mereka rela kehilangan nyawa demi terhindar dari makanan haram. Nabi Muhammad SAW. bersabda:
يَا كَعْبَ بْنَ عُجْرَةَ، إِنَّهُ لَا يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلَّا كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Wahai Ka’ab bin ‘Ujrah, tidaklah daging manusia tumbuh dari barang yang haram melainkan neraka lebih utama baginya” (HR. Tirmidzi)
Tentang makanan yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi, Allah SWT. berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu” (QS. Al-Baqarah [2]: 168)
Yang dimaksud halal adalah yang didapatkan dengan cara yang bukan haram (mencuri, traksaksi yang haram, dll). Sedang yang dimaksud dengan thayyib adalah selain yang jelek (secara zat). Dua hal ini menjadi patokan untuk menentukan suatu benda dihukumi haram atau halal. Begitu penjelasan al-Sa’di dalam tafsir Taysir al-Kalam al-Rahman fii Tafsir Kalam al-Mannan.
Dari penjelasan ini dapat diambil sebuah contoh. Misalnya, daging babi secara zat memang haram. Meski ia didapatkan dengan transaksi yang halal, ia akan tetap haram. Begitu juga misalnya, daging sapi. Ia halal secara zat. Namun jika ia didapatkan dengan cara mencuri, maka ia juga dihukumi haram.
Agama sebenarnya mentolerir siapa saja yang memakan benda haram karena terpaksa, sebagaimana firman Allah, “…padahal, Allah telah menjelaskan kepadamu, kecuali kamu dalam keadaan terpaksan…” (QS. Al-An’am [6] 119). Namun agaknya anak-anak Sarah itu memiliki pertimbangan lain. Bisa jadi, mereka takut jika menaati perintah raja, mereka justru menjadi budaknya dan berpotensi dipaksa terus untuk mengerjakan hal-hal lain yang dilarang Allah SWT.
Ternyata, langkah yang diambil kelima anak yang sudah meninggal itu diikuti oleh Sarah dan anak semata wayangnya. Raja menyuruh Sarah waktu berfikir ulang dan membujuk anaknya agar mau memakan daging babi. Sebagai hadiahnya, raja akan membiarkannya hidup. Sarah pun kemudian membawa anaknya ke suatu tempat dan berkata:
”Anakku, aku menyusui saudara-saudaramu, masing-masing selama dua tahun. Namun kamu berbeda. Kamu aku susui selama empat tahun. Ini karena ketika kamu lahir, ayahmu sudah telah meniggal dunia. Semua itu aku lakukan karena tubuhmu memang lemah dan karena begitu sayangnya aku kepadamu. Maka, kepada saudara-saudaramu aku memiliki satu hak dan kepadamu aku memiliki dua hak.”
Sarah melanjutkan, “Maka, atas nama Allah dan hakku kepadamu yang telah mengasuhmu hingga besar seperti sekarang, aku memohon agar engkau tidak memakan suatu hal yang dilarang Allah. Jangan sampai di akhirat nanti, kamu tak bisa bersama dengan enam saudaramu di surgaNya.”
Anak itu mengiyakan. Di hadapan raja, anak itu menyatakan diri untuk menolak tawaran sang raja. Raja pun membunuhnya. Sehingga, kini Sarah hidup sebatang kara.
Raja juga menyuruhnya untuk memakan daging babi. Tak hanya itu, kali ini, raja juga merayu dan menyuapnya. Yakni bila Sarah berkenan memakan daging babi, maka ia akan diberi segala hal (harta, dll) yang ia kehendaki dan inginkan.
Namun Sarah tak tergoda dan pendiriannya tak goyah sedikitpun. Ia menolak dengan tegas. Sontak, raja pun murka dan akhirnya memerintahkan tentaranya untuk menghabisi Sarah. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
Sumber:
Al-Dunya, Ibnu Abi. al-Shabr wa al-Tsawab ‘alaihi. Beirut: Dar Ibn Hazm, 1997.
Al-Sa’diy, Abdurrahman bin Nashir. Taysir al-Kalam al-Rahman fii Tafsir Kalam al-Mannan. Riyadh: Dar al-Salam, 2002.
Al-Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa. al-Jami’ al-Kabir. Beirut: Dar al-Ghurab al-Islami, 1996.