Ketika Rasulullah Ingin Mudik

Ketika Rasulullah Ingin Mudik

Ketika Rasulullah Ingin Mudik
Kaligrafi bertuliskan nama Nabi Muhammad

Peristiwa migrasi ke Madinah menandai ‘habisnya’ harapan menumbuhkan Islam di tanah kelahiran. Di saat yang sama, ada sinyal kuat kalau Madinah bisa menjadi tanah persemaian akidah Islam.

Akhirnya, Rasulullah dan umat Islam yang cuma segelintir itu mencoba mengadu nasib. Mereka sepakat merantau ke Madinah, meninggalkan kampung halaman.

Di Madinah, tidak hanya Rasulullah yang diterima, tapi Islam juga bertumbuh kian lama kian solid, menjadi masyarakat. Muhammad bin Abdullah, “si anak rantau” menjelma menjadi penakluk daerah penghasil kurma itu.

Beliau adalah kaum migran yang menciptakan konsolidasi antar suku pribumi yang kerap bertikai. Melalui tangannya lahir Madinah Charter, penguatan Madinah sebagai negeri tamaddun yang berdikari. Jangan lupakan juga sentuhan enterpreneur Mekah sekelas Abdurrahman bin Auf dan Usman bin Affan terhadap kultur bertani di Madinah.

Ibarat kata, kalau Madinah adalah Jakarta, maka Nabi Muhammad ini bukan dari Betawi. Beliau adalah satu dari sekian perantau yang mengadu nasib di “kerasnya Jakarta”. Dan oleh sebab dukungan berbagai pihak, berhasil menaklukkan Jakarta.

Tetapi keberhasilan beliau bukan tanpa harga. Ubay bin Salul adalah calon raja Madinah dari kalangan pribumi yang bukan hanya kehilangan dukungan dan mahkotanya, bahkan juga belakangan dianggap musuh bersama. Tak heran kalau Ubay sering berupaya makar. Tapi Nabi selalu memaafkan kelakukan Ubay.

Namun begitu, walau Madinah menjanjikan kestabilan, keamanan, dan kenyamanan bagi dakwahnya, Nabi tetap menyimpan kecintaan dan kerinduan kepada Mekah. Dalam hatinya ada hasrat untuk mudik. Untuk kembali berthawaf di sekeliling Kabah, untuk menapaktilasi Ibrahim.

Tetapi, akan sulit bagi Nabi masuk ke Mekah menimbang konflik dengan Quraisy. Akan ada pertumpahan darah jika Nabi memksakan diri masuk. Dalam konteks kekinian, ‘visa’ Nabi keluar.

Oleh sebab itu, betapa beliau bergembira ketika Allah sendiri yang menjanjikannya. Tapi, janji tersebut tertangguhkan di Hudaibiyah, dan baru terlaksana, mula-mula melalui perizinan umroh bagi Nabi. Izin singkat di mana Nabi bahkan nyaris diusir dan permohonan beliau untuk extend barang beberapa hari, ditolak mentah-mentah.

Tetapi peristiwa itu menandai mudiknya Nabi secara lebih proper pada peristiwa Fathu Mekkah. Dan uniknya, walau Nabi saat itu punya kesempatan untuk kembali menetap di Mekah, Nabi memutuskan untuk kembali ke Madinah, tinggal di negeri rantau.

Yang jelas setidak-tidaknya, sejak saat itu, Nabi punya kampung halaman yang bisa beliau mudiki kapan pun beliau mau. Dan kesempatan mudik beliau yang terakhir terjadi saat beliau berhaji dan mendapatkan wahyu pamungkas saat berada di Mina.